Chereads / Teman Makan Teman / Chapter 16 - Kebahagiaan Sesaat

Chapter 16 - Kebahagiaan Sesaat

"Berhenti Lo brengsek!" Suara yang dipenuhi dengan amarah tiba-tiba muncul entah dari mana.

Tangan Bagas yang mulai beraksi dihentikan oleh Morvin seketika. Wajahnya murka ketika melihat Celline dengan pandangan ketakutan.

Dengan kemampuan yang ada Morvin menendang punggung Bagas hingga ia terjungkal menghadap ke tanah. Dengan sekali pukulan melayang tepat di pipi kanannya, sudah cukup membuat sudut bibir pria itu berdarah.

Bagas ikut murka. Dia tak senang kegiatannya diganggu tiba-tiba oleh Morvin. Dia bahkan tak mengenal siapa pria yang tiba-tiba datang memukulnya.

Tongkat kayu yang ada di sampingnya ia ambil. Lalu ia ayunkan ke arah Morvin. Lelaki yang tengah menunduk dan berusaha menenangkan Celline itu lengah. Hingga pukulan Bagas tepat mengenai tengkuknya.

Morvin tersungkur. Celline berteriak histeris dan meminta tolong. Dia berlari meninggalkan Bagas yang sudah seperti orang gila.

Lalu saat tak jauh dia melarikan diri. Dia menatap kilau cahaya lampu motor yang menyorot ke matanya. Daniel. Lelaki itu sepertinya habis kembali dari kost tempat Celline.

Celline berdiri membentangkan tangannya meminta tolong pada Daniel. Lalu Daniel dengan refleks langsung menarik remnya hingga menimbulkan bunyi berdecit yang lumayan keras.

Daniel langsung turun dari motornya. Menghampiri Celline yang nampak ketakutan.

"Di sana ... Bagas ... mukul temenku," Celline mengatur napasnya yang masih terengah-engah. Daniel menatap sebuah rumah kosong yang ada di ujung jalan. Sepi. Tempat itu sangat cocok untuk melakukan kejahatan seperti sekarang.

"Kamu telepon polisi dan cari bantuan sekitar. Aku akan ke sana nolong temenmu," ujar Daniel, dia menatap Celline khawatir.

Ia sangat yakin jika ada sesuatu hal yang sudah terjadi padanya. Daniel menaiki motornya. Dan dalam sekejap motor itu melesat menuju rumah kosong yang remang-remang tersebut.

**

Daniel melihat Morvin tak sadarkan diri. Dengan darah yang menetes dari dahinya. Sialnya, dia tak melihat Bagas saat itu. Dia sudah kabur ketika Celline melarikan diri.

Mata Daniel menyisir tempat tersebut. Tak mungkin Bagas akan kabur secepat itu. Ia berkeliling mencari bayangan mantan kekasih Celline itu namun tak menemukannya.

Bagas akhirnya terlepas dari tangannya. Daniel mencoba menyadarkan Morvin yang pingsan. Matanya sudah terbuka sedikit setelah beberapa kali usaha Daniel untuk membangunkannya.

"Ayo ke rumah sakit," ucap Daniel dia langsung memapah Morvin menuju motornya. Ia akan mengantarkan Morvin terlebih dahulu lalu setelah itu ia akan melihat keadaan Celline.

**

Celline sudah berada di rumah sakit ketika Morvin menghubunginya setelah berkali-kali Daniel meneleponnya namun tak ia angkat. Ya, karena nomor Daniel telah diblokir oleh Celline beberapa waktu yang lalu.

Ia setengah berlari menuju bangsal rumah sakit. Celline sangat khawatir jika kakak kelasnya waktu SMA dulu itu akan mengalami cidera parah karena dirinya.

Celline berdiri di ambang pintu ketika mendapati Daniel dan Morvin berada dalam satu ruang sama. Keduanya menoleh ketika mendengar deru napas terburu-buru.

Daniel berdiri dari duduknya. Ia menghampiri Celline. Wajahnya tak kalah cemas dengan Morvin.

"Kamu gak apa-apa?" tanya Daniel dia menggenggam kedua pundak Celline dengan erat.

Celline mengangguk. Namun dia bohong, Daniel mendapati sebuah luka ada di pipi kanannya dan lehernya.

"Ikut aku dulu. Kamu perlu diobati," ucap Daniel, ia menarik lengan Celline menuju ruang perawatan.

Celline menurut saja ketika Daniel menggandengnya. Gadis itu menatap tangan Daniel. Ada rasa rindu yang menyeruak dalam hatinya. Ia pasrah, bahkan suara Daniel terdengar begitu samar di telinganya ketika ia sibuk membayangkan kejadian beberapa waktu yang lalu.

"Aku udah lapor polisi jadi kamu gak usah takut." Ucapan Daniel membuyarkan lamunannya.

"Apa kita gak apa-apa kalau kayak gini?" gumam Celline menatap Daniel.

"Emangnya kenapa? Saat ini kamu lagi butuh aku."

"Kalau Nancy tahu gimana?"

"Gak ada yang tahu selama gak ada yang kasih tahu dia." Daniel mengambil napasnya dalam-dalam. "Udah Cell, mending kamu pikirin kamu dulu. Oke."

Celline diam. Dia diam saat perawat sedang memberikan obat anti infeksi kepadanya.

**

Setelah beberapa saat akhirnya perawat selesai mengobati Celline. Rasa sakitnya pun sudah sedikit mereda. Akan tetapi tetap saja jejak merah bekas cengkeraman tidak bisa langsung menghilang.

Daniel berjalan mendekatinya dengan wajah yang khawatir. Dia memeriksa keadaan Celline baik-baik dan baru menyadari bahwa gadis itu menyimpan ketakutan di matanya.

"Cell, Bagas ...."

Celline menunduk menatap kedua jempol kakinya dengan mata yang berkaca-kaca. Mendengar nama Bagas disebut membuat dia ingat kejadian sebelumnya. Pria tak bermoral itu telah mencoba untuk melecehkannya.

Jika Morvin datang terlambat, dia tidak tahu lagi apa yang akan terjadi. Mungkin dia akan menjadi perempuan yang kotor. Mengingat bagaimana perilaku Bagas, bukan hal yang mustahil jika lelaki itu merusak dirinya.

Daniel mencoba menahan marahnya yang memuncak. Dia sudah dapat menebak dengan apa yang baru saja terjadi. Benci. Dia membenci dirinya sendiri karena tidak bisa menjaga perempuan yang dicintainya dengan baik.

"Cell, maaf," lirih Daniel.

"Maaf buat apa? Kamu nggak ada salah apa-apa." Celline masih menunduk. Setitik air matanya jatuh tanpa bisa dicegah.

Rasanya ingin melarikan diri dari hal-hal rumit seperti ini. Awalnya dia sudah merasa lebih baik ketika Morvin mengajaknya pergi ke bukit berbintang. Namun kejadian tentang Bagas membuat dia mendapat kesakitan yang baru.

Tidak bisakah dia menyelesaikan masalah yang lama? Kenapa hidupnya harus menyedihkan seperti ini?

"Tapi aku nggak bisa ngeliat kamu kayak gini, Cell. Tolong jangan pura-pura kuat." Daniel menarik Celline ke dalam pelukannya. Saat ini Celline merasa rapuh dan dia tidak bisa membiarkannya begitu saja.

Celline menangis. Dia merasakan kenyamanan yang sepertinya sudah sangat lama menghilang. Sayangnya dia tidak tahu apakah kenyamanan itu bisa kembali lagi atau harus menghilang untuk selamanya.

Dia melepaskan diri dari pelukan Daniel. "Kita udah nggak ada hubungan apa-apa lagi, Dan. Kamu udah jadi milik orang lain, rasanya nggak bener kalau kita masih sedeket ini."

Akhirnya dia bangkit meninggalkan Daniel yang mematung. Jika terlalu lama berdekatan dengan Daniel, dia takut itu akan membuatnya semakin sulit untuk melupakannya. Atau mungkin malah dia akan bertindak egois dengan merebut Daniel dari Nancy.

Akankah itu salah? Mungkin seharusnya tidak bukan? Dialah yang pertama kali kenal dan dekat dengan Daniel, tapi semuanya berputar 360 derajat sejak Nancy mendekati Daniel. Sayangnya dia masih perlu memikirkan hal-hal. Tidak mungkin dia mengambil Daniel begitu saja.

Celline membuang napas dan menghapus air matanya. Mungkin dia akan mencoba untuk melupakan Daniel sedikit demi sedikit.

Dia berhenti di samping Morvin yang terbaring dengan mata tertutup. Rasanya tidak enak karena harus melibatkan Morvin sampai terluka. Padahal mereka baru bertemu lagi sejak lama berpisah, tapi dia langsung menyulitkan Morvin dengan masalah semacam ini.

Brakk!

Tiba-tiba pintu dibuka dari luar dengan keras. Celline menoleh dan melihat seorang wanita yang berusia tidak jauh darinya sedang berjalan masuk ke dalam. Dia memakai pakaian mewah yang sedikit terbuka. Wajahnya yang dirias dengan make up tampak gelisah.

Ketika melihat Celline, tatapan matanya berubah menjadi tidak senang. Gadis yang tampak lebih muda darinya terlihat lebih cantik, bagaimana mungkin dia tidak cemburu?

"Siapa kamu?!" Suaranya terdengar ketus.

"Aku ...." Celline ragu untuk mengenalkan diri. Haruskah dia mengatakan bahwa dia adalah adik kelas Morvin?

"Siapa pun kamu cepat pergi dari sini. Aku istrinya Morvin," ucap wanita itu dengan tegas. "Ah, atau jangan-jangan kamu yang udah bikin Morvin kayak gini, iya 'kan?!"

Celline mengerutkan keningnya. Pasti wanita ini adalah mantan istri yang Morvin ceritakan. Wanita yang telah mengkhianati suaminya dan memilih pria lain. Lalu kenapa sekarang ada di sini?