Chereads / Teman Makan Teman / Chapter 8 - Rasa Sakit

Chapter 8 - Rasa Sakit

Celline tersenyum manis sambil menatap Daniel. "Ya, aku tahu."

Itu adalah kebenaran. Daniel menyukainya dan dia tahu hal itu dengan cukup jelas. Tapi dia masih belum bisa membuat mereka bersama. Ada saja hal-hal yang membuatnya menggantungkan hubungan mereka. Lebih dari teman tapi bukan kekasih.

Apa dia terlalu kejam?

"Makasih," ucap Daniel lalu dia memberanikan diri untuk mencium kening Celline. "Jangan lupa minum obat lagi ya kalau panasnya belum turun."

Celline mengangguk mengerti. Lalu dia melihat kepergian Daniel dengan senyum yang tersungging. Seandainya matahari akan tetap bersinar atau jika bumi masih terus berputar, bisakah dia tetap menyimpannya?

Sebelumnya dia tidak pernah merasakannya. Jantung yang berdetak tidak normal atau pipi yang memerah hangat. Ini seperti cinta yang orang-orang katakan. Menjadi bahagia.

Namun semuanya memiliki resiko. Lalu apa yang terjadi jika dia tetap seperti ini?

***

Daniel keluar dari tempat kost Celline dan menjalankan sepeda motornya. Hari ini dia bolos kuliah, namun dia tidak merasa menyesal. Ya, itu karena dia melakukannya dengan alasan 'untuk orang yang dia cintai'.

Dia terkekeh saat mengingat momen kebersamaan yang terjadi dengan Celline. Bibir merah itu dan bagaimana manisnya ... ah, jika dia terus mengingatnya mungkin pikirannya bisa gila.

Setelah beberapa menit, akhirnya dia sampai di depan kostnya sendiri. Dia memarkirkan motornya di halaman yang lumayan teduh. Namun ketika baru saja melepas helm, dia mendengar ada seseorang yang memanggilnya.

Daniel menoleh dan apa yang dia lihat hanya membuatnya mengerutkan kening. Dia tidak tahu kenapa Nancy bisa ada di sana, dan lihat, gadis itu melambai padanya. Benar-benar membuatnya merasa tidak senang.

"Dan!" seru Nancy yang berdiri di depan pintu sambil memegang paper bag berwarna putih.

"Ih kamu lama banget, sih," ucap Nancy dengan nada yang terkesan manja.

"Kenapa, Nan? Ada yang penting?" tanya Daniel secara langsung. Dia tidak mau berlama-lama dengan Nancy karena takut akan menimbulkan kesalahpahaman.

"Emang kenapa? Aku tadi nelpon kamu taunya Celline yang angkat. Kamu nggak ngapa-ngapain 'kan sama dia?" Nancy bertanya dengan intens, seolah-olah dia sedang menginterogasi pacarnya sendiri.

"Bukan urusanmu, Nan," jawab Daniel dengan tidak senang. Sejak kapan Nancy berperilaku seperti itu padanya? Dia hanya sebatas membantunya ke rumah sakit kemarin, tapi sepertinya gadis itu terlalu berpikir berlebihan.

Nancy sedikit mengerutkan bibirnya, tapi dia segera membenarkan ekspresinya. "Ehm, maaf. Aku datang ke sini mau ngasih ini sebagai tanda ucapan terima kasih."

Dia menyerahkan paper bag di tangannya pada Daniel. Namun lelaki itu tidak bergeming dan hanya menatap tanpa ekspresi pada tangannya.

"Nan, kayaknya nggak perlu. Aku bantuin kamu ikhlas kok," ucap Daniel.

"Nggak papa, Dan. Kebetulan orang tuaku baru pulang dari Eropa, jadi anggep aja oleh-oleh." Nancy tetap berusaha untuk memberikan hadiah itu pada Daniel.

Daniel menatap Nancy dengan perasaan yang rumit. Dia tidak mau menerima hadiah dari orang yang terlalu asing untuknya. Dia membantu Nancy juga karena kemarin jalanan sedang sepi. Jika ada orang lain yang menolong gadis itu pasti dia tidak mau repot-repot melakukannya.

"Nan-"

"Kalau kamu nggak mau, aku janji nggak akan pulang dan tetep di sini aja sampe besok." Sebelum Daniel menyelesaikan kalimatnya, Nancy sudah memotong dengan ancamannya yang sudah terlalu pasaran.

Akhirnya Daniel hanya bisa mengembuskan napas kasar. "Oke. Aku terima ini, kamu boleh pulang sekarang."

"Nanti dulu. Masa aku disuruh pulang gitu aja?" tanya Nancy dengan tidak senang.

Daniel merasa tidak berdaya menghadapi Nancy. Apakah gadis-gadis lain sama merepotkan seperti Nancy? Mungkin memang benar, hanya Celline yang bisa membuatnya nyaman.

**

"Kamu nggak pengen aku masuk ke dalam sebentar?" tanya Nancy tanpa malu. Matanya sudah menatap jauh ke dalam kost milik Daniel.

"Di dalam banyak anak cowok. Kamu nggak malu emang?" tanya Daniel setengah malas.

"Ya udah kalau gitu kita ke kafe deket kost-an, tadi aku lihat pas lagi ke sini." Tanpa ijin dari Daniel, Nancy menarik lengannya menuju ke dalam mobilnya.

Hal yang selama ini Daniel inginkan, yaitu bisa berpergian menggunakan mobil. Tanpa takut hujan dan kepanasan. Namun sepertinya bukan seperti ini yang ia inginkan. Seharusnya dia bersama Celline. Bukan dengan Nancy.

Entah mengapa dia menurut saja waktu Nancy menariknya. Membawanya masuk ke dalam. Bukan karena dia ingin. Namun lebih seperti dia terlalu malas berdebat dengan Nancy.

Dia tak menyangka jika gadis itu langsung menjadi sok dekat setelah kejadian di rumah sakit. Apakah dia tidak peka? Apakah dia tidak tahu jika Daniel tidak menyukainya?

"Kamu sama Celline udah kenal lama ya?" tanya Nancy, sambil mengemudikan mobilnya.

"Iya, sudah lama."

"Terus, kamu ada perasaan nggak sama dia?"

Daniel terdiam. Menatap wajah Nancy dari samping. Pertanyaan yang seharusnya tidak dia ajukan padanya. Karena itu sudah masuk dalam privasinya.

Nancy melirik Daniel setelah tak kunjung mendengar jawaban dari Daniel. Dia tersenyum kecut.

"Sepertinya kamu suka sama dia." Nancy terkekeh menutupi keresahannya. Laki-laki yang menjadi incarannya jelas-jelas menyukai temannya sendiri.

Lalu tak lama mobil sudah tiba di sebuah kafe Moonbuck. Nancy masih saja berperilaku manja hingga membuat Daniel merasa tak nyaman.

Daniel melepaskan kaitan tangan Nancy yang terus mengikat di tangannya. Ekspresinya sedikit tak suka saat Daniel dengan terang-terangan menolaknya.

"Nggak ada kesempatan nih buat aku?!"

Daniel tertegun menatap Nancy. Dia adalah gadis pertama yang mengungkapkan perasaannya pada Daniel sampai begitunya. Gamblang dan terkesan murahan.

Sungguh Daniel tak menyukai wanita seperti itu.

"Nan, lebih baik kamu jangan seperti ini sama aku."

"Kenapa?"

"Kamu sudah tahu kalau aku suka sama Celline..."

"Tapi dia nggak suka sama kamu," potong Nancy dengan wajah bangga, "jadi aku ada kesempatan dong?!"

"Kalau aku nggak ada perasaan sama kamu gimana, Nan. Kita baru kenal lho,"

"Ya udah. Kita tinggal pendekatan aja kan?!"

Daniel memutar bola matanya. Dia muak. Jika bisa, dia ingin pergi dari meja itu meninggalkan Nancy yang memaksakan keinginannya.

Daniel sudah bersiap berdiri sebelum akhirnya ada ucapan Nancy yang membuatnya menatap Nancy kesal.

"Aku tahu Celline butuh uang untuk kuliah. Dan beasiswa itu yang menolongnya sampai sekarang."

"Lalu," ucap Daniel sedikit kesal. Dia mengepalkan tangannya namun menahannya agar tidak terlepas dari genggamannya.

"Ya. Kamu tahu 'kan?! Ayahku itu penyumbang terbesar untuk beasiswa di kampus kita."

Ucapan terakhir dari Nancy membuat bahu Daniel merosot. Itu lebih mirip seperti kata ancaman.

"Apa mau kamu?!"

Nancy tersenyum sinis. Dia memainkan bibir cangkir kopi yang kini sudah berangsur dingin.

"Jangan berpura-pura bodoh."

**

Daniel menatap langit-langit kamarnya. Berkali-kali dia mengembuskan napas kasarnya. Kenapa dia harus berurusan dengan rubah licik yang bernama Nancy?

Perempuan itu dengan jelas meminta Daniel agar menjadi kekasihnya. Bahkan dia tak peduli jika Daniel tak memiliki perasaan padanya.

Suara pesan dari ponselnya membuatnya tersadar. Ia membaca pesan dari Celline, pesan yang membuat suasana hatinya sedikit membaik.

Celline: aku sudah sembuh, kapan kita nonton bareng?

Daniel: bagaimana kalau besok?

Celline: oke, aku tunggu. Kalau batal lagi awas saja!

Daniel terkekeh melihat pesan Celline. Namun ekspresinya mengeras ketika tiba-tiba layarnya berubah, Nancy memanggil...