"Bodoh! Udah lah kamu nggak usah nemuin aku lagi. Buat apa? Apa kamu mau ngasih luka lagi?"
Celline berbalik untuk meninggalkan Bagas. Dia masih ingat bagaimana dia dulu sangat mencintainya. Sempat dia merasa jatuh setelah mengetahui siapa Bagas yang sebenarnya. Untungnya saat itu dia memiliki Daniel.
Ya, lagi-lagi Daniel yang terbaik untuknya. Dia tahu bagaimana perasaan Daniel untuknya. Dia sendiri juga memiliki perasaan yang lebih. Tapi entahlah, dia masih merasa takut.
Bagaimana jika mereka menjalin hubungan tapi harus kandas di tengah jalan? Lalu pasti setelah itu mereka tidak akan menjadi sedekat sekarang. Sudah banyak kasus seperti itu. Yang awalnya sahabat, lalu berubah menjadi musuh gara-gara putus hubungan.
Tidak, itu bukan hal yang dia inginkan. Dia masih nyaman seperti ini. Hanya saja kadang-kadang dia juga merasa takut kalau-kalau nanti Daniel akan memilih wanita lain hanya karena prinsip konyol yang dia pegang.
Tapi untuk saat ini dia masih tidak ingin memikirkannya. Biarkan dia merasakan kebahagiaan ini lebih lama. Dan untuk Bagas, dia sudah lama membuang perasaan itu. Cukup sekali dia menjadi bodoh.
"Jadi kamu benar-benar menyukai Daniel, 'kan?" Suara Bagas memasuki telinganya dari jauh.
"Siapa yang aku sukai bukan urusanmu," jawab Celline dengan datar.
Bagas terkekeh dengan keras. "Oke, jangan salahkan aku jika aku melakukan sesuatu yang akan membuatmu jatuh lebih dalam."
Setelah itu dia pergi dengan bibir yang menyeringai. Dia hampir selalu memiliki apa pun yang diinginkan, jika dia tidak mendapatkannya maka tidak ada yang boleh mendapatkannya juga. Tidak peduli siapa dan apa pun itu.
***
Daniel merapikan pakaiannya. Menyemprotkan sedikit parfum di leher dan pakaiannya. Setelah itu dia mengambil ponselnya untuk menghubungi Celline.
"Halo, Cell. Udah siap belom? Aku otw sekarang ya," ucapnya dalam telepon.
"Udah siap, tinggal nunggu kamu aja." Begitulah jawaban Celline.
Sudah bisa ditebak, mungkin perempuan itu sudah bersiap-siap sedari subuh. Perempuan biasa seperti itu, jika akan pergi dengan seseorang yang spesial pasti akan mempersiapkan diri dengan baik. Tapi apa dia juga spesial di matanya?? Ya, sepertinya seperti itu.
Daniel tersenyum samar sembari menyambar tasnya. Lalu dia keluar kamar kost, tidak lupa mengunci pintu dengan teliti. Dia menghampiri sepeda motornya yang terparkir parkiran motor. Setelah itu dia langsung berangkat ke tempat kost Celline.
Kali ini dia sedikit bermain dengan kecepatan karena tidak mau membuat Celline menunggu lebih lama. Namun dia merasa ada yang aneh dengan motornya. Sedikit menunduk untuk mengecek apa yang terjadi.
Tidak menemukan sesuatu yang salah, tapi perasaannya tidak enak. Dia berniat untuk berhenti, namun tiba-tiba sebuah mobil yang melaju dengan tidak teratur bergerak cepat ke arahnya. Saat dia berniat untuk menepikan motor, ternyata mobil itu sudah memutar arah dengan cepat.
Cciiitt!
Brraakk!!
Mobil itu menabrak pohon yang ada di pinggir jalan. Daniel cepat-cepat turun dari motor dan berlari menghampiri mobil itu untuk memeriksanya penghuninya.
Daniel mencoba membuka pintu mobil tapi tidak bisa. Akhirnya dia mencari batu di sekitar untuk memecahkan kaca mobil. Setelah mendapatkannya, dia langsung memukul kaca mobil dengan keras.
Setelah beberapa kali mencoba, akhirnya dia berhasil. Ketika melihat siapa yang ada di dalam, dia sedikit enggan namun dia juga tidak bisa membiarkannya begitu saja.
"Uhuk!"
Nancy terbatuk sambil memegang kepalanya yang terbentur kemudi mobilnya. Dia menengok dan mendapati Daniel yang melihatnya dengan ragu.
"Daniel? Aku nggak papa kok, kamu nggak usah khawatir," ucap Nancy dengan senyum yang dipaksakan. Namun jelas sekali dia sedang menahan sakit.
Melihat Nancy seperti itu justru membuat Daniel sedikit luluh. Mungkin dia harus membantunya, jika tidak Celline akan marah padanya karena membiarkan sahabatnya dibiarkan begitu saja dalam keadaan terluka.
"Nggak papa. Aku anterin kamu ke rumah sakit aja dulu," ucap Daniel sambil membuka pintu mobil dengan paksa.
**
Jam sudah menunjukkan pukul sembilan malam. Namun Daniel belum juga muncul di depan kost Celline.
Sudah dua jam Celline mondar-mandir menunggu bayangan temannya itu, hingga membuatnya cemas jika ada sesuatu hal terjadi padanya.
Bahkan telepon darinya tak dia angkat. Hal itu semakin menambah kekhawatiran pada Celline.
"Ke mana sih Dan?!" gumamnya, dia melirik jam di dinding sambil menelepon Daniel. Hanya nada sambung yang ia dengar.
Celline mengetuk-ngetukkan sepatunya di lantai. Sepertinya dia mulai tidak sabar dan harus melakukan hal lain untuk mengetahui keadaan Daniel.
Akhirnya dia teringat dengan teman Daniel yaitu Aaron. Celline untung saja memiliki nomor ponsel teman satu kost Daniel itu.
Dan, tak perlu menunggu lama. Telepon dari Celline langsung diangkat oleh Aaron.
"Halo, Ron," ucapnya sedikit gugup, dia tak bisa menyembunyikannya saat suaranya bergetar karena cemas.
"Kenapa Cell?!" sahut dari ujung telepon. Itu adalah kali pertama Celline menelponnya.
"Daniel, ada di sana nggak?"
"Daniel? Dia udah berangkat ke tempat kamu jam lima tadi. Emang kenapa Cell?"
"Tapi dia belum sampai di kost ku lho Ron," bahu Celline merosot, ia merasakan hal yang berat seakan menekan pundaknya.
"Serius Cell?! Tunggu dulu deh, coba aku telepon si Daniel."
"Aku udah telepon. Tapi nggak dia angkat."
Tak lama kemudian dia melihat sebuah panggilan lain, dan itu adalah dari Daniel. Celline segera menutup telepon Aaron dan mengucapkan terima kasih padanya sebelum ia menerima panggilan dari Daniel.
"Cell, maaf..." Terdengar suara Daniel yang nampak melemas dari ujung.
Seakan Celline hanya diam terpaku di tempatnya. Sambil mencoba mendengarkan penjelasan dari Daniel.
Dan betapa terkejutnya dia ketika Daniel mengatakan jika saat ini dia sedang bersama dengan Nancy, temannya.
Celline seakan tak percaya ketika mendengar jika Nancy mengalami kecelakaan saat Daniel akan ke tempatnya.
Hal itu sepertinya nampak tak asing di telinga Celline. Sebuah skenario lama yang sering dipakai oleh Nancy untuk mendapatkan seorang laki-laki.
Celline mengembuskan napas kasarnya. Dia hanya bertanya bagaimana keadaan Nancy saat ini. Dan benar saja. Jika wanita itu tak ingin ditinggal oleh Daniel.
"Ya udah kamu temenin aja Nancy." Akhirnya Celline memutuskan untuk berbicara pada Daniel.
"Kamu nggak marah 'kan?" tanya Daniel dengan sedikit ragu.
"Ngapain marah Dan? Lagian juga ada temen yang kecelakaan. Masa iya kamu malah seneng-seneng sama aku."
Sebenarnya hati Celline tak bisa menerima jika Daniel harus menemani temannya itu. Jika dia bukan Nancy mungkin Celline tak akan mempermasalahkannya. Namun kali ini berbeda. Dia adalah Nancy, perempuan yang akan melakukan apa saja demi mendapatkan keinginannya.
"Lain kali aja ya?!" bujuk Daniel yang sebenarnya dia tahu jika Celline tengah marah padanya.
"Terserah Dan." Celline langsung menutup telepon dari Daniel, membuat yang di ujung telepon mengacak rambut cokelatnya dengan kesal.
Daniel tak ada pilihan lain, selain membantu Nancy. Namun dia juga tak ingin mengabaikan Celline. Dia tidak serakah bukan?!
**
Celline melepaskan sepatu pemberian dari Daniel dan melemparkannya ke sudut ruangan. Ia merasakan gejolak emosi yang meletup-letup di hatinya.
Kenapa? Dia masih tak tahu mengapa ia menjadi seperti itu. Celline menarik napasnya pelan dan terus mengatakan jika dirinya hanyalah teman Daniel. Hanya teman.
Seharusnya dia tak bisa bersikap seperti itu karena dialah yang memberikan batas antara Daniel dan dirinya.
"Dasar bodoh!!!" rutuknya pada diri sendiri.