Daniel memandangi ponsel yang terus-terusan berdering, bingung mau menjawab atau mengabaikan. Akan tetapi mengingat ancaman Nancy, mau tidak mau dia tetap menjawab telepon itu.
"Halo, Dan." Suara dari seberang sana terdengar sangat antusias.
"Iya Nan, kenapa?"
"Besok aku mau ngajak kamu nemenin belanja, bisa nggak?"
Daniel mengurut keningnya, kembali merasa pusing dengan permintaan Nancy. Dia sudah memiliki janji dengan Celline, tidak mungkin jika dia membatalkannya bukan? Apalagi kemarin dia sempat membatalkan janjinya juga gara-gara dia menolong Nancy.
Jika sekarang dia membatalkan pertemuannya besok pasti Celline akan kembali marah, tapi bagaimana dengan Nancy? Dia sudah banyak mendengar tentang Nancy yang seringkali serius dengan ucapannya.
"Aku sudah ada janji sama Celline besok." Daniel menjawab dengan hati-hati. Dia takut menyinggung Nancy atau membuatnya marah.
"Janji ke mana? Kamu masih ingat 'kan apa yang aku bilang?"
Daniel mengembuskan napasnya dengan kasar. "Oke, besok kita pergi. Puas?" Tanpa menunggu jawaban Nancy, Daniel langsung memutus sambungan telepon.
Di ujung telepon, sudut bibir Nancy terangkat menjadi senyum penuh kemenangan. Semudah itu bukan? Ya, semakin tinggi pengaruh seseorang maka semakin mudah pula untuk mendapatkan apa yang diinginkan.
Itu adalah cara kerja dunia yang paling nyata. Selama seseorang memiliki banyak uang ataupun jabatan, maka bukan hal yang sulit untuk 'membeli' seseorang.
"Lihat saja, Cell. Siapa yang akan dia pilih nanti," gumam Nancy sambil memutar-mutar ponsel di tangannya.
***
"Sial!!" teriak Daniel sambil mengacak rambutnya dengan kasar. Dia merasa kesal dengan apa yang terjadi. Apalagi jika mengingat gadis dengan nama Nancy, rasanya hanya ingin menenggelamkannya saja ke sungai.
"Kenapa lagi? Kamu sudah kayak orang stres aja." Aaron berjalan masuk ke dalam kamar sambil membawa dua kaleng minuman dingin beserta beberapa makanan ringan.
Dia sedikit heran dengan Daniel selama dua hari terakhir. Temannya itu terlihat sangat berantakan dan tidak bergairah, seperti memiliki masalah hidup yang berat saja. Tidak biasanya dia akan seperti ini.
"Lemesin dulu, nih." Aaron melemparkan kaleng minuman kepada Daniel dan langsung ditangkap dengan sigap olehnya.
Daniel segera membuka kaleng minum itu dan menenggaknya banyak-banyak. Rasa segar di kerongkongannya membuat dia sedikit lebih lega. "Thanks."
"Aku baik, 'kan?" tanya Aaron dengan menaik turunkan kedua alisnya.
Daniel mencibir. "Aku tahu produk ini emang lagi promo. Kalau nggak mana mau orang pelit kayak kamu beliin jajan."
Aaron menatap Daniel dengan mulut yang mencibir, tapi dia tidak berkata lebih jauh. Tangannya hanya fokus untuk membuka bungkusan makanan yang baru saja dia beli di Alfamarket.
"Ron, aku lagi pusing kamu malah makan mulu," ucap Daniel sambil menarik makanan dari tangan Aaron.
"Wah, kamu kalau pusing tinggal ngomong, kenapa main ngerampok makanan orang!" seru Aaron memprotes Daniel.
Akhirnya Daniel mengembalikan makanan tersebut ke Aaron karena kasihan melihat raut temannya itu. "Kamu tahu 'kan sama Nancy?"
"Oh, yang anak orang kaya itu?"
Daniel mengangguk. "Iya, dia ngajak aku buat nemenin dia belanja."
"Bro, gini aja kok bingung. Ya tinggal setuju aja, 'kan?" Aaron menatap Daniel dengan ejekan.
Daniel tersenyum kecut. Jika dia memiliki perasaan pada Nancy pasti dia akan setuju. Sayangnya semuanya tidak sesederhana itu. Dia tidak pernah menyukai Nancy, bagaimana dia bisa keluar dengannya dan malah mengabaikan Celline?
Sepertinya menceritakan masalah pada Aaron hanya membuatnya semakin pusing. Ya, karena lelaki itu sama sekali tidak dapat membantu memecahkan masalahnya.
"Udah, nggak usah dipikirin."
"..."
***
Sore berikutnya Daniel membuka ponselnya dan bersiap untuk menghubungi Celline. Setelah berpikir sepanjang malam akhirnya dia telah memutuskan untuk membatalkan pertemuannya dengan Celline.
Bukan tentang dia lebih menyukai Nancy, tapi dia tidak mau Nancy melakukan apa pun pada Celline. Apalagi gadis itu adalah keturunan dari kalangan orang-orang berada, mungkin dia harus mengalah terlebih dahulu.
"Cell, maaf ya kayaknya nonton kita ditunda dulu. Aku ada kepentingan lain," ucapnya dalam telepon.
"Kepentingan apa, Dan? Kok mendadak?"
"Iya, Cell soal kampus sih. Nanti kalau udah longgar, aku hubungin kamu lagi." Daniel berkata dengan rasa bersalah. Baru kali ini dia berbohong pada Celline, tapi dia benar-benar tidak memiliki jalan lain.
Celline merasa sedikit kecewa, tapi dia berusaha untuk mengerti keadaan Daniel. Mungkin lelaki itu memang memiliki urusan lain yang lebih penting. Dia mempercayainya.
"Ya udah, nggak papa," jawab Celline dengan singkat. Ya, dia harus ingat kalau mereka hanya sebatas teman. Tidak mungkin 'kan dia harus selalu ada untuknya?
Ah! Tetap saja dia merasa kesal!
Akhirnya dengan enggan dia menekan kontak lain untuk dipanggil. "Des, ayok nonton. Aku nggak jadi nonton bareng Daniel."
"Serius? Oke, aku jemput kamu sekarang."
Ya, daripada dia menghabiskan waktu sendirian di kost-an yang sepi, lebih baik dia pergi menghilangkan penatnya. Walaupun itu tidak bersama dengan Daniel.