"Dan, apa kamu pikir aku bodoh?" Suara Nancy terdengar datar dari telepon.
Daniel merasa tidak senang. Dia sudah mencari keberadaan Nancy, tapi tidak menemukan apa-apa. Lalu bagaimana Nancy bisa tahu kalau dia ada di tempat kost Celline?
"Nggak lucu ya, Nan. Kamu tahu kan aku sukanya sama Celline, jadi kamu harus ngerti gimana perasaanku. Seandainya aku berusaha mencintaimu ... itu nggak akan mudah," ucap Daniel sambil menggenggam ponselnya dengan erat.
Nancy menghela napsnya di dalam mobil. Saat ini dia memarkirkan mobilnya di luar pagar tempat kost Celline. Awalnya dia hanya lewat saja, namun tiba-tiba dia menyadari bahwa motor yang dia kenal ada di sana.
Dia masih ingat dengan jelas plat nomornya. Tidak salah lagi itu adalah miliki Daniel. Akhirnya dengan cepat dia menghubungi pria itu. Dan ya, memang benar Daniel sedang menemui Celline.
Hatinya merasa sakit. Apakah salah dia menyukai Daniel? Apakah salah jika dia mengkhianati temannya sendiri? Dia bahkan memutuskan semua kontaknya dengan laki-laki lain. Semuanya dia lakukan hanya karena dia menyukai Daniel, tapi kenapa pria itu sama sekali tidak mengerti?
Memang harus diakui jika dia bukan gadis yang baik. Dia sering berganti-ganti pasangan sesuka hati, namun sejak dia melihat Daniel saat di parkiran, dia sudah memutuskan untuk berubah dan meninggalkan sikap lamanya. Sayangnya dia sudah terlanjur terkenal dengan image seperti itu.
Sekarang bukan itu masalahnya. Mungkin mulai hari ini dia akan berusaha semaksimal mungkin untuk menakhlukkan Daniel, meskipun dia tidak tahu apakah pria itu masih bisa goyah.
"Ini kesempatan terakhir buat kamu, Dan. Besok-besok aku tidak mau lagi lihat kamu ketemu sama Celline." Setelah mengatakan itu dia langsung memutus sambungan teleponnya.
"Hah!!" Dia mengacak rambutnya dengan kasar. Kemudian bibirnya diangkat menjadi sebuah seringaian. "Cellin ... Daniel. Celline ... Daniel, selamanya kalian nggak akan bisa bersatu."
***
Daniel berkali-kali memaki dalam hati. Berbagai umpatan langsung memenuhi otaknya. Untung dia masih bisa menjaga ketenangannya atau orang lain akan ketakutan jika melihat kemarahannya.
Dia menatap ke kejauhan. Perasaannya begitu rumit sekarang. Pada awalnya semuanya baik-baik saja. Dia sering menghabiskan waktu bersama dengan Celline, entah itu soal kuliah atau hal-hal tidak penting lainnya.
Tawanya seringkali mengisi hari-harinya. Membuatnya sadar jika gadis itu begitu penting untuknya. Dan bagaimana dengan sekarang? Bahkan untuk bertemu pun dia tidak bisa. Ada orang lain yang sudah mengikat dirinya sendiri.
Berbagai pertanyaan pun memenuhi otaknya. Tentang bagaimana semuanya berakhir seperti ini, bagaimana dia harus menghadapinya dan bagaimana dia harus keluar dari situasi rumitnya.
Dia menatap ke atas. Lebih baik dia pulang sekarang lagipula Celline sudah kembali ke kamarnya. Meskipun mungkin akan sulit untuk menemuinya, dia tetap dengan berat hati melangkah pergi.
***
Malam ini Celline meringkuk di tengah kedinginan. Sendirian menatap butiran bening yang turun dari langit. Hujan saat ini benar-benar membuatnya ingin lupa tentang semuanya. Seandainya dia bisa maka biarkan dia menjadi lupa ingatan agar dia tak lagi mengingat kenangannya tentang Daniel.
Tiba-tiba ponselnya berdering menandakan panggilan masuk. Dia sangat malas dan melirik sekilas, ternyata itu telepon dari ibunya. Karena tidak mau membuat cemas akhirnya dia menjawab panggilan itu.
"Halo, Bu."
"Cell, libur kali ini kamu nggak pulang, kenapa? Sehat 'kan di sana?"
Mendengar pertanyaan ibunya, Celline terdiam sejenak. "Sehat, Bu. Celline baik-baik saja, gimana sama Ayah dan Ibu?"
"Kami baik-baik saja, tapi akhir-akhir ini Ibu sedikit cemas. Kamu nggak lagi ada masalah 'kan?"
Tubuh Celline sedikit bergetar. Dia tidak menduga jika ibunya bahkan akan mengatakan hal seperti itu. Ya, itu karena dia sendiri jarang menghubungi orang tuanya jika tidak ada hal yang penting.
Meski begitu ternyata ikatan hati ibu dan anak memang tetap terjalin walaupun jarang bertemu ataupun berkomunikasi.
Celline merasakan hatinya menghangat. Ya, dia masih memiliki ibu yang mau mendengarkannya, yang mau menguatkan hatinya pada saat-saat dia merasa lelah.
Sudut matanya menjadi basah. Dia terisak pelan namun segera ditutup oleh telapak tangannya, takut suaranya akan terdengar di telepon.
"Kamu diam saja. Ibu tahu pasti kamu lagi ada masalah. Ada apa? Kamu bisa cerita, jangan malu-malu."
Celline menyeka pipinya yang basah. Setelah beberapa saat akhirnya dia mulai menceritakan tentang masalahnya. "Daniel, Bu. Sekarang dia udah punya pacar baru, dan pacarnya temen Celline sendiri."
Dia bisa mendengar ibunya yang menghela napas. "Cell, kamu 'kan sudah lama kenal sama Daniel. Ibu percaya kamu pasti tahu gimana sifat dia. Jadi menurut kamu gimana? Apa dia orang yang suka sama perempaun dengan mudah? Apa dia orang yang berbuat hal tanpa alasan?"
"Ibu nggak tahu gimana sifat Daniel, yang paham 'kan kamu sendiri. Coba kamu pikirkan baik-baik. Kalau Daniel memang sukanya sama temen kamu ya sudah, mungkin dia memang bukan takdirnya sama kamu. Nah, kalau dia nggak suka ya mungkin ada hal lain yang buat dia milih temenmu itu."
Celline mendengarkan ceramahan dari ibunya. Diam-diam dia mulai mengangguk mengerti. Seharusnya memang seperti itu. Dia yang sudah mengenal Daniel sejak lama, dia juga yang seharusnya tahu bagaimana sifat pria itu.
Sayangnya dia sendiri terlalu emosional. Hal itu membuat dia harus berpikir lebih banyak. Pada akhirnya dia masih harus tetap rasional.
"Makasih ya, Bu. Celline nggak tahu harus cerita ke siapa," ucapnya dengan tulus. Dia jarang menceritakan masalah kepada temannya. Kebanyakan mereka tidak memberi solusi, sebaliknya malah membuat dia semakin emosi.
"Namanya juga ibu ya harus peduli sama anaknya. Ya sudah, ini sudah malam. Kamu tidur ya."
"Iya, Bu."
Celline merasa lebih lega sekarang. Ya, mungkin dia harus mencoba untuk mengerti keadaan Daniel sedikit demi sedikit.