Celline sangat malas berdandan. Dia hanya memakai bedak tipis dan lipgloss natural untuk menutup bibirnya yang sedikit terlihat pucat. Meskipun dia merasa sedikit tidak nyaman dengan kondisinya, namun itu tidak menghalangi niatnya dari pergi kuliah.
Daniel sudah menunggu di ruang tamu. Dia sangat malas untuk menemui pria itu tapi juga tidak tega jika harus membiarkannya. Akhirnya dengan langkah yang malas dia menghampiri Daniel yang sedang menundukkan kepala.
"Ehm!" Celline berdehem untuk memberitahukan Daniel bahwa dia sudah ada di sana.
Benar saja Daniel langsung mendongak. Saat itu juga dia langsung bangkit dan mendekatinya. "Cell, kamu masih marah? Maaf, aku bener-bener nggak ada maksud buat lebih peduli ke Nancy."
Celline hanya terdiam tanpa mengatakan apa pun. Tatapannya berpaling ke arah lain, tidak memperhatikan Daniel sama sekali. Bukannya dia manja, tapi dia masih merasa tidak senang dengan kejadian kemarin. Benar-benar membuatnya kehilangan mood baik.
Apalagi jika mengingat obrolan dalam grup chat. Oh, itu sungguh memuakkan. Walaupun dia percaya jika itu tidak nyata, tapi jujur saja dia merasa sangat tidak senang. Mungkinkah ini yang namanya cemburu? Ya, mungkin itu adalah cemburu.
"Cell, tolong jangan diem kayak gini. Aku bingung mesti gimana." Daniel menggenggam tangan Celline dengan erat. Dia benar-benar merasa buntu jika sudah menghadapi Celline yang seperti ini.
"Dan, biarin aku sendiri dulu. Aku butuh ketenangan." Celline melepas tangan Daniel dengan hati-hati. Kemudian dengan kepala yang menunduk dia berjalan keluar dengan langkah yang lambat.
Dia tidak tahu bagaimana harus menyikapi hal ini. Apakah dia harus menjadi munafik dengan cara tetap tertawa di depan Daniel? Atau dia harus menangis di depannya karena merasa sakit hati? Kenapa segalanya terasa begitu rumit?
Saat dia bergelut dengan pikirannya sendiri tiba-tiba sepasang tangan yang kokoh menahannya. Melingkar di pinggangnya dari belakang, membuat dia harus bersandar pada dada bidang yang terasa hangat.
"Maaf," bisik Daniel di telinganya.
Tubuh Celline menegang. Rasanya sangat nyaman seperti ini. Jika dia boleh egois, maka dia menginginkan momen seperti ini akan selamanya ada. Tenggelam dalam kehangatan Daniel, membuat dia lupa siapa dia sebenarnya hingga menginginkan hal bodoh seperti itu.
"Apa kamu udah mulai tertarik sama Nancy? Terus aku mesti gimana? Tapi emang kita bukan siapa-siapa sih, mungkin akunya aja yang egois." Celline terkekeh dengan pahit.
"Nggak, Cell. Aku nggak ada perasaan apa pun ke Nancy. Soal grup chat itu, tolong nggak usah dipeduliin." Daniel memutar tubuh Celline untuk menghadap ke arahnya. Dia menatap mata perempuan di depannya itu dengan lekat.
"Kamu tahu siapa yang aku sukai, Cell," lirih Daniel.
Matanya menatap Celline dengan sendu. Berapa kali dia harus membuat perempuan itu percaya dengan perasaannya? Kadang dia merasa lelah, tapi dia tidak mau berhenti sebelum Celline sendiri yang memintanya untuk pergi.
"Aku ...."
Celline tidak tahu harus berkata apa. Pada akhirnya dia hanya bisa menenggelamkan diri ke dalam pelukan Daniel. Dia memeluknya dengan begitu erat hingga membuatnya sesak. Namun dia tidak mau melepaskannya karena dia ingin memeluknya lebih erat dan lebih erat lagi.
"Jangan kaya gini lagi, Cell. Kamu nggak tau gimana takutnya aku." Daniel berkata dengan satu tangan mengusap rambut Celline.
Celline hanya mengangguk sebagai jawaban. Sudut matanya sedikit basah namun untungnya dia masih bisa menahan tangisan agar tidak pecah.
Jujur saja semuanya terasa begitu rumit. Dia tidak tahu lagi bagaimana hubungan mereka berjalan kedepannya. Hanya harapan panjang yang dia ukir dalam doa. Semoga Daniel dan dirinya tidak akan berakhir dengan sebuah perpisahan.
**
Celline manatap Daniel bingung. Dia tak mengerti dengan perasaanya yang sekarang. Terlebih saat Daniel memperlakukannya seperti saat ini.
Gadis itu sangat nyaman dengan pelukan yang Daniel berikan padanya. Namun tetap saja dia merasa bersalah pada Daniel karena dirinya yang egois.
"Badan kamu panas. Sakit ya?!" tanya Daniel dia mendekatkan wajahnya ke wajah Celline. Mengamatinya dengan teliti. Sepertinya ada yang salah dengan temannya itu.
Celline menempelkan punggung tangannya di keningnya. Ia merasa jika panasnya tidak turun setelah ia mandi pagi tadi.
"Nggak usah kuliah aja ya. Istirahat aja dulu."
Gadis itu mengangguk. Sepertinya dia benar-benar membutuhkan istirahat hari ini.
"Ya udah kalau gitu aku balik ke kamar ya Dan. Kamu buruan berangkat kuliah." Celline melepaskan tangan kanan Daniel kemudian dia berjalan menuju tangga tanpa menoleh.
Daniel mengembuskan napasnya. Dia tak yakin jika Celline akan baik-baik saja jika ditinggal olehnya hari ini.
Setelah sedikit berpikir akhirnya dia memutuskan untuk membeli obat untuk Celline di apotek. Temannya tersebut tak mau pergi ke klinik karena beralasan jika semunya akan baik-baik saja selama dirinya mau istirahat.
**
Celline menenggelamkan kepalanya dalam bantal. Dia merasa dingin tiba-tiba menyergapnya. Dengan selimut yang tebal akhirnya Celline membalut badannya agar merasakan hangat.
Suara pintu diketuk dan Nadine muncul dari celah pintu yang sedikit dibuka. Dia mengatakan jika Daniel kembali lagi dan membawakannya obat.
"Aku suruh masuk aja ya Cell?!" tanya Nadine seakan meminta ijin pada Celline.
"Jangan, nanti kalau ibu kos tahu gawat!"
"Ibu kos lagi nggak ada. Lagian masih siang ini. Dan juga, kamu sama Daniel kan cuma teman. Kamu juga lagi sakit, emang mau ngapain coba?!"
"Benarkan nggak apa-apa?!"
"Iya nggak apa-apa. Kemarin si Norma malah bawa masuk cowoknya malam-malam. Tapi jangan ditiru ya!"
Celline terkekeh.
Setelah Nadine menghilang dia merapikan kamarnya yang sedikit berantakan. Lalu membenarkan rambutnya yang sedikit berantakan.
Tok! Tok! Tok!
Terdengar suara pintu diketuk. Membuat Celline sontak kaget dan menoleh ke arah suara. Sepertinya Daniel sudah ada di balik pintu.
Dengan pelan, Celline membukakan pintu untuknya. Dan benar, Daniel sudah membawakan obat untuknya dan bubur ayam untuknya sarapan.
"Diminum obatnya." Daniel menyerahkan obat itu pada Celline dan masuk ke dalam kamarnya.
Mungkin itu adalah kali pertamanya untuk Daniel masuk ke dalam kamar Celline. Sudut bibirnya terangkat ketika melihat kamar temannya itu. Dia tak menyangka jika Celline sangat menyukai Doraemon.
"Kamu nggak kuliah?" tanya Celline tanpa memandang ke arah Daniel. Dia malu dengan situasi yang canggung. Bagaimana tidak?! Mereka saat ini sedang berada di dalam satu ruangan dan hanya ada mereka berdua.
"Nemenin kamu aja ya Cell. Kayaknya kamu sakit gara-gara keujanan kemarin 'kan?"
Celline mengangguk.
"Mau makan ini bareng nggak? Kayaknya aku nggak abis Dan." Celline menunjuk bubur ayam yang banyak seperti porsi untuk kuli tersebut.
Daniel tersenyum lalu mendekatkan tubuhnya di samping Celline. Saat ini mereka berdua sedang duduk di bibir ranjang.
Ada perasaan aneh yang menyelinap dalam hati mereka masing-masing. Keadaan yang sunyi membuat suara napas mereka terdengar begitu jelas.
Daniel memandang wajah Celline dari samping. Degup jantungnya semakin cepat dan tak bisa tertolong.
"Cell," panggil Daniel pelan.
Celline langsung menoleh ke arah Daniel. Wajahnya memerah melihat Daniel yang begitu dekat. Dalam benaknya terbesit pertanyaan, sejak kapan Daniel menjadi tampan seperti ini?
Daniel mengusap bibir Celline yang meninggalkan bekas bubur ayam di sana. Lalu Daniel dengan pelan memajukan wajahnya dan mengecup area tersebut.
Mata Celline membelalak tak percaya. Namun ia tak bisa berbuat apa-apa selain pasrah dan menerima pagutan lembut dari Daniel.