Celline menyelesaikan suapan makan siang terakhirnya. Dia mengamati pria yang duduk di depannya. Pikirannya masih tidak mengerti kenapa dia bisa dipertemukan kembali dengan pria itu.
"Kamu lihatin apa?" tanya Morvin yang menyadari tatapan Celline. Senyum tipis muncul di bibirnya.
"Nggak kok," jawab Celline. Dia merasa canggung karena ketahuan sedang memperhatikan Morvin.
"Em, kenapa tadi menungguku?" Celline melemparkan pertanyaan.
Pagi ini setelah Morvin mengantarnya, ternyata pria itu memutuskan untuk menunggunya keluar dari kampus. Lalu dengan penuh
"Oh, aku lupa lagi." Morvin menepuk dahinya sendiri. "Aku mau minta nomer ponsel kamu."
Celline terpana dengan jawaban Morvin. Ternyata pria itu hanya menginginkan nomer ponselnya sampai-sampai menunggunya di luar gerbang. Jika dia tahu lebih awal pasti dia sudah memberikannya pagi ini.
"Aku pikir ada yang penting, Kak." Celline terkekeh. Dia mengambil ponselnya dan menunjukkan informasi kontaknya pada Morvin.
Hal pribadi seperti kontak adalah sesuatu yang privasi, tapi entah kenapa dia merasa tidak keberatan memberikannya pada Morvin. Mungkin karena dia sudah merasa sedikit lebih akrab.
Awalnya dia hanya akan bertindak biasa pada Morvin, tapi apa yang sudah dilakukan oleh pria itu membuatnya merasa tidak enak. Mereka bukan siapa-siapa tapi Morvin mau mengantarnya kuliah pagi ini. Bahkan dia sengaja menunggunya untuk meminta kontaknya.
Celline tidak mengerti kenapa Morvin melakukan hal seperti itu. Yang jelas dia merasa senang. Setidaknya dia memiliki seseorang untuk diajak berbicara hingga mengalihkan pikirannya dari kemelut yang dia rasakan.
Morvin tidak mengatakan banyak hal. Dia langsung mencatat nomer ponsel Celline. Dia merasa sangat senang. Ah, perasaan itu seperti masa-masa pendekatan saat masih remaja dulu. Bedanya kali ini gadis yang ada di depannya adalah seseorang yang berada di luar perkiraannya.
"Trima kasih." Dia menyunggingkan senyum manisnya.
"Sama-sama," jawab Celline yang sedikit salah tingkah. Dia menundukkan kepala dan berpura-pura sibuk dengan ponselnya.
Makan siang mereka sudah selesai. Sebelumnya, Morvin menyadari suasana hati Celline yang memburuk. Akhirnya dia mengajaknya untuk makan siang berdua. Siapa tahu bisa mengembalikan mood gadis itu.
"Pulang sekarang?" tanya Morvin.
Celline berpikir sejenak. Akhirnya dia mengangguk untuk menjawab pertanyaan Morvin.
***
Daniel mengendarai motornya dengan cepat. Tujuannya kali ini adalah memeriksa keadaan Celline. Dia takut gadis itu sudah mendengar berita tentang pernikahannya dan mempercayai begitu saja.
Ketika mengingatnya dia hanya merasa semakin sakit kepala. Sepertinya dia sudah banyak menyulitkan Celline, membuat gadis itu banyak menelan rasa sakit.
Akan tetapi dia sendiri juga tidak lebih baik. Dia juga merasa sulit, terjebak dengan pilihannya sendiri. Seandainya dia bisa memutar waktu kembali, dia benar-benar akan mengubahnya ke saat-saat di mana tidak ada sosok bernama Nancy yang memasuki kehidupan mereka.
Sayangnya tidak ada hal seperti itu. Tidak ada keajaiban untuk memutar waktu. Saat ini dia sudah muak. Mungkin dia harus mengatakan yang sebenarnya terjadi pada Celline. Dia tidak ingin semuanya menjadi terlambat.
Akan tetapi semua rencananya kembali dipertanyakan ketika dia melihat apa yang terjadi di depannya. Dia melihat Celline bersama dengan Morvin. Ya, gadis itu baru saja turun dari motor pria sialan itu.
Wajahnya nampak ceria seperti biasa. Terlihat seperti tidak sedang memiliki masalah apa pun. Bahkan gadis itu nampak tersenyum saat Morvin membantu melepaskan helm dari kepalanya.
Apa yang terjadi sekarang? Apakah Celline sudah semakin dekat dengan Morvin dan telah melupakannya begitu saja?
Daniel tidak senang melihatnya. Dia cemburu. Dia juga marah. Bagaimana Celline bisa sedekat itu dengan pria lain?
**
Daniel merasakan hatinya yang tidak nyaman. Dia melihat Celline bersama dengan pria lain bagaimana mungkin dia tidak cemburu?
Awalnya dia ingin menemui Celline, tapi melihat apa yang baru saja terjadi membuat dia kembali bertanya-tanya. Apakah Celline masih menyukainya? Atau malah sudah melupakannya dan mulai menaruh hati pada pria bernama Morvin?
Setelah Morvin pergi, Daniel memberanikan diri untuk mendekati gadis itu. "Cell!"
Celline menoleh melihat Daniel yang berdiri tidak jauh darinya. Entahlah. Melihat wajah itu membuat dia merasa nyeri di dadanya. Meskipun dia sudah memutuskan untuk melupakannya, tapi hatinya tidak bisa memungkiri bahwa perasaan itu masih ada.
Perasaan sesak setiap kali mengingat bahwa pria yang dia cintai kini sudah menjadi milik wanita lain. Belum lagi hubungan itu akan berlanjut ke jenjang yang lebih serius. Bagaimana dia harus baik-baik saja?
Tanpa mengatakan apa-apa, dia berbalik untuk memasuki rumah kost. Dia tidak siap jika harus berhadapan dengan Daniel.
"Cell, tunggu dulu!" Daniel berlari mendekati Celline. Dia menahan pergelangan tangan yang rasanya semakin kurus saja.
"Kamu kenapa sama Morvin? Apa sekarang kamu udah mulai suka sama dia?" tanya Daniel. Wajahnya gelisah menunggu jawaban apa yang akan dia dengar.
"Suka nggak suka memangnya penting, Dan? Kayaknya ini bukan urusanmu," ucap Celline tanpa melihat ke mata Daniel. Tanpa mengucapkan apa-apa lagi dia menarik tangannya dan berjalan meninggalkan Daniel yang mematung.
Bohong jika dia bilang menyukai Morvin. Ya, saat ini dia hanya menganggap Morvin sebagai kakak, tidak lebih. Jadi dia memilih untuk menghindari jawabannya.
Daniel menatap kepergian Celline dengan nanar. Dia memegang kepalanya yang mulai pening. Apa yang harus dia lakukan sekarang?
Dia melihat tawa Celline saat bersama dengan Morvin. Apakah gadis itu sekarang sudah lebih bahagia? Haruskah dia merelakannya begitu saja?
Lalu bagaimana dengan hatinya sendiri? Menikah dengan Nancy? Apakah ini pilihan yang tepat?
Daniel berjalan dengan gontai. Sekarang masalahnya bahkan sudah semakin rumit.
***
"Bro! Serius mau nikah sama Nancy?!" seru Aaron yang saat ini sedang memegang ponselnya. Dia baru sempat mengecek sosmed dan dikejutkan dengan berita itu.
"Gila. Kamu serius sama gadis itu? Nggak papa sih, dia emang cantik, kaya lagi. Hidup pasti makmur," lanjutnya.
"Masalahnya aku nggak ada perasaan sama dia," ketus Daniel. Dia sudah malas menjelaskan hal-hal pada teman yang satu ini.
"Terus, Celline gimana?" tanya Aaron.
"Nggak tahu lah. Aku udah sakit kepala. Tadi dia jalan sama Morvin, kakak kelas yang dia sukai dulu."
"Waduh. Dia nggak suka lagi 'kan?"
Ini adalah pertanyaan yang normal. Siapa pun yang melihat dan mendengar apa yang terjadi pasti akan berpikir Celline kembali menyukai Morvin. Sama seperti Daniel. Dia juga berpikir seperti itu.
"Aku nggak tau," jawab Daniel dengan ragu. Dia berlalu pergi masuk ke kamarnya, meninggalkan Aaron yang menatapnya dengan kepala tergeleng.
Daniel menatap bimbang pada ponsel yang tergeletak di atas kasur. Setelah berpikir beberapa saat akhirnya dia memantapkan keputusannya. Dia menekan kontak orang tuanya dan memanggilnya.
"Ada apa, Dan? Kamu baik 'kan di sana?" tanya suara berat dari ujung telepon. Ya, itu adalah ayahnya.
"Baik, Yah. Daniel mau ngomong serius."
"Ngomong aja, Dan. Ayah dengerin," jawab ayahnya dengan santai. Dia memang sosok ayah yang menyerupai teman bagi Daniel.
"Ayah nggak keberatan 'kan kalau Daniel milih istri sendiri?"
Setelah beberapa saat suara tawa ayahnya bergema di telinga Daniel. "Kenapa keberatan? Ayah dukung apa pun keputusanmu, Nak. Memangnya kamu udah mau nikah? Kok nanya begini?"
Daniel tidak tahu harus menjawab apa. Dia hanya harus mengambil keputusan sekarang meskipun rasanya sangat berat.
"Nggak tau kapan nikahnya, tapi calonnya ... udah ada."