Daniel dan Nancy sudah sampai di sebuah rumah yang akan mereka tempati sebentar lagi.
Masih bersih sebab setiap hari ada orang yang membersihkan rumah tersebut. Nancy keluar dari mobil kemudian melangkah masuk dengan langkah yang ringan.
Dia tersenyum membayangkan bagaimana rumah tangganya akan ia jalani bersama dengan Daniel setelah ini.
Nancy menggandeng lengan Daniel melangkahkan kakinya masuk ke dalam rumah.
Namun senyum Nancy seketika hilang ketika ingat jika ketika Daniel mengantarkan undangan pernikahannya, telah berbuat yang tidak-tidak dengan Celline.
"Kamu melakukannya dengan wanita itu di mana?" tanya Nancy.
Daniel melirik, dia hanya diam. Buat apa dia menjawab pertanyaang itu. Daniel berjalan masuk ke dalam ruang tamu, kemudian duduk di sana.
"Kapan kita akan tinggal di sini?" tanya Daniel. Ia memejamkan matanya rapat-rapat mengingat jika dulu ia pernah melakukan dengan Nancy di kursi itu.
"Sebelum kamu masuk kerja, mungkin besok. Lagipula kita cuma perlu bawa baju aja, jadi gak akan lama," jawab Nancy dudul di sebelah Daniel. "Aku akan buang kasur yang ada di dalam kamar, kalo kamu pernah ngelakuin hal itu sama Celline di sana," desis Nancy.
"Aku gak ngelakuin di sana, jadi jangan bertingkah aneh-aneh. Ranjang itu mahal, aku gak mampu beli," sahut Daniel kesal. Dia menarik tangannya ketika Nancy mengeratkan tangannya semakin erat.
"Bagus deh kalo begitu. Lalu di mana kalian ngelakuin hal hina itu?" Nancy masih belum menyerah, dia terus bertanya pada Daniel. Tapi lelaki itu menutup mulutnya.
Dia masuk ke dalam kamar yang ada di lantai dua. Rupanya sangat luas dan tak beda jauh dengan kamar yang ada di rumah mertuanya.
"Aku mau tidur di sini sebentar," kata Daniel.
"Tidur lagi?"
"Kenapa? Apa gak boleh?"
"Kamu gak laper?"
"Kamu aja makan sendirian, udah ada pembantu kan di bawah."
"Ada tapi kan gak ada apapun ya bisa dimasak, Dan."
Daniel membalikan tubuhnya. "Ya udah kamu beli sayur dong sama pembantu kan bisa," sahut Daniel marah. "Oh ya aku lupa kalo kamu gak bisa masak," oloknya kemudian Daniel merebahkan dirinya lagi di atas kasur.
Nancy mengepalkan tanganya. Sangat kesal mendengarkan olokan dari Daniel barusan.
Nancy tak bisa memasak, jangankan memasak. Ke dapur saja tidak pernah selama ia hidup selama ini. kecuali kalau dia ingin mengambil air minum untuk dirinya sendiri.
Dan kini, Daniel suaminya sendiri meledeknya habis-habisan karena Nancy tidak mempunyai kemampuan memasak sama sekali.
"Oke, aku bakalan belajar memasak, tapi liat aja nanti. Kalo aku bisa masak, kamu harus mau punya anak sama aku."
Daniel memutar bola matanya di belakang Nancy. Itu sih urusan dia, punya anak atau tidak ya dipikir saja nanti. Daniel masih terlalu malas membayangkan dia memiliki anak dari Nancy. Karena pasti dia akan menggunakan alasan anak untuk menjeratnya.
"Sampai kapan aku harus menjalani pernikahan ini sama dia? Apa aku gak bisa lari aja?" gumam Daniel. "Aku mau bertemu Celline."
**
Morvin membukakan pintunya untuk Celline, mereka berdua sudah tiba di rumah orang tua Celline. Tujuannya sih ya untuk melamar Celline hari ini.
Morvin sudah mantap, apalagi melihat Celline sedang mengandung anak orang.
Katakanlah Morvin bodoh, dia memang bodoh sebab mau menerima wanita yang telah hamil anak orang lain. Tapi mau bagaimana lagi, toh status dia saja duda tanpa anak.
"Kamu bisa berubah pikiran sebelum masuk ketemu sama ayah sama ibuku," kata Celline.
"Aku gak akan berubah pikiran."
Celline tersenyum, ia memegang erat tangan Morvin. Mulai hari ini dia sudah bertekad jika akan mencintai lelaki itu dengan segenap hati dan jiwanya. Tak akan menyia-nyiakan seperti mantan istri yang dilakukan Morvin sebelumnya.
Ibu Celline yang sudah diberi tahu anaknya jika Morvin akan datang sudah menyiapkan makan malam di meja makan.
Ayah Celline belum kembali dari kantor, jadi hanya ada ibunya di rumah itu.
"Makan dulu ya, Nak Morvin," ajak ibu Celline yang begitu ramah. Sejak Celline mengatakan kalau Daniel akan menikah dengan orang lain, sebisa mungkin ibunya tak pernah membahas masalah Daniel lagi.
Apalagi setelah tahu kalau Celline akan serius dengan Morvin.
"Ayah kapan pulang, Bu?" tanya Celline ketika membantu ibunya meletakkan makan malam di meja makan.
"Gak tau, soalnya kan kadang lembur. Kenapa?"
"Ya kan keburu malam, mana perjalanan jauh begini. Morvin mau bilang sama ayah mau lamar Celline. Masa' sama ibu aja?"
"Ya udah, nginep aja. Kan ada kamar kosong di belakang. Pulang besok pagi."
"Yah ibu ih, mana mau Morvin nginep di rumah kita."
Ibunya hanya tersenyum, kemudian dia berjalan ke meja makan. "Sambil diminum ya Nak Morvin, ayah Celline pulang masih lama, jadi kalo malam ini nginep di rumah Celline dulu mau gak?" tanya ibu Celline yang langsung mendapatkan sikutan dari Celline.
Morvin melirik ke arah Celline. "Kalo Celline gak keberatan sih Bu," jawab Morvin.
"Cuma kamar di sini jelek, kamu pasti gak mau."
"Mau, kenapa aku gak mau?"
"Tuh kan, namanya orang kalo udah suka ya mau lihat rumahnya jelek ya tetep mau," kata ibu Celline. "Kalian makan dulu deh, biar ibu siapin kamar buat nak Morvin."
Ibu Celline memang tampak menyukai Morvin. Karena jika dilihat lagi kan Morvin sudah memiliki klinik sendiri, kemudian dia juga tampak sangat menyukai Celline. Jadi tak ada alasan untuk tidak menyukainya.
"Kamu yakin?" tanya Celline.
"Kenapa? Gak boleh ya?"
"Bukan begitu sih."
Perjalanan ke rumah Celline memang sangat jauh, apalagi tadi Morvin harus mengobati kuda di tempat lain dulu. Maka sampailah di sana pada jam tujuh malam.
Jika mereka harus menunggu ayah Celline pulang. Mungkin mereka akan sampai di kos Celline pukul tiga pagi. Jadi alangkah baiknya jika Morvin dan Celline menginap saja di sana.
"Tapi aku takut kalau ditolak sama ayah kamu," bisik Morvin.
Celline tertawa. "Gak mungkin," sahut Celline.