Seorang wanita nampak menunggu temannya di depan sebuah gedung pernikahan. Sudah setengah jam dia menunggunya untuk mengurus gedung yang akan dipakainya nanti. Sebulan lagi temannya akan menikah.
Namun ada sedikit yang mengganjal dihati wanita yang bernama Celline tersebut. Karena temannya akan menikah dengan seorang pria yang pernah mengisi hidupnya. Namanya adalah Daniel.
Celline berteman dengannya sudah cukup lama. Kurang lebih mungkin ada sepuluh tahun.
Dia dan Daniel sudah seperti saudara, sahabat atau mungkin lebih. Kadang terbesit dalam benaknya menyesal karena telah mengenalkannya pada Nancy.
Tapi mungkin itu sudah jalan mereka seperti ini. Celline menghela napas panjang, saat melihat Nancy keluar dari gedung. Wanita bermata cokelat itu mencoba tersenyum senormal mungkin. Agar Nancy tidak curiga kepadanya.
"Cell, boleh minta tolong nggak?" Dia menggamit lengan Celline dengan manja. Entah sejak kapan dia menjadi seperti itu pada sahabat Daniel tersebut.
"Minta tolong apa Nan?" tanyanya, namun raut wajah Celline nampak tidak nyaman. Ia mencoba melonggarkan tangan Nancy padanya.
"Ada beberapa undangan buat teman kuliah kita, tapi aku ada urusan mendadak."
Celline menyanggupinya dan menerima beberapa undangan yang diberikan oleh Nancy. Mau bagaimana lagi? Dia tak mungkin menolaknya 'kan?!
"Jangan pergi dulu, biar dianterin sama Daniel. Dia lagi otw kok," ucapnya membuat langkah Celline terhenti. Nama Daniel yang diucapkan oleh Nancy membuat hatinya sedikit terasa sesak.
"'Nggak usah, aku sendiri aja." Tolaknya sehalus mungkin.
"Jauh soalnya Cell. Nanti kamu capek." Nancy melambai ke arah lain, rupanya Daniel sudah tiba dengan mobil.
Daniel membawa mobil Outlander, yang tidak lain adalah hadiah pernikahan dari ayah Nancy untuk calon menantunya. Daniel keluar dari mobil dan tersenyum.
"Ayo Cell." Daniel membuka pintu untuk Celline. Nancy tersenyum dengan polos, karena dia tidak tahu apa yang pernah terjadi antara Celline dan Daniel.
"Kenapa ekspresi wajah kamu seperti itu?? Nggak suka atau gimana??" tanya Daniel, mobil sudah melaju meninggalkan Nancy yang masih melambai.
Celline melihat dari kaca spion. Ada perasaan tak enak, karena dia sekarang tengah berdua bersama Daniel.
''Aku kasihan sama Nancy," gumamnya, ia membuang pandangannya menuju jalanan yang ada di sampingnya.
"Aku kasihan sama kita berdua," jawab Daniel cuek, matanya fokus ke depan.
"Kenapa?? Kalau kamu menikah sama Nancy pasti hidupmu kecukupan. Belum apa-apa aja udah dibeliin mobil. Udah disiapin rumah. Coba kalau kamu nikahnya sama aku, nggak bakalan dapet apa-apa." Suara Celline bergetar, seakan cukup lama menahan rasa getir dalam hatinya.
"Jangan pernah nyesel kalau aku sudah jadi suaminya Nancy. Dan kita nggak bisa kayak dulu lagi."
Kata-katanya pelan namun cukup menusuk dalam ulu hatinya. Sebelum bertemu dengan Nancy. Celline dan Daniel memang saling menyukai namun tak pernah ada niatan untuk berpacaran. Mereka berdua menjalani hari seperti biasanya. Seperti teman yang kadang bertengkar karena berbeda pendapat.
Merasakan cemburu seperti pasangan kekasih. Tapi tetap pada porsinya, Celline dan Daniel sama-sama tahu diri.
Lalu Nancy muncul dan jatuh cinta pada Daniel sejak pertama kali bertemu. Dia meminta Celline untuk mengenalkan Daniel padanya. Karena ia mengira jika antara mereka berdua tak ada hubungan spesial, hanya bersahabat. Lalu pada akhirnya Celline menyanggupi permintaanya.
Daniel awalnya menolak mentah-mentah permintaan Celline. Namun akhirnya luluh juga setelah wanita itu mendiamkannya selama berhari-hari.
"Jangan pernah minta aku kembali lagi."
Celline mengangguk seperti tak yakin. Lalu Daniel meninggalkannya sendirian. Setelah masa pdkt nya selesai. Mereka lalu berpacaran. Masa-masa itu sangat sulit untuknya. Lebih menyakitkan daripada putus dengan pacar. Daniel yang selalu ada untuk Celline kini hanya ada untuk Nancy.
Dia selalu berpura-pura bahagia di depan mereka berdua meski pada kenyataannya dirinya selalu menangis di belakang mereka.
''Setelah menikah, mari jangan bertemu lagi," ucap Celline pelan.
Daniel membanting setirnya ke kiri membuat Celline sedikit terkejut dengan apa yang dilakukannya.
"Ini semua keinginanmu kan? Kenapa sekarang malah kamu jadi seperti ini. Bilang sama aku, jangan menikah. Aku bakal bilang sama Nancy buat batalin pernikahan!!"
"Nggak segampang itu, Dan." Tangannya menyeka air mata yang sudah mengalir di pipi.
Tangan Daniel kemudian membuka seat belt dan memeluk Celline dengan erat. Dia menangis semakin kencang saat Daniel merengkuh tubuh kecil itu dalam pelukannya. Pelukan yang selama ini Celline rindukan. Pelukan yang sudah menjadi milik orang lain. Daniel mengecup keningnya dan mengusap bulir air matanya.
la melanjutkan perjalanan, namun tidak untuk mengantarkan undangan. Melainkan membawa Celline ke rumah baru yang dihadiahkan untuknya nanti. Rumah yang sangat besar dan mewah. Ada kursi ayunan di depannya.
Celline hanya mematung dan berdiri di halaman namun tangan Daniel menggandengnya menuju ke dalam rumah.
Celline mencium bau cat yang masih baru, dan melihat ada beberapa kursi yang sudah ada di sana. Wanita yang bernama lengkap Celline Diana itu mengedarkan pandangannya, dan melihat beberapa kamar dirumah itu. Dia tersenyum kelu.
"Kamarnya banyak," ucapnya singkat.
"Ayah Nancy ingin punya cucu banyak." Senyumnya langsung memudar dan duduk disebuah kursi yang masih dibungkus oleh plastik.
"Sekali ini saja." Daniel menyadarkan kepalanya di pangkuannya dan memejamkan matanya.
Celline mengusap keningnya lalu membelai rambut hitam Daniel.
''Aku pengen nikahnya sama kamu," ucapnya tangan Celline berhenti membelai namun tangan Daniel menangkapnya dan menyuruhnya untuk membelainya lagi.
''Ada yang salah sama ucapanku?"
Celline mengatupkan bibirnya dan hanya diam. Daniel membuka matanya, pria itu kemudian bangun dan duduk di sampingnya. Wajahnya mulai mendekati wajah Celline. Ia menatap wajahnya dalam-dalam, tangannya menarik punggungnya hingga tak ada jarak diantara mereka berdua.
Bibirnya mulai mencecap bibirnya dengan lembut, dan anehnya Celline tak bisa menolaknya. Dia hanya mengikuti permainan Daniel waktu itu. Lalu ia kemudian membuka satu persatu kancing baju miliknya, Celline langsung menahan tangannya.
"Jangan Dan," lirihnya.
"Kenapa?" Suaranya terdengar parau. "Sekali ini saja Cell." Daniel menenggelamkan wajahnya pada ceruk leher Celline.
Celline merasakan betapa putus asanya dia, wanita itu memeluknya erat. Dan dia menatapnya kembali. Celline mencecap bibirnya, sebagai pertanda jika dia telah mengizinkan Daniel untuk mengambil keperawanannya.
***
Paginya Celline dan Daniel pergi dari rumah itu. Saat keluar rumah Celline melihat mobil ayah Nancy sudah terparkir di depan halaman. Wajahnya terkejut ketika melihat bayangan yang begitu akrab ada di belakang Daniel. Nancy yang keluar dari mobil tak kalah terkejut dan hanya diam tak bisa berkata apa-apa.
Cintanya pada Daniel membuatnya menjadi bodoh.
"Maaf pak, ini kunci mobilnya." Daniel menyerahkan kunci mobil pada ayah Nancy dan membawa Celline keluar dari halaman rumah itu.
Mereka berdua akan pulang dengan transportasi umum. Nancy hanya memandangi mereka berdua dengan bingung dan sedih.
***
Hari bahagia akhirnya datang. Celline melirik gaun putih yang menempel di tubuh Nancy sangat cantik.
"Terima kasih sudah mau jadi pengiring pengantinku," ucapnya pada Celline, ia tersenyum miring pada temannya itu.
Nancy memutuskan tetap ingin menikah dengan Daniel. Dia tak ingin kehilangan pria yang sudah berpacaran dengannya yang tidak sebentar itu, meski Daniel sudah menjelaskan apa yang terjadi pada Celline dan dirinya di rumah barunya beberapa waktu yang lalu.
Celline hanya tersenyum.
"Dan menghilanglah dari hidupku dan Daniel nanti," ucapnya sinis.
Celline mengambilkannya bunga dan mengangguk pelan. Itu adalah perjanjiannya dengan Nancy, Daniel tak tahu jika ada perjanjian seperti itu. Mungkin jika mengetahuinya dia akan menolak pernikahan ini.
Ayah Nancy tak mau menatap wajah Celline lagi, itu adalah hal wajar dan Celline nampak bisa menerimanya. Dari kejauhan wanita itu melihat Daniel rapi dengan setelan jas hitamnya. la nampak sangat tampan di hari pernikahannya.
Celline tersenyum pada Daniel lalu keluar dari gedung itu dan meninggalkan mereka berdua untuk memulai lembaran barunya.
"Selamat tinggal, Daniel," lirihnya tanpa menoleh ke belakang lagi.