Unwanted Bond (SasuHina) 01
by
acyanokouji
All Naruto's characters are belong to Masashi Kishimoto.
Saya cuma pinjem doang, kok. Selamat membaca.
Warning: Super OOC, gaje, typo(s), crack couple, bosenin, alkohol dan lemon!
.
.
Sasuke Uchiha, 28 tahun. Bekerja sebagai kepala manajer pabrik kimono cabang Tokyo. Yatim piatu sejak usia delapan tahun tapi diasuh oleh salah satu keluarga terpandang di Jepang. Yang terpenting, single. Menurut pengakuannya ia belum pernah dekat dengan wanita manapun secara romantis, kecuali saat awal kuliah dulu.
"Sasuke? Kau sudah tiba?" seorang perempuan berambut coklat terang menyambut Sasuke yang baru tiba di kediaman keluarga Hyuuga.
"Ya. Apa Tuan Hiashi ada, Matsuri?" perempuan bernama Matsuri mengangguk. Lalu, ia berjalan di depan Sasuke untuk mengatarnya ke belakang rumah.
"Seperti biasa. Ia sedang menikmati tehnya sambil memandang kolam ikan." Sasuke mengikuti arah pandang Matsuri.
Tak jauh dari jaraknya berdiri ada seorang pria paruh baya yang sedang duduk memunggunginya. Pria itu adalah Hiashi Hyuuga, kepala keluarga Hyuuga yang mengasuhnya sejak ia ditinggal pergi keluarganya.
"Kau ingin minum sesuatu?" tanya Matsuri saat Sasuke hendak beranjak.
"Teh yang biasa saja." Matsuri mengangguk. Sepeninggal perempuan coklat itu, Sasuke mendekati Hiashi, berdiri tepat di belakang punggung pria itu.
"Sasuke?" Sasuke tersenyum simpul saat mendengar suara Hiashi.
"Sepertinya aku tidak pandai menyelinap." Sasuke berdiri di hadapan Hiashi sekarang. "Bagaimana kabarmu, Tuan Hiashi?"
Sasuke menarik kursi di seberang Hiashi dan duduk di atasnya. Ia bisa melihat sebuah kantung obat yang terletak di samping cangkir minuman Hiashi.
"Memangnya siapa yang peduli terhadap kondisiku selain dirimu, Sasuke?" Hiashi memandang tepat ke dalam mata Sasuke. "Bahkan anak-anakku pun tidak."
"Mereka sedang sibuk bekerja, Tuan."
"Ya. Sampai-sampai lupa siapa yang memberinya pekerjaan." Hiashi sedikit terkekeh. Matsuri yang tiba dengan nampan tersenyum melihat majikannya tertawa kecil.
"Terima kasih, Matsuri." setelah menaruh secangkir teh untuk Sasuke, Matsuri kembali ke dalam rumah.
"Omong-omong, ada apa Tuan memanggilku?" Sasuke menghirup aroma teh.
"Kau harus berhenti memanggilku begitu, Sasuke. Setidaknya kau bisa memanggilku paman, mungkin." Sasuke terdiam. Matanya memandang Hiashi yang sedang memerhatikan kolam ikan. Apa ia boleh memanggil seperti itu?
"Tapi yang lebih penting, aku ingin meminta bantuanmu." Hiashi menyebar pakan ikan yang sedari tadi ada di genggamannya.
"Jadilah mantuku. Aku ingin kau menikah dengan Hinata."
Sasuke membulatkan matanya. Cangkir yang sudah hampir menyentuh mulutnya tertahan di udara. Untuk menenangkan diri, Sasuke meminum beberapa teguk.
"Aku tidak bisa, Tuan." Hiashi berbalik pada Sasuke.
"Apa kau punya kekasih?"
"Tidak."
"Kau tidak menyukai Hinata?"
"Bukan begitu, Tuan."
"Berarti kau menyukainya, ya?" Hiashi tersenyum miring. "Kau tahu? Di antara ketiga anakku, aku paling khawatir pada Hinata, putri bungsuku. Aku takut tidak ada yang menjaganya kalau aku meninggal."
"Tolong jangan bicara seperti itu, Tuan!" Sasuke menunduk saat sadar suaranya sedikit meninggi. Hiasi melirik Sasuke sebentar, laki-laki itu memang selalu sopan.
"Yah, mungkin di umur dan kondisiku saat ini, aku hanya ingin melihatnya menikah." Hiashi mendongak. Matanya menatap langit-langit sambil tersenyum lembut.
"Terima kasih sudah selalu menjaganya, Sasuke."
Sudah lewat beberapa menit. Sasuke mengangkat kepalanya. Di hadapannya Hiashi masih mendongak dengan mata terbuka.
"Tuan Hiashi?"
Tak ada sahutan. Sasuke menunggu sedikit lebih lama lagi. Ia memerhatikan Hiashi dengan seksama. Tak lama kedua tangannya mengepal. Badannya bergetar dan tangisan lolos begitu saja untuk beberapa saat sebelum Sasuke memanggil Matsuri dan orang-orang Hyuuga.
.
.
"Di mana?" seorang pria berambut coklat panjang tiba dengan napas sedikit terengah.
"Di kamarnya." Sasuke mengantarkan pria itu ke sebuah pintu besar. Ia menunggu di depan pintu saat pria coklat itu masuk.
Sasuke bersandar pada dinding, masih dengan kepala yang menunduk dan mata yang terpejam.
"Apa sudah dimakamkan?" sebuah suara muncul, membuat Sasuke mendongak pada perempuan di hadapannya. Rambutnya coklat panjang, seperti pria tadi. Dilihat dari mana pun, mereka berdua sudah pasti memiliki hubungan darah.
"Belum. Neji masih ada di dalam, Hanabi."
Neji Hyuuga dan Hanabi Hyuuga. Putra dan putri Hiashi Hyuuga yang baru saja meninggal dunia beberapa waktu lalu.
Sekitar sepuluh menit kedua Hyuuga berada di kamar, tempat Hiashi Hyuuga sedang ditidurkan. Saat kakak-adik itu keluar ruangan, Sasuke bisa melihat jejak-jejak air mata di kedua wajah mereka yang mencoba untuk tetap datar.
"Tegarlah. Kita harus mengatur pemakaman." Neji mengusap bahu Hanabi yang ada di dalam rangkulannya.
"Apa tidak menunggu Hinata dulu?" Hanabi mengernyit pada Sasuke.
"Untuk apa? Anak itu palingan tidak tahu kalau ayahnya meninggal."
"Dia tetap adikmu, Hanabi."
"Cih, jangan bersikap seperti kau bagian dari keluarga ini, Uchiha!" Hanabi menatap nyalang. Ia melepaskan diri dari dekapan Neji dan pergi menjauh. Tak lama Neji menyusulnya setelah membuang napas lelah.
.
.
Malam ini club ramai seperti biasa. Suara dentuman musik, alkohol di sana-sini dan cumbuan muda-mudi di setiap sudut ruangan. Seorang perempuan dengan mini dress berjalan gontai menuju meja bar. Ia duduk dengan anggun di salah satu bangku.
"Wow! Kau terlihat cantik malam ini, bos!" seorang pria menyambut dari balik meja bar.
"Terima kasih, Hidan. Tapi apa itu berarti aku tidak cantik malam-malam sebelumnya?" si perempuan mengerling.
"Oh, tentu kau selalu cantik! Pasti!" Hidan mengangkat ketiga jarinya ke atas, membuat perempuan berambut ungu gelap terkekeh pelan.
"Berhenti merayuku. Buatkan aku cocktail seperti biasa."
"Yes, mam! Segelas cocktail akan datang dengan segera."
Dengan cekatan Hidan mengambil bahan-bahan untuk menyiapkan pesanan.
"Mencari seseorang, Hinata?" Hidan menatap Hinata yang terlihat sedikit celingukan.
Hinata Hyuuga, bungsu keluarga Hyuuga yang baru berusia 23 tahun desember lalu. Pemilik salah satu club dan bar terbesar di Okinawa. Dengan modal pemberian orang tuanya, ia sudah memulai usaha sejak awal masuk kuliah, sekitar lima tahun yang lalu.
"Kalau kau mencari pria anjingmu, ia ada di meja nomor tujuh. Menyambut gadis-gadis dari Tokyo." Hidan menunjuk dengan dagunya.
"Dia bukan anjing, Hidan." Hinata berdesis pelan sambil menatap tajam pada Hidan. Lalu, ia ikut menoleh pada meja nomor tujuh di sudut ruangan. Di sana pria berambut coklat sedang berdiri. Ia terlihat bercakap-cakap pada sekumpulan wanita.
"Mungkin kau harus menghukumnya karena menjadi liar, Hinata." Hidan menaruh gelas berisi cocktail. "Hukuman yang manis tapi menyiksa."
Hinata menatap benda kecil yang diletakkan Hidan di dekat gelas. Permen berwarna merah. Mungkin rasa strawberry. Yang terpenting, bukan permen biasa.
"Kau memang selalu tahu yang kubutuhkan." Hinata tersenyum miring. Ia meminum cocktailnya beberapa teguk. Lalu, ia pergi menuju meja nomor tujuh sambil membawa bungkusan permen.
"Permisi, Nona-Nona. Waktu belajar sudah habis. Aku harus mengambil pria ini." Hinata menginterupsi acara 'pemberian materi' tentang club dan bar. Ia menarik pria berambut coklat dengan tanda lahir berbentuk segitiga di kedua pipinya.
"Hei, aku belum selesai. Mereka baru tiba di Okinawa." si pria segitiga menahan Hinata yang membawanya ke pojok ruangan.
"Kau sudah selesai dengan mereka, Kiba." Hinata menatap tajam pada Kiba. Kalau sudah ditatap dengan suara tegas begini, Kiba cuma bisa diam.
"Oke, oke. Sekarang aku harus bagaimana?" Kiba menyandarkan punggunggnya pada dinding bar.
"Diam dan rasakan."
Hinata menyatukan bibirnya dengan bibir Kiba. Mereka berciuman. Tak butuh beberapa lama sampai mereka saling memagut. Lidah Kiba berada di dalam mulut Hinata, atau mungkin sebaliknya, entahlah. Setelah melihat Kiba mengikuti permainan mulutnya, Hinata mendorong badannya semakin merapat bersamaan dengan Kiba yang merasakan sesuatu yang manis di mulutnya.
Permen strawberry. Kiba tidak masalah jika Hinata ingin memiliki variasi dalam ciuman mereka. Yang jadi masalah, Kiba tahu permen ini jelas bukan permen biasa. Setidaknya jika mereka masih berada di bar yang penuh orang-orang seperti Hidan.
"Ngh~" Hinata melenguh. Desahannya tertahan karena mulutnya masih bergelut lidah.
"Akh!" pagutan mereka terlepas karena Hinata yang terkejut akan sentuhan Kiba di antara kedua pantat sintalnya.
"Kau memang tidak sabaran!" Hinata memukul pelan dada bidang Kiba.
"Heee aku? Atau kau yang menciumku duluan sambil memberi permen perangsang?" Kiba menarik Hinata dalam pelukan sensual.
Hinata terkekeh pelan. "Bagus 'kan? Kau akan jadi liar dengan itu."
"Tanpa perangsang pun aku sudah liar."
"Benarkah?"
"Huum." Kiba memandang wajah Hinata lekat. "Jadi, kita harus ke mana, Bu Bos?"
"Tentu saja kau akan menggendongku ke kamar."
Kiba tersenyum sebentar. "Sayangnya aku khawatir itu tidak akan terjadi."
"Kenapa?" Hinata mengernyit pada Kiba yang menatap ke belakang punggungnya. Ia pun berbalik untuk memeriksa.
"Hinata, kita harus bicara." oke sekarang Hinata tahu. Ia menatap sebal pada pria jangkung yang ada di hadapannya. Bagus, sekarang dia sudah turn off.
"Tunggu aku di kamar, Kiba." mutlak, Kiba tidak bisa melawan. Ia pergi menuruti perkataan Hinata dengan patuh.
"Ada apa kau kemari, Sasuke?" Hinata memandang tajam. Ia mulai berjalan menuju bangku di meja bar. Sasuke mengikutinya dan duduk di samping Hinata.
"Kau harus pulang, Hinata."
"Tidak akan." Hinata menanggapi tanpa memandang Sasuke. Bahkan kini ia kembali meminum cocktailnya yang tadi tertinggal setengah.
"Akan ada rapat keluarga Hyuuga. Kau harus hadir."
"Heee bukankah kau yang lebih Hyuuga daripada aku?" Hinata mendelik.
"Kau harus melayat, Hinata."
"Apa? Aku tidak dengar." Hinata bicara setengah hati. Suara musik menutupi pendengarannya. Untuk beberapa saat pria yang ada di sampingnya terdiam, mungkin ia menyerah.
"Hinata." Sasuke menarik kedua sisi bahu Hinata. Memaksa perempuan itu berhadapan dengannya. Sasuke menarik napas dalam sebentar.
"Tuan Hiashi Hyuuga telah meninggal dunia."
Sasuke meninggikan suaranya. Bicara tepat di depan wajah Hinata. Suaranya sedikit keras dan bergetar untuk melawan dentuman musik. Seketika mata Hinata membulat mendengar ucapan Sasuke. Ia tak bergeming di posisinya. Sedikit ia menggigit bibir dalamnya dan mengeraskan rahangnya.