Manis.
Itulah yang dirasakan oleh Daniel. Setelah menyimpan perasaan selama hampir empat tahun, akhirnya dia memberanikan diri untuk mencoba lebih dekat. Dia ingin melebihi batas pertemanan mereka.
Daniel ingat bagaimana dia pertama kali bertemu dengan Celline. Melihatnya duduk di kursi pinggiran lapangan dengan pakaian putih khas milik pengibar bendera di upacara kemerdekaan.
Wajahnya yang manis memiliki butiran keringat di dahinya. Secara mandiri dia menyekanya dengan tissu kecil. Dia akan tertawa ketika temannya melontarkan lelucon, lalu akan bergidik ketika orang lain menakutinya.
Entahlah. Sejak pertama melihat, Daniel sudah menyukai karakter riangnya. Semakin hari berjalan, ternyata dia memiliki kesempatan untuk mengenalnya lebih dekat. Tidak mau membuang peluang, akhirnya mereka dipertemukan dalam kegiatan rutin sekolah.
Dia tidak ingat lagi bagaimana dia bisa menjadi dekat dengan Celline. Menyaksikannya tumbuh, dari gadis polos sampai menjadi perempuan yang cukup dewasa. Dan sekarang perasaannya tumbuh semakin tidak tahu diri. Berharap bisa memilikinya secara utuh.
Daniel melepaskan pagutannya dan perhatiannya fokus pada Celline. Gadis itu memiliki wajah yang memerah. Ah, mungkin dia sedang merasa malu sekarang.
"Ehm, aku udah kenyang, Dan," ucapnya.
"Masih banyak, Cell. Abisin aja." Daniel mencoba bersikap seperti biasa agar Celline tidak merasa canggung.
Kemudian Celline menganggukkan kepalanya dan sedikit demi sedikit mulai menghabiskan bubur ayam yang tersisa. Meskipun rasanya sudah menjadi campur aduk karena pikirannya juga sedang melayang entah kemana.
Dia tidak tahu apa yang terjadi. Rasanya seperti ribuan kupu-kupu yang menggelitik di bawah perutnya. Ingin berteriak tapi itu tidak mungkin. Akhirnya dia hanya menunduk dengan senyum yang tertahan.
Setelah Celline menghabiskan makanan, dia langsung diminta untuk meminum obat. Sayangnya dia tidak mudah meminum obat. Seringkali dia tidak dapat menelannya dan berakhir dengan memuntahkannya.
Dia tersenyum canggung saat Daniel mengulurkan obat kepadanya. Hatinya bergidik melihat tablet obat yang cukup besar.
"Emang harus minum ini? Tapi biasanya tidur aja udah sembuh, Dan," ucapnya seraya memelaskan wajahnya pada Daniel.
"Kamu yakin nggak mau minum?" tanya Daniel.
Celline buru-buru menganggukkan kepalanya berkali-kali. Seolah-olah Daniel akan berubah pikiran jika dia hanya mengangguk satu kali saja.
"Aku ada cara lain. Mau nyoba nggak?" Daniel bertanya padanya dengan serius.
"Cara?" Celline menatap Daniel dengan penasaran. Dari ekspresi lelaki itu sepertinya dia sangat serius. Jika memang ada cara lain maka itu akan lebih baik.
Daniel mengangguk. Dia mendekat ke arah Celline dan dengan cepat dia memasukkan obat ke mulutnya sendiri. Setelah itu dia mendekatkan wajahnya pada Celline. Tanpa aba-aba dia kembali mencium bibir mungil Celline.
Tubuh Celline yang telah berhasil rileks akhirnya kembali menegang. Matanya melebar, terkejut dengan apa yang dilakukan oleh Daniel. Tapi dia tidak mau berpikir lebih jauh dan segera menerima obat untuk menelannya dengan cepat.
Bahkan setelah dia menelan obat, pria itu masih enggan untuk melepaskannya. Jantung Celline dipompa dengan cepat. Tapi dia segera membuang pikiran-pikirannya dan terlebih dahulu melepaskannya dengan enggan.
Daniel merasa sedikit kecewa tapi tidak memprotes tindakan Celline. Ya, itu karena mereka hanya seorang teman. Seharusnya tidak ada hal-hal berlebihan seperti ini.
"Ehm. Kamu tidur aja ya, Cell. Soalnya abis minum obat," ucap Daniel.
"Kamu mau pulang sekarang?" Celline menatap Daniel ragu-ragu. Entahlah, dia hanya merasa sedikit kehilangan.
"Iya. Nggak papa, 'kan?"
Celline menggelengkan kepala sambil tersenyum setengah-setengah. "Nggak papa. Tapi aku nggak bisa nganter, Dan."
"Aku nunggu kamu tidur dulu, baru pulang."
Jawaban Daniel membuat Celline cukup terkejut. Tapi dia langsung tersenyum dengan senang. "Oke."
**
"Dan..." panggil Celline lirih. Sepertinya obat paracetamol yang ia minum sudah bekerja dengan baik, hingga membuatnya merasa mengantuk.
"Hmmm..." jawab Daniel tak kalah lembut. Dia masih duduk di bibir ranjang, tangan kananya sibuk dengan buku yang sedang ia baca. Sedang tangan kirinya di mainkan oleh Celline.
Mereka berdua tak menyadari sejak kapan posisi itu bisa sangat menyenangkan untuk mereka berdua. Sangat nyaman. Kira-kira seperti itulah yang kedua muda-mudi itu rasakan.
"Jangan pergi dulu," ucap Celline pelan, matanya sudah hampir tertutup.
"Iya..."
"Serius?!"
"Iya, kamu mau aku di sini sampai kapan?" tanya Daniel, ia meletakkan bukunya di nakas sampingnya.
"Sampai aku bangun, ya?"
Permintaan yang belum pernah Celline ajukan sebelumnya. Kali ini ia nampak manja karena sakitnya.
Daniel terkekeh. Dia melihat mata gadis itu semakin terpejam. Namun mulutnya masih saja meracau.
"Aku nggak suka sama Nancy," ucapnya lagi, membuat ekspresi Daniel berubah. Tiba-tiba saja Celline mengucapkan kalimat itu padanya.
"Kenapa? Kenapa kamu nggak suka sama dia?" Namun pertanyaan Daniel tak dijawab oleh Celline. Karena gadis itu sudah masuk ke dalam mimpinya.
Daniel membenarkan selimutnya lalu melepaskan genggaman tangannya dengan pelan agar tidak membangunkanya.
**
Sudah dua jam namun Celline belum bangun. Daniel nampak tertidur di meja belajar Celline.
Sejak Celline tertidur. Dia pindah ke meja belajar Celline. Awalnya dia hanya ingin belajar sebentar. Namun rasa kantuknya tak bisa ia lawan.
Di lain sisi. Celline mengerjapkan matanya dan melihat punggung Daniel dari tempat tidurnya. Ia tersenyum melihat Daniel menepati janjinya. Namun senyum itu langsung ia tutupi.
Celline merasakan keningnya sudah tak sepanas tadi pagi. Meski rasa pusingnya masih dia rasakan. Ia merapikan makanan bekas pagi tadi.
Namun matanya tiba-tiba mengarah pada benda tipis yang terus bergetar. Nama Nancy muncul dan hal itu begitu mengusiknya.
Ada rasa tak enak dalam hatinya. Seperti kecewa dan cemburu? Mungkin?! Celline benar-benar tak senang Daniel menyimpan nomor Nancy. Sejak kapan mereka bertukar nomor telepon?
Panggilan berhenti. Dan Celline melihat ada sepuluh panggilan tak terjawab. Gadis itu benar-benar tak menyerah pada Daniel. Membuat ruang gerak Celline dengan Daniel kini semakin sempit.
Ia menghela napasnya dan mengambil ponsel tersebut ketika Nancy meneleponnya lagi.
"Halo." Celline membuka suara dan mengaturnya senormal mungkin.
"Lho, ini ponsel Daniel kan?!" tanya Nancy sedikit terkejut.
"Iya benar kok. Kenapa Nan? Ini Celline."
"Kok kamu yang angkat, Daniel ke mana?"
"Hah?! Sejak kapan Nancy peduli pada Daniel?!" bisik hati Celline dia merasa sangat kesal pada Nancy. Kenapa dia sangat gigih? Tak bisakah ia tinggalkan saja Daniel?
"Dia lagi tidur. Kecapekan," jawab Celline asal.
"Tidur? Kecapekan?! Memangnya dia lagi di mana? Dan abis ngapain kalian?"
"Kayaknya aku nggak harus jawab pertanyaan ini kan Nan?" Celline melirik Daniel yang menggerakkan badannya. Sepertinya dia sudah terbangun dari tidurnya.
Telepon langsung dimatikan oleh Celline. Menyisakan pertanyaan pada Nancy. Di ujung telepon dia berdecak kesal karena rasa penasarannya tak terjawab.
Pikirannya langsung melayang. Dia membayangkan hal buruk dan tak senonoh pada Daniel dan Celline. Ya, meskipun itu sedikit benar.
"Dari siapa Cell?" Daniel berdiri saat Celline mengulurkan ponselnya padanya.
"Nancy," jawabnya singkat, matanya mendelik kesal.
"Dia bilang apa?"
"Nanyain kamu." Celline mengembuskan napasnya hingga terdengar oleh Daniel. Jelas sekali jika itu adalah bentuk kekesalan Celline pada Daniel.
"Aku nggak sedekat itu kok sama dia."
"Iya aku percaya kok Dan." Celline membalikkan badannya namun lengannya ditarik oleh pria itu.
Punggung tangannya ia tempelkan pada kening Celline. Dan berpikir sebentar.
"Udah mendingan," tutur Daniel lembut.
Hal itu cukup membuat hati Celline mencair. Sudah beberapa kali, Daniel bisa membuat wanita itu baper dengan sikap manisnya yang sederhana.
"Kamu tahu 'kan?! Kalau aku sukanya sama kamu?" bisik Daniel di samping telinga Celline.
Semburat merah bersemu di pipinya karena malu.
Celline tahu jika Daniel menyukainya. Namun dia tak pernah menyangka jika Daniel akan mengungkapkan padanya secara langsung.