"Selamat Anda hamil tiga minggu," ucap dokter pada Celline. "Sebentar lagi Anda akan menjadi seorang ibu," lanjut dokternya.
Celline mendongak, menatap dokter tak percaya.
Mana mungkin dia bisa hamil, padahal hanya melakukan hal tersebut satu kali dengan Daniel?
Lalu bagaimana dengan Morvin? Padahal dia sudah setuju untuk menjadi istrinya nanti?
Celline Saat ini malu jika bertemu dengan Morvin. Hal apa yang harus ia katakan pada lelaki itu?
Padahal sedikit pun Morvin belum pernah melakukan hal macam-macam padanya selama ini.
Ponsel Celline bergetar, gadis itu terkejut menatap layar gawainya. Pas sekali ketika Morvin yang menelepon.
"Kamu udah selesai?" tanya Morvin.
"Iya, aku udah selesai."
"Apa kata dokter? Kamu sakit apa?"
Celline diam, lebih baik dia mengatakan yang sesungguhnya pada Morvin. Daripada dirinya harus menanggung sendirian, apalagi jika dia harus berbohong pada lelaki itu terus menerus.
"Bisa kita makan siang bareng?" tanya Celline. "Aku sekalian mau bilang sesuatu sama kamu."
"Oh, oke. Di mana? Kamu tentuin aja tempatnya. Aku langsung ke sana."
"Hmm, aku kirim alamatnya lewat chat ya."
**
Nancy masuk ke dalam restoran yang ia pesan. Hari ini dia berniat menemui teman-temannya. Menyombongkan dirinya jika bisa dapat menahklukan Daniel, lelaki yang selama ini dia incar.
"Nancy, di sini!" Farah melambaikan tangannya padanya. Disusul senyum dari temannya yang lain.
Nancy berjalan dengan penuh percaya diri. Menemui teman-teman kuliahnya waktu dulu.
"Wah pengantin baru, auranya beda ya," goda Inka salah satu teman Nancy.
Nancy hanya tersenyum, dia meletakkan tasnya di samping kemudian memesan makanan pada pelayan yang datang menghampirinya.
"Jadi gimana nih, bahagia gak udah kesampaian nikah sama Daniel?" tanya Inka.
"Ya gitu deh, Daniel juga yang seharusnya beruntung. Iya kan?" Nancy melihat ke sekitar. Tak begitu suka dengan restoran yang dipilih oleh Inka karena menu di sana kebanyakan ikan dan makanan laut lainnya.
Sementara itu Celline masuk ke dalam restoran bersama Morvin. Dia makan siang di restoran yang sama dengan Nancy.
Nancy yang melihat Celline, langsung muram wajahnya. Sedangkan Celline yang tidak tahu jika di sana ada Nancy mengambil duduk di belakangnya tepat.
"Kamu mau pesen apa?" tanya Morvin.
"Aku lagi mau gurame," jawab Celline. Entahlah dia hanya ingin makan itu untuk saat ini. Apa itu yang dimaksud dengan ngidam?
"Oke deh, aku juga deh. Minum apa?"
"Jus mangga muda."
Morvin sontak menatap wajah Celline. "Emang gak asem?"
Celline meringis. "Aku lagi suka sama yang asem-asem."
"Itu artinya kamu gak suka sama aku dong? Aku kan manis," kekeh Morvin
Celline tertawa kecil mendengar kelakar dari kekasihnya itu. Nancy yang mendengarnya tak suka. Mengapa Celline tidak sedih sama sekali? Bukankah seharusnya dia bersedih?
"Oh ya guys, Daniel kuat banget di ranjang," ungkap Nancy tiba-tiba. Membuat Farah dan Inka melongo.
"Ya, sih. Gak diraguin. Daniel aja begitu kan badannya," timpal Farah.
"Terus sampai berapa ronde tuh?" tanya Inka penasaran.
Nancy tersenyum, dia melirik sedikit ke belakang. Suasana di belakang mejanya menjadi hening.
"Sampe pagi, aku gak nyangka kalo Daniel doyan juga ternyata," kekeh Nancy pura-pura berbisik padahal dia sengaja mengatakan itu agar Celline mendengarnya.
Morvin yang melihat jika ekspresi wajah Celline berubah hanya memandang wajah itu. mengelus punggung tangannya dan tersenyum.
"Mau pindah meja aja?"
Celline langsung menggeleng cepat.
"Udah bukan urusanku lagi kok." Celline mencoba untuk tersenyum juga, jika dia pindah maka dia mengakui kekalahannya sendiri.
Celline lagipula juga sudah berjanji jika akan purapura tidak akan mengenal mereka berdua. Menghilang dari kehidupan Nancy dan Celline, jadi—buat apa dia susah payah menghindari. Toh, hubungan mereka sudah berakhir.
"Oh ya, tadi mau bilang apa?" Morvin bertanya.
"Aku lupa, nanti aja deh kalo aku udah inget lagi."
"Dasar."
Morvin tidak tahu saja jika hal yang akan dikatakan oleh Celline adalah sebuah kabar buruk baginya.
**
Usai pulang dari restoran, Nando menawari Celline untuk mampir di kliniknya. Untung saja perempuan itu mau, lagipula perempuan itu tadi belum sempat mengatakan apa yang ingin dikatakan saat di telepon tadi.
"Ini perasaan aku apa kamu emang lagi mau diem ya, Cell?" tanya Morvin. Laju motornya pelan, ia ingin lebih lama dengan Celline. "Apa masih gak enak badan?"
"Bukan, aku—nanti aku bakalan ceritain sama kamu."
"Jangan buat aku takut Cell, kamu gak sakit apa-apa kan?"
"Enggak kok." Celline mengeratkan pelukannya, sampai mereka berdua di klinik tak lama kemudian.
Celline melepaskan helmnya, memberikannya pada Morvin.
"Klinik kamu emang lagi sepi? "Gak ada pasien tumben jam segini. " Celline melihat klinik Morvin hanya ada yang keluar masuk membeli makanan untuk anjing dan juga kucing.
"Ada nanti sore, aku harus ke kampung Pramuka. Ngobatin kuda," jawab Morvin. Terkesan tidak serius tapi dia serius. Ingat, dia adalah dokter hewan.
"Oh." Ternyata tak mampu membuat Celline tertawa.
Kemudian Celline dibawa ke ruangan Morvin, di sana dia duduk dan menatap kekasihnya yang sedang mengambilkannya segelas air putih untuknya.
"Tau begitu kan aku dulu jadi dokter buat manusia," keluh Morvin lagi.
"Kalo kamu jadi dokter umum, aku gak mau diperiksa sama kamu," sahut Celline.
"Lho, kenapa?" protes Morvin.
Celline tersenyum tipis.
"Oh ya, aku mau bilang sesuatu sama kamu."
"Bilang aja, kenapa?" Morvin duduk di depan Celline, hanya terhalang sebuah meja yang memisahkan jarak mereka berdua.
"Kamu serius mau nikah sama aku?" tanya Celline ragu.
"Kenapa kamu tanya masalah itu? Aku serius, aku bahkan udah bilang sama ibuku, Cell. Kenapa? Kamu ragu ya sama aku."
"Bukan, bukan masalah itu. Tapi ada masalah lain. Dan—kayaknya aku gak pantas buat jadi istri kamu."
"Apa karena aku duda?"
"Bukan, bukan kamu masalahnya, tapi aku."
"Bilang sama aku, kenapa sama kamu?"
Celline masih diam. Dia malah mengelus perutnya pelan. Tapi dari sana Morvin sudah dapat menebak. Namun yang menjadi masalah adalah Morvin tak pernah menyentuh Celline selama mereka pacaran.
"Aku hamil," ucap Celline. "Aku hamil anak Daniel, jadi mana mungkin aku mau nikah sama kamu? Aku masih tau diri?!"
Mata Morvin bergetar. Jantungnya berdebardebar tak enak. Dadanya seketika terasa sangat sesak.
"Kap—kapan kamu melakukan itu dengan dia?" Morvin terbata. Tak bisa berkata-kata.
"Waktu aku sama dia nganter undangan," jawab Celline pelan.
"Kenapa—ah bukan begitu. Aku tau kamu masih menyukainya, tapi kamu—"
"Makanya, aku ngerasa gak pantas buat nikah sama kamu. Apalagi aku sekarang hamil anak Daniel."
"Gimana kalo aku tetap masih mau nikahin kamu?" tantang Morvin.
Celline sontak mendongak. Dia tak percaya dengan apa yang Morvin katakan.