Celline memundurkan tubuhnya ketika mendengar suara bernada tinggi ke arahnya. Dia malu ketika orang-orang yang berada di sana sontak menoleh padanya gara-gara mantan istri Morvin.
Ya, dia hanyalah mantan istri dari Morvin. Celline lebih percaya kepada lelaki itu daripada wanita yang kini dengan raut wajah kesalnya ingin melabrak Celline.
Namanya Rindi. Dengan dandanan yang mencolok dia nampak terlihat lebih tua dibanding dengan umur dia yang sebenarnya.
Celline diam. Dia tak mengatakan apapun karena dia merasa memang ikut andil sudah menyebabkan Morvin menjadi seperti saat ini.
"Minggir!" usir Rindi dengan tangannya begitu kasar. Daniel yang melihatnya dari celah pintu tak suka jika Celline diperlakukan seperti itu oleh Rindi.
"Pulang sana!!! Ngapain kamu masih di sini?!" bentaknya lagi. Karena Daniel sudah tidak tahan melihat Celline diperlakukan kasar seperti itu. Ia langsung berjalan menghampiri mereka berdua.
"Maaf kalau anda memang tidak suka dengan pacar saya, tidak perlu berkata kasar seperti ini." Daniel mencoba melembutkan suaranya. Itu adalah usahanya yang pertama. Namun jika Rindi masih belum bisa bicara baik-baik pada mereka. Mungkin Daniel bisa menjadi lebih kasar meskipun yang dia hadapi adalah seorang wanita.
"Kamu siapa?" tanyanya namun dengan nada yang sedikit turun. Berbeda ketika dia bertanya pada Celline tadi.
"Saya adalah pacar dari gadis ini. Jadi anda tak perlu khawatirkan dia."
Celline menatapnya tak percaya. Mengapa dia harus mengatakan pada Rindi jika ia adalah pacarnya.
Rindi mengangguk mengerti. Lalu pandangannya menoleh pada Morvin yang sudah sadar dari pingsannya. Mungkin karena keributan yang sudah ia buat.
"Sayang, kamu gak apa-apa 'kan?" Tangan Rindi langsung ditepis oleh Morvin. Dengan tatapan tak suka Morvin langsung memandangi Celline. Cemas.
"Kamu gak apa-apa 'kan Cell?" tanya Morvin, ia bahkan mengabaikan Rindi yang sejak tadi berusaha menarik perhatiannya.
Celline mengangguk.
"Kutinggal ya Kak, udah ada yang jagain soalnya."
Morvin yang merasa tak enak pada Celline hanya mengangguk. Dia sebenarnya tak butuh Rindi ada di sana.
Lelaki itu menatap Celline pergi bersama Daniel. Teman dekatnya itu nampak sangat mengkhawatirkannya.
"Kamu ngapain di sini?" tanya Morvin tak senang. Ia merebahkan kembali tubuhnya pada brankar dengan perlahan.
"Nemenin kamu lah?! Memangnya mau apa lagi?"
Morvin mengembuskan napas kesalnya. Ia tak tahu mengapa mantan istrinya itu tahu jika dirinya sedang berada di rumah sakit.
"Tadi aku nelpon kamu gak diangkat-angkat. Sekalinya diangkat suara pria. Terus ngasih tahu kalau kamu di rumah sakit karena kecelakaan," ucap Rindi pelan. Dia menciut ketika mendapati ekspresi Morvin yang benar-benar tak menyukai kehadirannya.
"Kamu gak seneng ya aku ada di sini?" tanyanya kemudian.
"Iya, aku gak seneng," jawab Morvin datar. Ia bahkan tak memandang wajah mantan istrinya itu.
Semuanya sudah berakhir antara mereka berdua. Jadi untuk apa dia ke rumah sakit dan berpura-pura bersikap baik setelah beberapa bulan yang lalu mencampakkannya dengan pria lain.
"Kamu pulang aja. Aku gak butuh kamu," lirih Morvin dia menarik selimutnya. Kepalanya yang dirasa masih pusing membuatnya tak bisa berbicara banyak.
"Tapi ... kan," protes Rindi. Namun sepertinya dia langsung menyerah ketika Morvin tak mau memandangnya lagi.
"Tak bisa ya kita kembali kayak dulu? Aku masih sayang sama kamu," ungkapnya dengan nada mengiba.
Morvin berdecih. Dia muak dengan kalimat yang selalu diucapkan oleh mantan istrinya itu yang selalu meminta kembali padanya.
Semuanya sudah berakhir ketika dia bercerai. Dan tak ada lagi kesempatan untuknya kembali. Karena pengkhianatan Rindi padanya tak bisa ia maafkan.
**
Setahun yang lalu tepat ketika hari ulang tahun pernikahan Morvin dan Rindi adalah hari terburuk yang pernah Morvin rasakan. Dia sudah sangat menunggu hari itu karena dia pikir itu adalah hari yang spesial. Dia bahkan menyiapkan segala hadiah dan hal-hal yang merepotkan lainnya.
Morvin tidak pernah menduga hasilnya akan sangat berbeda dengan apa yang dia pikirkan. Malam yang dia pikir akan sangat hangat ternyata hanya berisi kekosongan. Rindi, wanita yang dia tunggu ternyata tak kunjung kembali.
Siang sebelumnya Rindi mengatakan bahwa dia akan pergi keluar dengan seorang teman. Morvin selalu percaya padanya. Dia berpikir Rindi adalah istri yang setia, tapi ternyata semuanya omong kosong.
Ketika selesai dari aktifitas kerjanya, Morvin langsung bergegas pulang. Dia tidak mau jika Rindi menunggu kepulangannya meskipun saat itu baru jam setengah 7 malam. Dia tidak mau mengecewakan istrinya apalagi di hari yang sangat penting.
Morvin mengendarai mobilnya dengan kecepatan di atas rata-rata. Senyumnya tidak pernah hilang dari bibirnya, membuat dia berkali-kali lebih tampan.
Hanya dalam waktu lima belas menit saja dia sudah sampai di rumah. Namun hasilnya tidak pernah dia bayangkan. Rumah tampak sepi, bahkan lampu-lampu tidak ada yang menyala. Mungkin Rindi belum pulang?
Dia mencoba menelepon Rindi, namun tidak ada jawaban bahkan setelah berkali-kali dia mencoba. Meskipun hatinya merasa sedikit kecewa, dia mencoba untuk tetap berpikir positif. Mungkin Rindi masih memiliki beberapa urusan.
Satu jam berlalu. Mungkin Rindi sedang di jalan.
Dua jam. Mungkin Rindi mampir untuk membeli sesuatu.
Morvin melirik jam tangan. Sudah hampir jam 9 malam. Pasti sebentar lagi Rindi tiba.
Dan benar, tepat sepuluh menit lepas dari jam 9, Morvin mendengar suara kunci yang diputar. Dia segera datang untuk menyambut istrinya.
Pada akhirnya dia harus mematung. Istri yang dia tunggu-tunggu ternyata berada dalam pelukan orang lain. Wanita itu bersandar dengan lemas di dada seorang pria yang tampak tidak asing. Dia adalah teman Rindi yang pernah wanita itu ceritakan.
"Sayang, terima kasih untuk hari ini," ucap Rindi dengan sempoyongan. Ya, ternyata wanita itu mabuk.
Ah, jika mengingat kejadian itu Morvin tidak tahu bagaimana harus bersikap. Dia merasa jijik dengan Rindi. Wanita itu bahkan lebih buruk dari ulat bulu.
"Rin, nggak perlu pegang-pegang lagi. Kita udah nggak ada hubungan apa-apa lagi," ucap Morvin sambil menyingkirkan tangan Rindi yang terus-terusan menempel padanya.
"Vin, aku minta maaf. Kamu mau 'kan maafin aku?" Rindi mengiba pada Morvin. Wajahnya terlihat sangat menyedihkan.
"Aku udah maafin. Aku bahkan udah lupa. Udah 'kan? Jadi kamu bisa pergi sekarang." Morvin berkata dengan datar. Dia tidak mau lagi berdekatan dengan Rindi. Jangankan berdekatan, melihatnya saja sudah membuatnya muak.
"Tapi kamu 'kan nggak bisa pulang sendiri. Kamu baru aja dirawat, boleh 'kan aku antar kamu pulang?" Raut wajah Rindi menjadi cemas. Entah itu kebenaran atau hanya pura-pura, Morvin tidak akan mempercayainya.
Dia menghela napas ingin menolak, namun Rindi mengangkat tangan untuk menghentikan ucapannya. "Aku antar kamu pulang atau aku bilang ke mama soal ini?"
Morvin mengerutkan keningnya tidak senang. Jika orang tuanya tahu bahwa dia telah mengalami semacam kecelakan pasti mereka akan sangat khawatir. Ya, itu karena dia adalah anak tunggal, jadi orang tuanya sangat menyayanginya dan tidak mau sesuatu terjadi padanya.
"Rin, jangan kekanakan," ucap Morvin.
"Aku hanya tidak mau sesuatu terjadi padamu di jalan. Apa aku salah?" tanya Rindi dengan ekspresi yang dibuat-buat.
"Oke, tapi cuma sekali ini aja." Morvin akhirnya menyerah. Jika Rindi sudah menginginkan sesuatu maka apa yang diinginkan pasti harus dia dapatkan. Meskipun bukan dengan cara yang lurus.