Morvin masuk ke dalam kamarnya setelah selesai melakukan sesi tanya jawab dengan mamanya. Dia tak bisa mengacuhkan mamanya atau dia akan diacuhkan balik olehnya.
Lelaki itu menghela napas dan memandang langit-langit pada kamarnya. Kejadian yang begitu singkat tadi membuat dirinya sedikit bernostalgia pada masa lalunya bersama Celline.
Mungkin kira-kira sekitar sebelas tahun yang lalu. Saat dirinya menjabat menjadi wakil ketua OSIS. Dia waktu itu sibuk dengan persiapan upacara tujuh belas Agustus di sekolahnya.
Karena terburu-buru dia tak sengaja menabrak seorang siswi yang bernama Celline. Jika dikatakan jatuh cinta pada pandangan pertama, tidak juga. Karena waktu itu dia belum menyukai Celline. Dia hanya meminta maaf lalu berlalu dari hadapan Celline.
Wajah Celline dari dulu memang cantik. Hingga sekarang, gadis itu juga tetap cantik. Apalagi bertambahnya usianya membuat aura dewasa menempel dalam dirinya.
Lalu kejadian kedua, cukup membuat jantung Morvin berdegup kencang. Saat Celline jatuh pingsan ketika latihan paskibra. Karena saat itu hanya dirinya satu-satunya lelaki yang berada di sana. Akhirnya Morvin yang menggendong Celline menuju UKS.
"Bu, ini tolong anak kelas satu pingsan," ucap Morvin pada petugas UKS yang berjaga saat itu.
"Oh ya udah. Tapi ibu mau keluar dulu. Disuruh sama pak Kepala Sekolah ke lapangan. Kamu jagain dia sebentar ya. Tapi awas jangan macam-macam!" perintahnya diiringi senyum menggoda. Guru itu tahu jika Morvin tak akan berbuat aneh-aneh pada gadis tersebut.
"Iya, Bu." Morvin canggung, karena harus berada di dalam satu ruangan dengan Celline yang saat itu sedang tak sadarkan diri.
Dia tak berani menatap Celline lebih dari tiga detik. Karena kata mamanya nanti ada setan di antara mereka.
Namun Morvin penasaran dengan nama gadis itu. Dengan sedikit lirikan matanya. Dia mendapatkan sebuah nama Celline pada name tag di atas saku bajunya. Lalu setelah sedetik kemudian Morvin memalingkan wajahnya kembali.
Dia mengangguk-angguk mantap. "Oh namanya Celline," gumamnya. Ia memandangi jam di dindingnya. Sudah seperempat jam Celline namun tak sadar juga.
Morvin mengantuk. Akhirnya dia ketiduran di kursi samping Celline sebelum kemudian Celline membuka matanya dan mendapati kakak kelasnya itu sudah duduk di sampingnya.
Celline tersenyum, ia memiringkan wajahnya dan mengamati wajah Morvin yang terlelap dalam tidurnya.
"Cell," panggil Daniel pelan ketika menyadari ada seorang lelaki di sana.
"Eh, Dan." Dengan perlahan Celline menyingkap selimutnya lalu menuruni brankar UKS. "Yuk pergi!" Ajaknya, namun dia melirik sekilas wajah Morvin.
"Dia siapa?" tanya Daniel pada Celline. Namun hanya dibalas senyuman oleh gadis itu.
**
Di sisi lain pada waktu yang sama.
Celline dan Daniel juga saling diam. Tak ada suara yang keluar dari bibir mereka. Daniel sibuk dengan pikirannya, begitupun Celline.
Motor yang ia naiki sekarang berjalan lambat. Daniel sengaja melakukannya. Agar waktunya dengan Celline berjalan lebih lama.
"Kamu masih suka sama cowok tadi Cell?" Akhirnya Daniel menumpahkan isi hatinya pada Celline.
"Kenapa emang?" tanya Celline cuek.
"Gak apa-apa. Lagian juga kamu gak bakal dengerin pendapatku 'kan?"
"Iya Dan. Mending kamu fokus sama hubungan kamu sama Nancy. Aku gak mau nanti ada berita miring soal aku sama kamu kayak sekarang."
Daniel tak menanggapi. Dia lalu menarik gasnya kencang. Pikirannya rumit. Andai saja Celline tahu jika ia melakukannya demi gadis itu.
**
Perjalanan tidak terlalu jauh, namun Celline merasa jika waktu berjalan sangat lambat. Dia ingin cepat sampai dan pergi jauh dari Daniel. Entahlah, sekarang dia merasa tidak ingin berlama-lama dengan Daniel. Tidak tahu karena dia takut perasaannya tidak bisa ditahan atau karena dia sudah semakin membencinya.
Berbeda dengan Celline, Daniel justru merasa semuanya terlalu cepat. Bukan hanya karena sebentar lagi mereka akan sampai di tempat kost Celline, namun dia juga merasa semuanya terbalik dengan begitu cepat. Adegan-adegan terus diputar secara bergantian di kepalanya dengan cepat.
Dia ingin marah, tapi kepada siapa? Bahkan mengeluh pun tidak tentu didengarkan. Semuanya dia lakukan memangnya untuk siapa? Celline.
Apa mungkin pilihannya telah salah? Mungkinkah seharusnya dia tetap tidak mempedulikan Nancy dan membiarkan beasiswa Celline terputus? Itu tidak mungkin.
Tanpa sadar mereka sudah tiba di tujuan. Sebelum Daniel membelokkan motornya masuk ke halaman, seorang wanita menghalangi jalannya tepat di depan gerbang. Siapa lagi jika bukan Nancy. Entah apa yang membuat wanita itu juga datang ke sana.
Nancy bersedekap menatap dua orang yang duduk di atas motor. Ekspresinya mengeras terutama ketika melihat Celline yang menunduk. Amarah dan kebencian yang dia simpan sejak lama langsung memuncak saat mendapati Celline yang sama sekali tidak mempedulikan kehadirannya.
Dia langsung menarik Celline untuk menjauh dari Daniel. Bagaimana mungkin dia akan membiarkan gadis itu berdekatan dengan kekasihnya? Itu tidak boleh terjadi.
"Kamu masih berani deket-deket sama Daniel? Sadar nggak sih dia udah jadi milikku?!" bentaknya sambil mencengkeram tangan Celline.
Celline mengangkat kepalanya dan menarik tangannya. Kemudian bibirnya mendecih, matanya menatap Nancy dengan pandangan jijik. "Kenapa nggak berani? Bukannya kamu yang harusnya sadar kalau dia nggak suka sama kamu?"
Plaakk!
Satu tamparan melayang mendarat di pipi Celline. Rasanya panas, perih. Apa dia harus menangis?
Celline memegang pipinya yang memerah dengan jejak telapak tangan. Dia mungkin marah, tapi dia tidak akan membalas amarahnya menggunakan kekerasan.
"Jaga ya kalau ngomong! Suka atau nggak emang kamu tahu perasaan Daniel?!" seru Nancy yang sudah dikuasai amarah.
Daniel terkejut saat melihat Nancy menampar pipi Celline. Semuanya terjadi dengan cepat, bahkan tidak membiarkannya menghentikan tindakan Nancy. Dia langsung berlari mendekati Celline dan memeriksa wajahnya.
"Kamu nggak papa?" tanya Daniel.
"Udah, Dan. Ngapain sih kamu masih peduli sama dia?!" Nancy menarik Daniel untuk menjauh dari Celline.
"Kamu nggak lupa 'kan sama aturan kita?" bisiknya yang langsung membuat Daniel membisu dan menuruti apa perkataan Nancy.
Celline kecewa saat melihat Daniel tidak bergerak dan berhenti mengkhawatirkannya. Mungkin dia yang terlalu berharap. Sepertinya Daniel memang sudah memihak Nancy dan lebih memilih perempuan sialan itu.
"Aku nggak akan ganggu kalian lagi. Selamat, kamu akhirnya dapetin apa yang kamu mau." Celline menatap Nancy dengan wajah tanpa ekspresi.
Setelah itu dia berbalik pergi. Tidak ada gunanya jika dia tetap di sana, hanya akan membuat semuanya semakin rumit. Mungkin sekarang sudah saat baginya untuk membuang semua hal-hal tentang Daniel.
Awalnya dia telah mencoba untuk bersikap positif. Dia hanya akan menjauhi Daniel untuk menenangkan gejolak hatinya, tapi sekarang kondisinya sudah tidak sama lagi. Daniel jelas-jelas memilih Nancy, untuk apa lagi dia mencoba memakluminya?
Tidak ada lagi. Semuanya musnah. Hancur dan hilang.
Tidak ada lagi air mata yang keluar. Sudah bosan menangisi sesuatu yang tidak bisa kembali utuh. Bahkan jika dia kembali menyatukan, hasilnya tidak akan sempurna seperti di awal. Tangannya hanya akan terluka ketika mencoba menyatukan kaca yang pecah.
Celline membakar semua foto-foto Daniel maupun yang ada dirinya dalam satu bingkai. Apa artinya semua itu? Tertawa bersama, tersenyum bersama. Tidak ada lagi yang seperti itu.
Bakar.