Dalam ruangan yang cukup terang, Daniel duduk terdiam dengan kepala yang menunduk. Berkali-kali dia memeriksa ponselnya untuk melihat apakah Celline mau membalas pesan darinya. Sayangnya sampai saat ini perempuan itu tidak memberinya pesan apa pun.
Perasaannya menjadi tidak nyaman. Dia takut Celline benar-benar marah padanya. Dia sangat paham bagaimana sikap Celline jika sedang marah. Mungkin perempuan itu akan mendiamkannya selama berhari-hari sampai dia merasa jengah sendiri.
Selain merasa cemas, Daniel juga merasa tidak enak jika harus meninggalkan Nancy seorang diri. Meskipun kondisinya tidak terlalu parah, namun tidak ada siapa pun yang menemaninya. Dia sudah bertanya tentang keluarganya, namun Nancy hanya mengatakan jika orang tuanya sedang dalam perjalanan bisnis ke luar negeri.
Entah itu kebenaran atau kebohongan Daniel tidak bisa melakukan banyak hal. Sebenarnya dia berharap jika Celline akan datang ke sana untuk melihat kondisi Nancy. Sekalian untuk menemaninya di sini agar dia tidak hanya berdua dengan Nancy. Tapi itu sepertinya tidak mungkin terjadi mengingat bagaimana sikap Celline dalam telepon.
"Kenapa kamu diem aja, Dan? Lagi mikirin Celline, yah?" tanya Nancy untuk memecah kesunyian. Dia sudah memperhatikan Daniel sejak lama, namun Daniel sama sekali tidak terganggu. Lelaki itu sepertinya sedang memiliki sesuatu yang mengganggu pikirannya.
"Nggak tau kenapa kayaknya Celline marah sama aku," jawab Daniel dengan nada yang sedikit khawatir.
"Kamu mau ketemu dia? Kalo mau pergi ya pergi aja, aku nggak papa kok. Soalnya nanti Farah mau kesini juga katanya, sih." Nancy tersenyum pada Daniel. Namun ketika Daniel melihat senyum itu, entah kenapa dia merasakan jika Nancy tidak baik-baik saja. Sepertinya dia menyimpan beban yang tidak bisa dikatakan.
Daniel merasa bimbang. Setelah berpikir beberapa saat akhirnya dia memutuskan untuk menunggu sampai Farah datang. "Kamu temenan sama Farah?"
Nancy mengangguk. "Ya, aku cukup deket sama dia. Sebenernya dia nggak jutek banget, tapi kalo sama orang yang nggak deket dia emng suka ya ... gitu deh. Kamu tau sendiri, 'kan?"
Daniel hanya mengangguk menanggapi ucapan Nancy. Dia tidak terlalu peduli dengan urusan para wanita lain yang tidak memiliki hubungan apa pun dengannya. Paling-paling dia hanya menanggapi seadanya saja.
Nancy mencoba bergerak untuk duduk, tapi sepertinya dia mengalami sedikit kesulitan. Akhirnya Daniel mendekatinya dan membantunya untuk duduk. "Nggak usah banyak gerak dulu."
"Nggak papa kok. Soalnya aku pengen ke kamar mandi," jawan Nancy dengan senyum yang menempel di bibir merahnya.
Setelah itu dia sedikit meraba kepalanya yang diperban karena luka benturan. Wajahnya sedikit pucat sehingga membuat Daniel merasa tidak tenang.
"Kamu beneran baik-baik aja? Pucat gitu, loh," ucap Daniel.
"Nggak papa. Masa iya kamu mau temenin cewek ke kamar mandi." Nancy sedikit terkekeh.
"Aku anterin aja sampe depan pintu," ucap Daniel sambil memegang tangan Nancy untuk menuntunnya. Dia tidak mau jika nanti sesuatu yang merepotkan terjadi pada perempuan itu.
"Makasih." Nancy tersenyum pada Daniel, lalu dia mulai berjalan dengan tangan yang digandeng oleh Daniel. Tapi tiba-tiba dia memegang kepalanya dengan tangan yang bergetar. Wajahnya yang pucat menjadi semakin tidak berwarna.
Daniel menyadari perubahan Nancy. Dia langsung menatapnya dengan hati-hati. Tiba-tiba tubuh Nancy melemas dan hampir terjatuh begitu saja. Untungnya dia sudah menyadari terlebih dahulu sehingga dia bisa menangkapnya dengan sigap.
***
Celline berjalan dengan langkah yang cepat. Saat ini dia berjalan di koridor rumah sakit untuk menjenguk Nancy. Awalnya dia enggan melakukannya, namun pikirannya berubah ketika mengingat Daniel ada di sana.
Setelah dia memikirkan dengan hati-hati, akhirnya dia memutuskan untuk datang ke rumah sakit. Bukan hanya karena khawatir dengan kondisi Nancy, namun dia juga memiliki pikiran lain yang cukup egois.
Dia tidak mau membiarkan Nancy tinggal berdua di ruangan yang sama dengan Daniel dalam waktu yang lama. Dia benar-benar tidak ingin hal seperti ini terjadi.
Ceklek!
Celline membuka pintu yang bertuliskan nomor 16F di pintunya, namun apa yang dia lihat pertama kali membuat hatinya tenggelam. Langkahnya yang cepat langsung berhenti begitu saja.
"Celline, kenapa kamu datang ke sini? Oh, tunggu sebentar ya, aku mau manggil dokter dulu. Kamu tunggu aja dulu di sini." Daniel berkata dengan cepat sambil berjalan keluar dari ruangan. Dia sama sekali tidak menyadari ekspresi Celline yang berubah menjadi kekecewaan.
**
"Dan," panggil Celline dengan lirih. Dia membalikkan badannya dan melihat punggung Daniel menghilang di ujung koridor rumah sakit.
Celline masih terpaku di tempatnya. Menatap gamang pada Nancy yang kini tegeletak yang memang seakan benar-benar sakit.
Mengapa dia tak memanggil keluarganya? Jika tidak, bukankah setidaknya dia memiliki seorang kerabat di Jogja?!
Celline tak ingin berlama-lama di sana. Dia melangkahkan kaki dan segera pergi dari kamar Nancy. Bahkan dia tak ingin menatap wajah temannya itu terlalu lama.
Di koridor dia sempat berpapasan dengan Farah yang juga teman Nancy. Namun dia menghiraukannya karena sedang dalam suasana hati yang buruk.
Celline: Aku pulang. Sepertinya kamu sibuk sama Nancy.
Pesan itu terkirim untuk Daniel. Celline memasukkan ponselnya ke dalam tasnya lagi setelah seorang ojek online tiba di depan lobi rumah sakit.
**
Setengah jam kemudian Celline sudah tiba di kost-nya. Dia menjatuhkan tubuhnya di kasur empuknya. Memejamkan mata sambil memutar kembali kejadian tadi yang berlalu begitu cepat.
Suara napasnya yang seakan ingin meluapkan emosinya ia tahan begitu melihat ponselnya bergetar. Nama Daniel memanggilnya. Tapi sayangnya, Celline sudah agak kecewa pada Daniel.
Apakah Daniel harus sebegitu perhatiannya pada Nancy?
Celline langsung menggelengkan kepalanya. Membuang jauh pikiran anehnya. Daniel bukan laki-laki seperti itu. Lagipula Daniel tak mungkin menyukai Nancy. Bahkan dia sudah mengatakannya sendiri dengan blak-blakan kemarin.
Ponsel Celline bergetar lagi. Tapi kali ini bukan dari Daniel melainkan dari grup chat mereka.
Farah nampak mengambil foto Nancy dan Daniel yang sedang berdua secara diam-diam. Dan mengirimkannya ke grup chat.
Farah: Lihat dong, pasangan baru kampus kita. Cocok banget 'kan?!
Aaron: Lho bukannya harusnya Daniel lagi sama Celline sekarang? Tadi dia nanyain Daniel si Celline.
Farah: Daniel lagi sama Nancy tuh!
Desi: Wah pasangan baru. Selamat ya!!!
Agus: Cie ... Nancy mangsa baru?!
Celline langsung mematikan ponselnya, dia seakan malas membaca pesan dari grup chat yang ia rasa sangat berlebihan tersebut.
**
Pagi hari.
Celline membuka matanya yang nampak berat. Dia mengingat-ingat jika semalam dia tidak menangis. Namun mengapa matanya sangat berat?
Bahkan kepalanya pun terasa pusing saat dia terbangun pagi itu. Setelah mengurut keningnya sebentar, ia meraih ponsel di atas nakas yang terletak di samping tempat tidurnya.
Dan benar saja. Banyak chat dari grup yang rame sejak semalam, juga ada pesan Daniel.
Daniel: Cell? Kamu pulang?
Daniel: Cell, udah sampai rumah belum?
Daniel: Maaf ya, tadi keadaan Nancy lagi nggak bagus.
Daniel: Marah ya? Besok pagi aku jemput ya. Tapi jangan marah lagi sama aku.
Daniel: Besok aku jemput jam tujuh ya.
Daniel: Met malem aja deh buat kamu Cell.
Celline langsung melirik jam di ponselnya. Sekarang sudah menunjukkan pukul enam lewat tujuh menit. Ini berarti masih ada kesempatan untuknya menghindar dari Daniel.
Dia turun dari tempat tidurnya dan meraih handuk. Celline tidak menyadari jika dirinya saat ini sedang demam karena semalam kehujanan saat naik ojek online.
"Pokoknya aku nggak mau ketemu sama kamu Dan!!" gumamnya sambil mengguyur tubuhnya dengan air yang pagi itu masih terasa dingin.
Itu sudah menjadi kebiasaan Celline, untuk menghindar dari Daniel jika dia sedang bertengkar dengannya. Bukan karena apa, melainkan ia tak ingin beradu mulut dan argumen dengan Daniel yang ujung-ujungnya dia akan menangis.
Nadine mengetuk pintu dengan keras. Dan mengatakan jika sudah ada Daniel di ruang tamu.
Sepertinya Celline salah memprediksikannya. Jika Daniel mengatakan jam tujuh itu berarti waktunya lebih cepat setengah jam dari yang ia janjikan.