Unwanted Bond (SasuHina) 05
by
acyanokouji
All Naruto's characters are belong to Masashi Kishimoto.
Saya cuma pinjem doang, kok. Selamat membaca.
Warning: Super OOC, gaje, typo(s), crack couple, bosenin, alkohol dan lemon!
.
.
Kesibukan Hinata dalam mengurusi usaha barunya di Tokyo cukup menguras waktu. Bagus, sekarang dia sudah tidak menjadi pengangguran seperti dua minggu lalu. Tapi, badannya cukup lelah. Beberapa hari terakhir ini ia pulang larut malam. Di saat orang rumahnya yang bekerja kantoran mungkin sudah tidur lelap, Hinata bahkan belum makan malam.
Hinata berniat pergi ke dapur dulu. Mengambil beberapa makanan yang disisakan Matsuri untuknya sebelum bersih-bersih. Tapi, langkahnya terhenti ketika melihat sesuatu dari dapur.
"Ahnn, Neji-sama."
"Kau mengapitku dengan erat, Matsuri."
Shit. Ada yang bercumbu di dapur rumahnya. Bukan sembarang orang. Kalau Hinata tidak salah lihat dan dengar, itu kakaknya dengan Matsuri? Pelayan rumahnya sendiri? The hell, apa yang dipikirkan Neji? Setidaknya mereka bisa melakukan di kamar, 'kan?
Hinata mematung selama beberapa saat. Ia tidak tahu musti bagaimana. Haruskah ia tiba-tiba muncul dan mengejutkan kedua orang yang ada di dapur? Konyol. Hinata tahu betul sebagai pemilik club, jangan mengganggu orang yang sedang bercinta. Saat sedang bergelut dengan pemikirannya sendiri, tiba-tiba Hinata merasakan tarikan di tangannya.
"Sasuke?"
"Ssstt.. Jangan bicara terlalu keras." Sasuke menempelkan jari telunjuk ke bibirnya sendiri. Ia memojokkan Hinata ke dinding luar dapur.
"Apa yang kau lakukan?" Hinata bertanya dalam bisikan.
"Aku? Menyelamatkanmu." Hinata mengernyit.
"Maksudmu –ap"
"Sudah kubilang jangan bicara terlalu keras."
Sasuke membekap mulut Hinata. Tubuhnya semakin merapat pada Hinata. Damn. Dada mereka hampir bersentuh. Tunggu, bukan saatnya Hinata berpikiran begitu. Tapi, di balik dinding tempatnya bersandar, ada orang yang sedang bercumbu dengan desahan yang terdengar menggaung di telinga Hinata. Duh, gimana?
"Ayo ke kamarmu. Ingat, jangan terlalu berisik."
Sasuke mundur. Ia menuntun Hinata berjalan perlahan untuk menuju kamarnya yang memang berada di lantai satu, tidak terlalu jauh dari dapur. Sasuke membuka dan menutup pintu kamar dengan sangat perlahan.
"Apa yang kau lakukan?" Hinata mengulangi pertanyaannya.
"Bersembunyi sampai mereka selesai."
"Tsk. Lagian kenapa sih mereka melakukannya di sana?"
Hinata berdecak. Ia menaruh tas yang dibawanya dan melepas jaket yang dipakainya, menggantungkannya di balik pintu. Saat melewati Sasuke, pria itu terlihat membuang muka.
"Apa?" tanya Hinata tak acuh.
Double shit. Hinata pakai tube top sampai pertengahan perutnya.
"Jadi, apa yang kau lakukan tengah malam begini, Sasuke?" Sasuke menoleh pada Hinata yang bersandar di sofa.
"Aku mendengar suara mobilmu dari kebun."
Sasuke? Di kebun? Malam-malam? Aneh.
"Aku tahu Neji dan Matsuri belum tidur. Untuk berjaga-jaga, makanya aku mengikutimu yang berjalan menuju dapur."
"Kak Neji dan Matsuri." Hinata memberi jeda. "Apa mereka sudah lama berhubungan seperti itu?"
"Begitulah." Sasuke mendekat dan ikut duduk dengan Hinata di sofa.
"Kenapa? Maksudku, bagaimana bisa? Bukankah Matsuri sudah seperti adik kita?" Sasuke hendak menimpali tapi Hinata keburu bicara lagi.
"Kudengar juga Kak Neji akan bertunangan dengan Sakura Haruno yang dulu jadi penggemarmu." Sasuke mengedikkan bahu. Mereka berdua diam sebentar, berkutat dengan pemikiran masing-masing.
"Hinata, kalau kau merasa hidupmu kacau, kau tidak sendirian. Kami pun di sini merasakan hal yang sama setelah kepergian Nyonya Hikari." Hinata menoleh saat nama ibunya disebut.
"Aku bahkan selalu merasa tidak tenang saat memikirkan kebun. Aku selalu mengingat beliau yang mengajariku cara berkebun."
Sasuke menunduk. Hinata bisa melihat aura kehilangan dari pria itu.
"Tetap saja mereka berdua seharusnya tidak melakukannya sembarangan. Di rumah ini ada orang lain."
Duh, Hinata salah menangkap poin dari pembicaraannya.
"Ah, sudahlah, terserah." Hinata menggerutu sebentar. Ia melirik jam dinding yang menujukkan pukul satu lewat dua puluh tujuh menit.
"Sepertinya mereka sudah selesai. Kau bisa kembali ke kamarmu, Sasuke." tanpa bicara lagi, Hinata masuk ke dalam kamar mandi untuk membersihkan wajah dan tubuhnya. Sasuke yang diperlakukan begitu hanya bisa menghela napas dan menuruti perkataan wanita itu.
.
.
Pagi harinya, putra-putri Hyuuga dan Sasuke sarapan bersama. Hari yang langka mereka akhirnya bisa makan di satu meja lagi. Faktanya, semalam yang makan bersama hanya para pria.
Saat ketiga manusia lain sedang makan dengan lahap, Neji bergerak gusar. Matanya memerhatikan gerakan Hinata dan Hanabi yang sedang makan. Neji benar-benar penasaran dan takut aktivitasnya dengan Matsuri diketahui orang lain.
"Akhir-akhir ini aku jarang melihatmu di rumah, Hinata. Kenapa? Kau sudah tidak kuat tinggal bersama kami selama sebulan?"
Hinata yang sedari tadi diam dan memikirkan kejadian semalam, tersadar saat Hanabi bicara padanya. Syukurlah Hanabi menghentikannya dalam mengingat bagaimana Neji mencumbu Matsuri di sini, di meja ini.
"Aku sibuk mempersiapkan usaha baruku."
"Benarkah? Kau akan membuka usaha di Tokyo, Hinata?" kali ini Neji yang bertanya dengan semangat. Sesaat ia melupakan pemikiran gusarnya.
"Ya. Kiba membantuku." Sasuke menoleh pada Hinata. Kiba itu temannya Hinata di Okinawa, 'kan?
"Kiba siapa? Laki-laki?" Hanabi mendelik pada Hinata. "Kau menghabiskan banyak waktu bersama laki-laki lain."
"Apa sih maksudmu?" Hinata menghentikan tangannya yang menyodok makanan. Kini ia ikut menatap pada Hanabi. Perang dingin lagi.
"Maksudku, kau itu sangat tidak berpendirian. Kau yang memutuskan untuk bertunangan dengan Sasuke tapi malah sering pergi dengan laki-laki lain!"
"Kiba itu rekan bisnisku sejak di Okinawa asal kau tahu!"
"Benarkah? Tapi aku belum pernah melihatmu dan Sasuke berduaan sejak pindah ke sini tuh!"
"Memangnya apa masalahnya?"
"Artinya, kalian berdua berarti tidak benar-benar menjalin hubungan. Kutebak, pasti kalian belum pernah berkencan!"
Pertikaian Hanabi dan Hinata mendominasi meja makan. Sepertinya misi Neji lebih utama untuk menyatukan kedua adiknya daripada mencari pelaku yang mengintip semalam.
"Aku dan Hinata berencana pergi kencan nanti sore." ucapan Sasuke membuatnya menjadi pusat perhatian. Hinata mengernyit karena semalam mereka tidak ada bicara apa-apa soal kencan.
"Oh, benarkah? Tapi semestinya kalian melakukan itu jauh-jauh hari. Tidak menunggu lebih dari sebulan!" ketus Hanabi.
"Aku dan Hinata sibuk, Hanabi. Kau dengar, 'kan? Hinata sedang mempersiapkan usaha barunya." Hanabi berdecak. Entah kenapa Sasuke malah membela Hinata. Laki-laki itu sepertinya sudah mulai ikut terlibat dalam pertikaian Hanabi dan Hinata.
Sarapan selesai dalam keadaan hening. Hinata memutuskan untuk pergi mandi. Sasuke pergi ke kebun. Entah mau apa. Hanya tersisa Neji dan Hanabi di meja makan.
"Hanabi." panggilan Neji membuat Hanabi menoleh. "Kenapa kau tiba-tiba marah pada Hinata?"
Hanabi berdecak lagi. Kakaknya juga ikut membela Hinata. "Tidak ada. Aku hanya mengingatkannya untuk belajar bertanggung jawab."
"Kau cemburu pada Hinata? Atau pada Sasuke?"
"Yang benar saja! Aku nomal, dan aku sudah punya calon pasangan kalau kau mau tahu!"
Neji menutup telinga saat mendengar Hanabi berteriak. Ia mengalah dan hanya mengiyakan ucapan Hanabi.
"Omong-omong, semalam kau pulang jam berapa, Hanabi?" oh, Neji tidak lupa misinya yang lain.
"Setengah dua." jawab Hanabi cepat. "Aku juga melihat Hinata masuk kamarnya."
Hanabi dan Hinata pulang bersamaan? Sebenarnya Hanabi juga tidak yakin sih itu Hinata masuk atau keluar kamarnya. Yang jelas pintunya terbuka saat Hanabi lewat.
"Cih, anak itu pergi bersama laki-laki tidak jelas sampai larut malam." Hanabi berbisik pelan.
.
.
Hinata sedang memakai skincare rutinnya saat pintu kamarnya diketuk. Setelah diberi izin, seseorang masuk ke dalam kamar Hinata. Itu Neji lagi.
"Kau sedang apa, Hinata?" Neji berjalan mendekat.
"Bersiap. Kalau kau tidak dengar, aku dan Sasuke punya kencan hari ini." Hinata menjawab dengan nada menyindir.
"Kau dan Sasuke benar akan berkencan?" Neji mengernyit.
"Seperti yang kau dengar, Tuan." Hinata mengaplikasikan sunscreen ke wajahnya.
"Kau tidak harus mendengarkan Hanabi. Hubunganmu dan Sasuke bisa berjalan perlahan sesuai keinginan kalian." walaupun Neji juga penasaran dengan akhir kisah mereka sih.
"Aku sedang tidak ingin mendengar ceramahmu. Kalau kau sudah selesai, mending kau pergi saja."
Hinata sangat sensitif. Sepertinya ia sedang PMS.
"Omong-omong, aku ingin bertanya sesuatu." Hinata menatap Neji melalui cermin.
"Semalam kau pulang jam berapa, Hinata?" bagus, pertanyaan yang membuat Hinata sedikit gelagapan.
"Satu.... mungkin? Atau lebih. Entahlah, aku tidak ingat." jawab Hinata. Ia mati-matian besikap seperti tidak tahu apa-apa. "Kenapa memang?"
"Tidak papa. Aku hanya khawatir karena akhir-akhir ini kau sering pulang malam." alibi Neji.
"Jangan terlalu sering pulang malam, Hinata."
Jawaban Hanabi dan Hinata memiliki kecocokan. Berarti mereka berdua tidak berbohong, 'kan? Jadi, Neji merasa tidak bisa mencurigai mereka lagi. Kalau bukan kedua adiknya, lalu siapa? Hanya tersisa Sasuke sekarang.
"Kau sedang apa, Sasuke?" Neji menghampiri Sasuke di kebun.
"Melihat-lihat saja. Sepertinya aku akan mulai menanam bulan depan." Sasuke berjalan menuju arah Neji. Ia sudah selesai mengurusi kebun.
"Ada apa Neji?" tanya Sasuke. Pria berambut coklat di hadapannya terlihat sedikit gelisah.
"Apa semalam kau keluar kamarmu?" tanya Neji to the point.
"Ya. Aku memeriksa kebun." Neji menjawabnya dengan 'oh'.
"Kalau kau khawatir, aku tidak akan memberitahu orang lain tentang kau dan Matsuri."
Tuh 'kan, benar. Sasuke yang mengintipnya.
"Kita sesama lelaki. Aku mengerti. Tapi, lain kali kusarankan untuk melakukannya di kamar. Atau setidaknya pastikan orang lain tidak bisa melihat."
.
.
Kencan pertama Sasuke dan Hinata. Hinata pikir Sasuke akan mengajaknya ke tempat-tempat romantis untuk membuktikan pada Hanabi. Tapi, tempat ini tidak ada romantis-romantisnya.
"Penyimpanan mayat abu? Serius? Kau tidak punya ide lain apa?" Hinata menatap heran pada Sasuke. Laki-laki itu malah menarik lengannya, memaksanya masuk.
"Paman Hiashi dikremasi." sebelum Hinata bertanya lebih lanjut, Sasuke bicara. Benar saja, Hinata diam. Ia mengikuti Sasuke yang berhenti di sebuah rak.
"Kau belum bertemu dengannya, 'kan?" Sasuke menoleh, ia melihat Hinata menunduk.
"Kenapa kau mengajakku ke sini?" Hinata bertanya lirih, masih sambil menunduk.
"Kau pasti rindu padanya." Hinata masih terdiam. "Apakah aku salah?"
"Bisa kau tinggalkan aku sendiri?" Hinata mendongak. Sasuke bisa melihat mata Hinata yang sedikit bergetar.
"Tentu."
Sasuke pergi ke luar. Meninggalkan Hinata sendiri di depan rak penyimpanan abu Hiashi Hyuuga. Sepertinya perempuan itu akan menangis.
"Kenapa kau pergi?" suara Hinata bergetar. Air matanya turun tak lama setelah Sasuke pergi.
"Kau tahu 'kan kalau aku masih marah?"
"Kenapa tidak membujukku lagi, ayah?"
Hinata memandang foto yang berada di dalam rak. Itu adalah foto keluarganya saat ia masih kecil. Ada ayahnya, ibunya, Neji yang berusia sepuluh tahun dan kembar putri Hyuuga yang berusia tujuh tahun.
"Aku tidak terima karena kau begitu cepat menyerah pada kepergian ibu. Dia sakit, aku tahu. Tapi kematiannya terasa tidak adil."
Isakan Hinata memenuhi lorong rak yang masih kosong. Mungkin sudah di pesan oleh keluarga Hyuuga.
"Kalian terlalu cepat melupakannya. Itu tidak adil. Bagaimana bisa kau melupakan perempuan yang sudah lebih dari dua puluh tahun bersamamu dengan cepat?"
Hinata menumpahkan semua kekecewaannya pada sang ayah.
"Bahkan kau sekarang ikut meninggalkanku. Lihat? Mereka juga dengan cepat melupakanmu 'kan, ayah?"
Hinata merasa marah. Beberapa hari lalu, atau minggu, entahlah Hinata lupa. Ia mendengar pembicaraan Neji dan Hanabi tentang desakan orang-orang Hyuuga mengenai hubungan bisnis dengan keluarga Haruno. Pernikahan bisnis untuk meningkatkan hubungan dan kepemimpinan perusahaan. Yang benar saja. Bahkan ayahnya belum ada sebulan pergi.
"Setelah kau pergi pun, kau masih mau mengaturku ya, Ayah?"
Sasuke menoleh saat mendengar suara derap langkah. Hinata sudah keluar dari gedung setelah sekitar sepuluh menit di dalam. Persis seperti Hanabi dan Neji dulu. Ada jejak-jejak air mata di kedua pipi perempuan itu yang sedikit menghapus makeupnya.
"Sudah selesai?"
Sasuke diabaikan. Hinata berjalan melewatinya, duluan menuju mobil.
"Oh shit!" Hinata terdiam beberapa langkah di depan Sasuke. Apalagi sekarang? Padahal Sasuke kira ia sudah memberikan 'kencan pertama' yang cukup baik untuk Hinata.
"Sepertinya aku menstruasi."