Apa yang keluar dari mulut Daniel membuat Celline terhenyak. Tentang harapan yang tiba-tiba hilang, atau kekecewaan yang yang menyeruak masuk ke dalam hatinya. Apa yang dia pegang sepertinya lenyap begitu saja.
Marah, kecewa, bahkan penyesalan mulai terngiang dalam otaknya. Kenapa semuanya seperti ini?
Dia pikir semuanya sudah sangat jelas. Daniel menyukainya dan dia juga menyukai Daniel. Meskipun dia tidak pernah mengatakannya, tapi dia tahu jika mereka saling memahami. Lalu kenapa semuanya berakhir seperti ini?
Butiran bening yang sudah ditahan-tahan akhirnya tak bisa lagi dibendung. Dia menutup mulutnya agar tidak menangis terisak. Pandangannya yang buram oleh air mata hanya bisa menatap Daniel dengan putus asa.
"Maaf." Daniel merengkuh Celline ke dalam pelukannya. Melihat orang yang disayangi menangis membuat dia merasa sakit.
"Maaf, aku janji ini nggak akan lama, Cell. Kamu harus tahu aku melakukan sesuatu pasti ada alasannya."
"Terus kenapa?" Celline berontak dari pelukan Daniel, tapi pria itu tidak mau melepaskannya justru semakin mengeratkan pelukannya.
"Kenapa kamu nggak ngomong? Kenapa kamu tiba-tiba bilang udah jadian sama Nancy? Kamu nganggep aku ada nggak, sih?!" Dia memukul dada Daniel berkali-kali, berharap pria itu akan mengerti perasaannya.
Daniel tidak marah dan membiarkan Celline memukulnya untuk melepaskan amarah. Dia tahu saat ini dialah yang bersalah, Celline yang menjadi korban pilihannya.
"Aku pikir kamu tahu gimana perasaanku. Aku udah mutusin kasih kesempatan buat 'kita' bisa bersama. Kenapa kamu malah begini?"
Celline menatap Daniel dengan penuh kesedihan. "Aku nggak tahu kenapa kamu bisa jadian sama Nancy. Kemarin kamu bilang kalo kamu sukanya sama aku, terus kenapa kamu malah jadian sama dia?"
Daniel menunduk. Rasa bersalah yang besar membuatnya tidak berani menatap tepat ke arah Celline. Dia mengikat hubungan dengan Nancy bukan tanpa alasan. Tentu saja itu karena paksaan dari Nancy.
Dia masih ingat bagaimana Nancy mengancamnya. Sore ini ketika dia menemani Nancy berbelanja, Nancy mengatakan hal-hal yang membuat dia merasa putus asa.
"Dan, kamu nggak mau 'kan kalau Celline putus kuliah?" tanya Nancy.
"Nan, kamu udah tahu jawabannya." Daniel menjawab dengan datar. Sudah berapa kali Nancy membahas masalah itu dan selalu berakhir dengan membuatnya merasa gusar.
"Kalau gitu kamu mau 'kan jadian sama aku?"
Kali ini Daniel benar-benar terkejut. Dia tidak menyangka Nancy akan bersikap seperti itu. Mengatakan hal-hal dengan begitu mudah, apa gadis itu pikir hatinya bisa dipaksa?
"Aku nggak suka sama kamu, Nan. Emang kamu mau jadian sama orang yang nggak cinta sama kamu?" Daniel bertanya dengan hati-hati.
Nancy terkekeh, tangannya menggandeng Daniel dengan manja. "Memangnya kenapa? Cinta itu ada karena terbiasa. Aku yakin kalau kita udah sering ketemu pasti ntar lama-lama kamu juga suka sama aku."
Dia begitu percaya diri. Ya, kenapa dia berpikir seperti itu? Tentu saja itu karena dia tahu orang tuanya juga seperti itu dulu. Awalnya tidak saling menyukai, tapi pada akhirnya mereka tetap menikah dan terus berjalan baik hingga sekarang.
Jika orang tuanya mampu, bukankah seharusnya dia juga bisa seperti itu?
"Kamu tahu Nan, aku sukanya sama Celline." Daniel masih berusaha untuk membuat Nancy mengurungkan keinginannya. Namun dia salah karena apa yang terdengar selanjutnya hanya membuatnya semakin frustasi.
"Yah, aku tahu. Bahkan aku tahu kalau Celline juga menyukaimu, tapi aku tidak peduli. Aku suka kamu dan kamu harus jadi milikku." Kalimat terakhir diucapkan dengan penuh penekanan. Dia ingin Daniel tahu bahwa dia sama sekali tidak bercanda.
Daniel hanya bisa mengembuskan napasnya dengan kasar. Dia tidak mungkin membiarkan cita-cita Celline putus di tengah jalan. Mungkin dia harus rela mengorbankan dirinya dan juga Celline.
Akhirnya dia hanya bisa mengangguk dengan pasrah. "Aku yakin aku tidak memiliki pilihan lain, 'kan?"
Mendengar jawaban itu Nancy langsung memeluk Daniel dengan senang. Dia sama sekali tidak malu meskipun saat ini ada banyak orang yang memperhatikan mereka.
Daniel tersenyum kecut saat mengingat kejadian beberapa jam yang lalu. Ya, dia melakukan ini demi Celline, jadi cukup dia sendiri yang tahu. Biarkan dia memaksakan diri untuk sudi bersama dengan Nancy.
**
Sudah seminggu berlalu. Celline terkesan menghindari Daniel. Bahkan nomor telepon dari Daniel sengaja ia blokir.
Hatinya masih terasa sakit mengingat kejadian menyesakkan yang tiba-tiba terjadi padanya minggu lalu.
Mungkin semua tak akan terjadi jika waktu dulu ia memutuskan untuk berpacaran dengan Daniel.
Namun sepertinya semuanya sudah terlambat. Waktu yang berlalu tak bisa diulang lagi. Dan hal itu yang terus membuat Celline menyesal dan menyesakkan dadanya.
"Cell, ada Daniel di bawah," ucap Nadine membuka pintu kamar Celline pelan.
Namun gadis itu nampak sibuk dengan buku-bukunya yang ada di atas meja.
"Bilang aja aku gak mau diganggu Nad. Aku lagi belajar," jawab Celline tanpa menoleh pada Nadine. Padahal aslinya, dia sedang menahan tangisnya sekuat tenaga.
"Kamu gak apa-apa 'kan Cell?!" Nadine melangkah menghampiri Celline. Dipeluknya pundak teman satu kost-nya itu. Dia menepuk-nepuk pelan dan mencoba menenangkannya.
Celline berubah menjadi pendiam sejak Daniel berpacaran dengan Nancy. Hal itu terlihat oleh mata Nadine. Apalagi Nadine dan Celline berada dalam satu kost. Tentu saja perubahan kecil pada Celline ia rasakan.
"Kayaknya... Daniel gak beneran suka sama Nancy Cell," ucap Nadine lirih, ia mengatakan hal itu bukan tanpa sebab. Karena sebelumnya ia pernah memergoki Daniel dan Nancy sedang bertengkar.
"Apa maksudmu?" Celline menatap wajah Nadine penasaran. Lalu untuk apa Daniel berpacaran dengan Nancy jika dia tak menyukainya?
"Kemarin pas aku di parkiran. Gak sengaja lihat Daniel sama Nancy berantem. Gak jelas apa masalahnya. Cuma Daniel kayaknya cuek banget sama Nancy. Padahal dia sama kamu kan peduli banget. Malahan aku kira, kalian yang pacaran."
Ucapan dari Nadine membuatnya bertanya-tanya. Ada apa di balik semuanya? Bahkan Daniel tak ingin mengatakan alasan yang sebenarnya pada Celline.
"Mau nemuin dia gak? Kasihan lho. Di luar ujan deres banget. Bajunya basah kuyup semua."
Celline tercenung. Dia tak mungkin bisa mengabaikan Daniel.
Celline bangkit dari duduknya. Membawakan sebuah handuk untuk Daniel. Entah mengapa, hatinya bisa luluh juga.
**
Celline menatap bayangan itu dari kejauhan. Benar, rambut dan bajunya kini basah. Dia tak tahu apa yang ada di dalam pikiran pria itu saat ini. Mengapa mau hujan-hujanan demi menemui Celline.
"Dan," panggil Celline lirih. Daniel langsung tersenyum mengabaikan baju dan rambut basahnya.
Celline memberikan handuk tersebut pada Daniel. Dia tak banyak bicara. Dia diam saat Daniel berbicara, itu saja.
"Tunggu sampai kita lulus kuliah ya Cell," ucap Daniel kemudian memecah kesunyian.
"..."
"Aku gak bakal macam-macam sama Nancy."
"Aku tahu Dan."
"Lalu?"
"Entahlah Dan, aku takut perasaanku padamu memudar seiring jalannya waktu nanti."
Daniel tertegun. Jawaban dari Celline tak pernah ia sangka jika akan menjadi seperti itu.
Apakah keputusan Daniel salah? Mengapa Celline seakan ingin menjauhinya selamanya?
"Kalau hujannya udah reda balik ya Dan, gak enak sama yang lain. Terlebih lagi, anak kost sini udah tahu kalau kamu pacarnya Nancy sekarang." Celline berdiri, namun tiba-tiba tangannya ditarik oleh tangan Daniel.
Dingin. Tangan Daniel dingin karena kehujanan tadi. Celline melirik tangan milik pria itu sebentar dan melepaskannya perlahan.
"Terima kasih ya Dan, aku seneng bisa punya temen kayak kamu selama ini. Nanti aku bakal kembali seperti biasa kalau aku sudah terbiasa. Tahu 'kan maksud aku?"
"Cell..." lirih Daniel, ia ingin menarik tangan itu lagi. Dan menarik tubuhnya ke dalam pelukannya.
Tak bisakah Daniel memiliki sebuah pilihan?
Telepon Daniel bergetar, nama Nancy muncul dari layar gawainya. Dengan malas Daniel mengangkatnya, belum sempat berbicara. Nancy sudah tahu di mana Daniel saat ini sedang berada.
"Kamu ngapain di tempat Celline, Dan!"
Daniel mengedarkan pandangannya. Darimana wanita itu tahu jika dirinya sedang di tempat Celline?