Setelah selesai membeli buku, Celline dan Daniel kembali ke motor. Mereka tidak langsung pulang melainkan mampir terlebih dahulu ke warung bakso kesukaan mereka.
Daniel mengendarai motornya dengan santai. Bukan karena dia tidak berani bermain dengan kecepatan, namun karena dia sedang menikmati momen seperti ini. Saat-saat ketika dia bisa begitu dekat dengan Celline.
Setelah beberapa saat akhirnya mereka sampai di warung bakso yang cukup ramai, lalu terdapat tulisan 'Gepeng' di bagian depannya.
Celline dan Daniel segera masuk dan memesan porsi bakso seperti biasa. Mereka juga memilih duduk di tempat kesukaan mereka yaitu tepat di bawah kipas angin.
"Besok weekend, ada rencana mau kemana?" tanya Daniel.
"Kosong. Kenapa? Mau ngajak jalan?" Celline tersenyum kuda sambil menatap Daniel. Dia sudah paham jika Daniel bertanya seperti itu pasti ia akan mengajaknya keluar.
Daniel mengacak puncak kepala Celline. "Bagus, deh. Aku mau ngajak kamu ke rumah. Udah lama nggak main, 'kan?"
"Em ... gimana ya?" Celline berpura-pura untuk mempertimbangkan jawaban, padahal dia sudah sangat tahu apa jawabannya. Kedua alisnya dinaikturunkan untuk menggoda sahabatnya itu.
Tingkah lakunya yang terkesan menggemaskan itu membuat Daniel terkekeh. Lalu tangannya mencubit kedua pipi Celline. "Gimana, hm??"
Celline tertawa sambil menggosok pipinya. "Ish, Iya iya besok kita pergi."
Daniel hanya tersenyum saat mengamati perempuan di depannya itu. Tidak tahu harus sampai kapan dia menyimpan perasaannya. Mungkin sampai Celline mmemikirkan untuk menerima seorang sahabat menjadi sepasang kekasih.
Tidak lama kemudian pesanan mereka akhirnya datang. Celline langsung menarik mangkoknya ke hadapannya. Aroma khas dari kuah bakso langsung membuat perutnya semakin berontak.
Dia menuangkan apa saja yg ada di atas meja, mulai dari saus, kecap, cuka, lalu yang terakhir adalah sambal. Namun ketika dia hendak menyendok sambal, Daniel sudah terlebih dulu merebutnya.
"Satu sendok saja sudah cukup," ucap Daniel sambil menuangkan satu sendok sambal di mangkok Celline.
Dia sudah paham, perempuan itu sangat menyukai makanan pedas. Jika dia tidak menghentikannya mungkin Celline akan menuangkan tujuh sendok sambal. Itu tidak sehat dan pasti akan melukai perutnya.
"Kebiasaan, deh." Celline mengerutkan bibirnya, meskipun begitu matanya tidak bisa berbohong jika dia merasa senang dengan cara Daniel memperlakukannya.
"Iya, kebiasaan yang mungkin akan berlaku lama," lirih Daniel yang hanya di dengar oleh dirinya sendiri.
***
"Jadi gimana, Cell? Kamu udah bilang sama Daniel?" tanya suara yang terdengar dari ponsel Celline. Siapa lagi jika bukan Nancy?
Sedari tadi Nancy sudah mengebomnya dengan pesan, namun karena dia baru saja pulang akhirnya dia tidak membalasnya. Setelah sampai di kost barulah dia menghubungi Nancy.
"Udah, Nan. Tapi ya gitu lah, mungkin dia masih belom pengin pacaran," jawab Celline yang tidak tahu itu adalah kenyataan atau tidak.
"Kenapa gitu, sih? Emang selera dia yang gimana?" Nancy masih bertanya lagi. Sepertinya dia tidak akan menyerah begitu saja sampai dia benar-benar bisa mendapatkan Daniel.
"Em ... aku juga nggak ngerti. Dari dulu emang dia nggak pacaran."
"Ya udah lah, aku mau cari tau lebih banyak lagi, deh." Nancy memutus sambungan telepon secara sepihak. Entah, mungkin dia merasa kurang puas dengan jawaban Celline.
Haruskah Celline merasa bersalah? Bukan seperti itu. Dia tidak rela jika Daniel bersama dengan Nancy yang suka bergonta-ganti pasangan. Lalu dia sendiri masih tidak mengerti dengan perasaannya sendiri.
**
Celline mengurut kakinya setelah sampai di tempat kost-nya. Hari itu sepertinya dia salah memakai sepatu, karena nampak pada tumit kakinya yang lecet kemerehan karena sepatu sempit yang ia gunakan.
Sebenarnya tanpa sebab dia menggunakan sepatu tersebut. Karena itu adalah hadiah dari Daniel saat dirinya ulang tahun beberapa waktu yang lalu.
Celline tak enak karena Daniel terus menanyakan sepatu pemberiannya yang tak pernah Celline gunakan untuk kuliah. Dia tersenyum menatap sepatu berwarna biru langit tersebut. Membayangkan bagaimana Daniel memilihkan sepatu dengan ukuran imut jauh dari perkiraannya.
"Cell, ada yang nyari," bisik Nadine teman satu kost-nya. Dia naik ke atas demi menyampaikan hal tersebut padanya.
"Siapa?" Celline juga ikut berbisik.
"Bagas."
Celline menatap Nadine lama. Ada sebuah ingatan buruk tentang Bagas yang benar-benar ingin dia lupakan.
"Suruh dia pergi,bilang kalo aku gak ada."
"Yah, telat. Dia katanya nungguin kamu sampe turun."
Celline memutar bola matanya karena jengah. Mahkluk satu itu tak akan pernah menyerah jika keinginannya tidak terpenuhi. Seperti satu ini, dia pasti akan menunggunya di ruang tamu sampai Celline mau menemuinya.
Cowok kasar itu benar-benar sudah dilupakan oleh Celline. Dia tak ingin berhubungan dengannya lagi setelah insiden beberapa bulan yang lalu.
Bagas adalah mantan pacar Celline. Lelaki yang sok tampan itu pernah mengisi hari-hari Celline. Sebelum akhirnya dia terpergok oleh gadis itu sedang masuk ke hotel dengan seorang wanita tua yang mungkin bisa disebut tante.
Jika Daniel tahu dia menemui Bagas. Pasti dia tak akan tinggal diam. Karena Daniel sudah memberikan peringatan padanya untuk tidak menemui laki-laki berengsek tersebut lagi.
Celline masih mematung di tengah tangga. Dia ragu untuk menemuinya, apalagi mengobrol dengannya. Sudah tak ada yang bisa mereka bicarakan.
"Kalo kamu masih nemuin Bagas, lihat aja nanti. Aku nggak bakal tinggal diem Cell." Daniel menaikkan nada bicaranya saat melihat Celline menangis terisak di depan hotel.
Dia langsung memanggil Daniel begitu mendapatkan bayangan Bagas yang masuk ke dalam hotel dengan wanita lain. Hanya ada satu pikiran Celline tentang Bagas. Yaitu tentang gosip mengenai dirinya yang menjadi teman tante-tante yang kesepian.
Awalnya dia tak percaya karena cinta sudah menutup mata hatinya. Namun setelah dia mencoba menyelidikinya sendiri dan menemukan kebenaran dia tak bisa menerima kenyataan tersebut.
"Aku masih gak percaya Dan, kalo dia kayak gitu." Celline masih terisak, Daniel yang melihatnya tentu saja tidak tega. Dia menenggelamkan wajah sahabatnya itu dalam dadanya. Untuk menumpahkan semua kesedihannya.
"Udah Cell, cowok kayak gitu gak pantes kamu tangisin." Daniel mengusap lembut rambut Celline, darahnya mendidih ketika melihat Bagas yang baru saja keluar dengan wanita tua itu dan masuk ke dalam mobilnya.
"Tunggu dulu, aku mau kasih dia pelajaran." Daniel hendak meninggalkan Celline untuk menghentikan mobil Bgaas, entah apa yang akan dilakukannya. Namun sepertinya hal buruk akan terjadi jika Celline tak lekas menahannya.
"Udah Dan, kita pulang aja." Celline menarik lengan Daniel mengajaknya untuk pulang. Tak ada yang perlu di bicarakan lagi dengan Bagas. Hubungannya sudah benar-benar selesai saat itu juga.
Celline melihat Bagas dari celah tangga. Dia benar-benar tak ingin bertemu dengan pria itu. Namun jika dia tak menemuinya mungkin Bagas akan membuat masalah di koat-nya.
Dengan langkah malas akhirnya dia turun. Bagas yang mendengar suara langkah langsung menoleh ke arahnya.
"Cell," panggilnya Bagas pelan.
"Ada apa?" tanya Celline tanpa melihat ke arahnya.
"Aku mau minta maaf."
"Iya udah aku maafin,"
"Tapi...," ucapannya terhenti.
"Kenapa?"
"Bukannya ini gak adil ya?"
"Gak adil apalagi sih?! Udah deh gak usah cari masalah lagi. Hubungan kita udah kelar lama. Jadi gak usah diungkit lagi."
Bagas tersenyum sinis, dia berdiri dan menghampiri Celline. Gadis itu memundurkan langkahnya karena takut jika Bagas akan melukainya.
"Kamu pas pacaran sama aku deket sama Daniel aku biarin. Tapi, kamu cuma liat hal itu sekali aja udah lebay banget."
Celline mendelik. Bagaimana bisa dua hal tersebut disamakan? Daniel dan dia hanya berteman. Sedangkan Bagas Dan wanita tua itu pasti melakukan hal yang lebih saat di hotel.