Unwanted Bond (SasuHina) 10
by
acyanokouji
All Naruto's characters are belong to Masashi Kishimoto.
Saya cuma pinjem doang, kok. Selamat membaca.
Warning: Super OOC, gaje, typo(s), crack couple, bosenin, alkohol dan lemon!
.
.
"Nona Hinata, ada yang mencarimu di meja bar." seorang pegawai berbisik pada Hinata saat perempuan indigo itu sedang menemani tamu. Untungnya, Hinata berdiri di dekat pintu ruangan jadi mereka bisa curi-curi obrolan.
"Siapa?" tanya Hinata sambil berbisik.
"Laki-laki yang berdansa dengan Nona waktu itu."
Hinata mengerutkan dahinya. Dansa dengannya waktu kapan? Selama menjalankan bisnisnya, Hinata tidak bisa menghitung berapa kali berdansa dengan laki-laki. Tentu untuk pekerjaan.
"Baiklah, terima kasih. Kau bisa –pergi" Hinata melihat papan nama yang tergantung, "Hashibira... chan?"
Sebenarnya Hinata lupa dengan jenis kelamin pegawai yang ada di depannya. Wajahnya cantik dengan mata yang indah, tapi dadanya terlalu... datar? Oke, Hinata bukan maksud sombong apalagi menjelekkan. Namun, saat pegawai itu hanya mengangguk dan pergi, Hinata anggap itu bukan masalah yang besar.
"Kiba, bisa kau temani mereka dulu?" Hinata berbisik pelan setelah menarik Kiba yang sedang bicara di tengah untuk menyambut rombongan tamu.
"Ada yang mencariku di depan."
"Siapa?" Hinata menggeleng. "Baiklah, aku bisa memandu tamu ini."
"Terima kasih. Ingat, no drugs. Mereka aparat kepolisian di Tokyo." Hinata mewanti-wanti. Setelah menerima acungan jempol dari Kiba, Hinata pergi keluar ruangan.
Hinata tiba di bagian depan club-nya. Ia bisa melihat punggung tegap laki-laki berambut raven yang memakai kemeja biru gelap. Sekali lihat saja, Hinata bisa tahu siapa laki-laki itu. Sebagian dari dirinya menyesal tetapi sebagian yang lain ingin merasa senang.
"Kau yang mencariku?" Hinata berjalan mendekat dan duduk di kursi bar samping Sasuke.
Tentu saja Sasuka Uchiha yang berdansa dengannya waktu itu.
"Ya. Sulit menemuimu di rumah, jadi aku ke sini. Apa kau ada waktu?" Sasuke mengangkat gelas kosong. Hinata melirik sebentar.
"Tidak. Aku sibuk di rumah, apalagi di sini. Kami sedang menyambut tamu."
"Apa tidak bisa kau titahkan pada pekerjamu saja?"
"Tidak. Tamu kami sangat special hari ini." tiba-tiba Kiba datang menginterupsi obrolan yang baru dimulai. Sasuke mendelik tak suka sedangkan Hinata mengernyit kesal. Bisa-bisanya Kiba meninggalkan tamu seperti itu.
"Kau mendengarnya, 'kan? Aku sibuk, Sasuke. Kuharap kau bisa mengerti." Hinata berdiri, ia menghampiri Kiba dan berjalan beriringan kembali ke ruangan vip tadi. Sasuke melihat dari belakang, bagaimana Kiba merangkul Hinata dan meletakkan tangannya di bawah perut wanitanya. Kalau dilihat begini, sepertinya bukan Sasuke yang jadi tunangan Hinata.
"Jadi, kau mau pesan apa, Tuan?" Sasuke balik menoleh ke depan. Ino mengetuk-ngetukkan jari ke meja bar, menunggu pesanan Sasuke.
"Mocktail." Sasuke menyodorkan gelas kosong pada Ino.
"Kau yakin? Tidak akan menyesal tak coba ramuan alkoholku?" tawar Ino.
"Aku harus menyetir. Segelas mocktail saja, margarita."
"Baiklah." Ino mengedikkan bahu. Ia mengambil gelas kosong yang disodorkan Sasuke. Kemudian, ia berbalik dan mulai menyiapkan pesanan Sasuke.
"Omong-omong, apa kau kenal tamu Hinata hari ini?" tanya Sasuke.
"Kau ingin tahu?" Ino tidak berbalik.
"Kalau aku bertanya, berarti aku ingin tahu." Ino tersenyum miring mendengar ucapan Sasuke. Ia menghentikan kegiatannya dan berbalik pada Sasuke.
"Tamu hari ini adalah rombongan yang membantu peresmian usaha ini. Salah seorangnya cukup dekat dengan Hinata."
"Siapa? Pria?" anggukan Ino membuat darah Sasuke berdesir. "Apa hubungannya dengan Hinata?"
"Special. Seperti... pacarnya?"
"Hah?!"
Reaksi Sasuke membuat Ino tertawa. Wajah terkejut, kesal, dan bingung pria itu jadi hiburan untuknya.
"Maksudku, pacar dari tamu hari ini sedikit mirip dengan Hinata." dua jari Ino membentuk huruf C. "Tapi kau tenang saja. Temanku pria yang loyal. Dia tidak mungkin merebut Hinata hanya karena wajahnya mirip kekasihnya."
Ino mengedipkan matanya pada Sasuke. Lalu, ia kembali berbalik untuk melanjutkan kerjaannya. Selama menunggu, Sasuke melihat-lihat sekeliling. Padahal sekarang masih rabu malam tapi club tetap penuh orang. Tak lama, seorang pemuda berambut Mohawk mendekat, tepat di samping kanan Sasuke. Pemuda itu menaruh uang ke sebuah kotak dan mengambil dua buah permen dari dalam sebuah wadah besar.
"Itu apa?" Ino menengok lagi saat mendengar suara Sasuke. Mengikuti arah pandang pria tampan itu, Ino menyeringai. Ia memasukkan tangannya ke dalam sebuah wadah dan mengambil sesuatu.
"Permen." Ino menunjukkan beberapa butir permen yang diambilnya pada Sasuke.
"Aku tahu. Tapi, lima ribu yen untuk sebuah permen, bukankah terlalu berlebihan?" Sasuke menatap papan kecil berupa penunjuk harga yang menempel pada wadah bening besar.
"Itulah keuntungan bekerja di industri hiburan." Ino tersenyum simpul. "Mau mencobanya, tampan?"
Ino mengayun-ayunkan bungkusan permen di depan wajah Sasuke. Lalu, ia mengerling, "ini adalah permen special racikan club kami."
.
.
Sudah hampir satu bulan, Hinata terlihat menghindari Sasuke. Bukan hanya karena jam kerja mereka yang berbeda, Sasuke yakin jika Hinata sengaja tidak ingin bertemu dengannya. Setiap kali Sasuke menyapa, Hinata akan menanggapi seadanya. Lebih-lebih saat Sasuke datang ke club, Hinata hanya akan menyapanya sebentar kemudian kembali pergi bersama laki-laki dengan dua tanda lahir besar di wajahnya. Sasuke? Ia ditinggal bersama bartender pirang bernama Ino Yamanaka, seperti dua hari lalu.
Sasuke tidak bisa tinggal diam. Ia harus benar-benar bicara dengan Hinata. Bermodal keinginan yang kuat, Sasuke menunggu kepulangan Hinata di depan kamar perempuan itu sejak jam dua pagi. Satu, dua, tiga, empat, lima. Sasuke sudah menunggu selama lima jam tapi Hinata belum muncul juga. Padahal, biasanya Hinata akan tiba sekitar jam lima sampai jam enam pagi.
Menyerah, Sasuke pergi ke dapur dulu untuk minum air.
"Kak Sasuke, kau sudah bangun?"
Sakura Haruno? Sasuke tidak sadar kalau perempuan itu tiba di kediaman Hyuuga. Padahal sejak lima jam yang lalu Sasuke berada di dekat pintu masuk.
Menanggapi seadanya, Sasuke mengambil gelas. Ia mengisinya dan menegak air putih dingin.
"Kau kurang tidur, Sasuke? Kau hampir mirip seperti pacar Hanabi." entah Neji bertanya atau mengejek, Sasuke sedang tidak mau ambil pusing.
"Neji?" Sakura memanggil Neji dengan nada kesal. "Kau mengerjai Hanabi lagi."
"Aku tidak bicara di depannya, 'kan?" elak Neji.
"Tetap saja. Kita sudah sepakat tidak akan mencampuri hubungan Hanabi ataupun Hinata terlalu jauh."
"Iya, tapi aku tetap khawatir pada adikku."
Oke, Sasuke invisible sekarang. Neji dan Sakura asik berbincang berdua, melupakan keberadaan Sasuke. Merasa dilupakan, Sasuke menoleh ke dekat kompor. Terlihat Matsuri yang sedang memasak, ternyata ada yang lebih duluan terlupakan.
"Kau masak apa, Matsuri?" Sasuke mendekat pada Matsuri. Sambil membawa gelasnya yang sudah kosong, Sasuke berniat mengisinya dengan susu hangat yang kebetulan terletak di meja dapur dekat Matsuri.
"Omurice."
"Oh, ya? Tumben." Sasuke melihat-lihat bahan masakan yang tergeletak dekat kompor. "Kenapa ada kotak rumput laut?" Sasuke bertanya sambil mengisi gelas dengan susu panas.
"Itu pesanan Hanabi-sama. Dia ingin belajar masak nasi kepal untuk bento." Sasuke magut-magut. Punya pasangan ternyata bisa merubah seseorang.
Setelah gelasnya penuh, Sasuke kembali duduk di meja makan. Bangku ujung keempat, berseberangan dengan Neji dan Sakura yang ada di sisi sebelahnya.
"Tetap saja aku cemas dan ingin menjaga mereka, Sakura." Sasuke melirik Neji sambil mulai menegak susunya. Masih meributkan masalah Hanabi.
"Aku mengerti. Maksudku, kau tidak perlu terlalu memikirkannya seorang diri. Aku juga bisa jadi sosok kakak perempuan untuk Hanabi dan Hinata." Sakura mengambil satu tangan Neji, mengelusnya pelan sambil tersenyum lembut.
"Kalau kau lupa, orang tuaku ingin pernikahan kita dipercepat sampai bulan depan, Neji."
"Uhuk-uhuk!!"
"Aaaaww!!"
Sasuke tersedak, bersamaan dengan suara teriakan dari Matsuri. Setelah berhasil menenangkan diri, Sasuke menoleh ke belakang dan bisa menemukan Matsuri mengangkat jarinya yang berdarah.
"Matsuri, kau tidak apa-apa?" Sakura berdiri duluan. Ia mendekati Matsuri yang meringis.
"Kau terluka, Matsuri?" Neji menyusul Sakura. Merasa tertinggal, Sasuke juga ikut-ikutan berdiri dan menghampiri kerumunan.
"Ti-tidak apa-apa. Aku hanya tidak sengaja mengiris jariku, Neji-sama." Matsuri menutupi jarinya yang terluka dengan tangannya yang lain.
"Kau berdarah, Matsuri." kata Neji.
"Ini hanya luka kecil, Neji-sama."
"Tidak. Maksudku, kau berdarah dari sela kakimu."
Matsuri menunduk. Melihat ke arah kakinya sendiri. Lalu, matanya membulat karena terkejut. Dari celah seragam pelayannya, darah mulai merembes keluar. Sudah pasti ini memalukan sebagai perempuan, ditatap oleh dua laki-laki bahkan yang satunya hanya bisa diam.
"Hei, apa kau tidak menghitung periodemu?" Sakura bergerak duluan lagi. Ia merangkul Matsuri, membawa perempuan muda itu pergi keluar dapur. Saat Neji hendak ikut menyusul, dengan tegas Sakura berbalik sebentar dan berbisik, "ini urusan perempuan."
"Maafkan aku, Sakura-sama." Matsuri bergetar dalam pelukan Sakura. Mereka sudah keluar dapur tapi rasanya darah tetap mengalir keluar dari dalam tubuhnya.
"Tidak apa-apa. Aku mengerti sebagai perempuan. Apa kau perlu obat? Sepertinya aku masih punya pereda nyeri. Sebentar, aku ambil dulu di mobilku." Sakura melepas rangkulannya pada Matsuri selama beberapa detik, bermaksud pergi mengambil obat di pekarangan rumah.
'BRUK'
.
.
Sakura memutuskan untuk membawa Matsuri ke rumah sakit. Meskipun ia tahu wajar merasa sakit saat sedang datang bulan, tapi pingsan jelas perlu perawatan yang serius. Neji yang bersikukuh ingin ikut akhirnya pergi naik mobil Sakura juga.
Selang satu menit setelah mobil Sakura pergi dari rumah Hyuuga, sebuah mobil putih bergradasi ungu muda muncul. Sasuke masih menunggu di depan rumah saat mobil itu berhenti di pekarangan. Dari dalam mobil, seorang perempuan keluar disusul seorang laki-laki dari pintu seberangnya. Si pria terlihat memeluk dan mencium kening si wanita sebentar, sebelum kembali masuk mobil dan pergi meninggalkan kediaman Hyuuga.
"Apa?" Hinata bertanya sinis saat menemui Sasuke di pintu masuk.
"Kenapa dia membawa mobilmu?" Sauke ngintil di belakang Hinata yang masuk rumah.
"Aku memintanya men-service mobilku."
"Kenapa?"
"Karena sudah waktunya dirawat rutin."
"Maksudku, kenapa harus dia yang melakukannya?"
Hinata berdecak sebal. Ia hendak berbalik dan mendebat Sasuke, tetapi Hanabi muncul dari bawah tangga dengan terburu-buru.
"Kau mau ke mana, Hanabi?" tanya Hinata.
"Kantor. Menggantikan Kak Neji rapat." Hanabi menjawab sambil berdecih. Kemeja putihnya terlihat belum rapi dalam balutan blazer coklat tua.
"Memangnya Kak Neji ke mana?" Hinata bertanya tepat saat Hanabi keluar rumah dan buru-buru masuk ke dalam mobilnya.
"Neji dan Sakura mengantar Matsuri yang pingsan ke rumah sakit." Hinata menoleh pada Sasuke.
"Kau tidak ikut?"
Sasuke menggeleng. "Ini hari jumat."
Hinata menanggapinya dengan satu kata, oh. Lalu, ia memilih masuk kamarnya dan mandi. Beres mandi, Hinata pergi ke dapur untuk makan sarapan yang kini serasa jadi makan malamnya. Di dapur, Hinata menemui Sasuke yang duduk di meja makan dengan kaos dan celana panjang rumahannya.
"Kenapa kau di sini? Tidak ke kantor?" Hinata mendekat, ia melihat-lihat ke atas meja makan.
"Aku bolos. Musti jaga rumah." Hinata mengernyit tak mengerti pada Sasuke. Pandangannya kembali berputar ke sekeliling dapur.
"Matsuri belum selesai masak saat ia tiba-tiba pendarahan dan pingsan." terang Sasuke. Pria itu sadar dengan mata Hinata yang berpedar sejak tadi.
"Apa ada pelayan lain?"
Sasuke mengedikkan bahu. "Setahuku mereka sedang belanja bulanan."
"Well, sepertinya aku akan melewatkan makan malam." Hinata berbalik.
"Kenapa kau tidak masak seperti dulu, Hinata?"
Hinata menahan gerakannya, ia mendelik pada Sasuke. "Dulu kapan?"
"Saat kau masih remaja dan tinggal di sini?"
Hinata memutar bola mata kesal. Ia membuang napas dengan kasar.
"Matsuri sedang masak apa tadi?"
"Omurice."
Hinata menoleh ke arah kompor. "Kalau kau mau makan, tunggu di sini."
Hinata pergi menuju kompor. Ia mengamati sebentar lalu mulai melanjutkan masakan Matsuri yang tertunda. Sekitar dua puluh menit, Hinata menyajikan dua piring omurice ke atas meja.
"Kau benar-benar memasaknya?" Sasuke terpukau.
"Menurutmu?" Hinata menaruh sekotak rumput laut kemasan yang sudah dibuka bungkusannya.
"Kata Matsuri itu rumput laut milik Hanabi." Hinata menghela napas lelas kali ini.
"Aku tidak peduli. Aku lapar dan aku ingin memakannya. Kalau kau tidak ingin melewatkan sarapan, sebaiknya kau mulai makan sekarang."
Hinata memelototi Sasuke. Beberapa kali menundukkan pandangannya pada piring makan Sasuke. Merasa tidak ada pilihan, Sasuke mulai menyendok dan makan omurice masakan Hinata.
"Ini... enak!" Hinata tersenyum sinis mendengarnya. Ia mulai menyuap beberapa omurice sambil menyemil rumput laut.
"Kau tahu? Di pabrik ada koki yang jago masak omurice." Hinata terganggu dengan perkataan Sasuke. Tadi memujinya, sekarang malah memuji orang lain.
"Lebih enak masakannya atau masakanku?"
Sasuke menghentikan gerakan tangannya yang hendak menyuap. Ia melirik Hinata yang sedang menatap tajam padanya. "Tentu masakanmu lebih enak," kata Sasuke.
Setelahnya Hinata tidak bicara apa-apa lagi. Sasuke mendapati Hinata tersenyum kecil, tanpa sadar ia pun ikut tersenyum.
Sasuke menatap bungkusan rumput laut yang tergeletak. Tangannya tiba-tiba mengambil bungkusan tersebut. Gerakan tiba-tiba itu tak luput dari pandangan Hinata. Ia memerhatikan pria yang duduk di seberangnya dengan seksama.
Sasuke mengambil dua lembar rumput laut berbentuk persegi panjang. Lalu, ia menempelkan kedua rumput laut tersebut pada dua sisi pipinya. Hinata yang menatap mengernyit bingung dengan tindakan Sasuke.
"Apa kini kau bisa melihatku seperti kau melihatnya?"
Hinata membelalakkan matanya sebentar. Ia bukan tidak mengerti maksud ucapan Sasuke. Ia hanya tidak menduga kejadian ini. Hinata meneguk ludah. Kemudian ia berdiri dan bergerak menuju kursi Sasuke.
Hinata menekan badan Sasuke yang terlihat hendak ikut berdiri. Ia sedikit menundukkan badannya, kepalanya mendekat pada pipi Sasuke. Bisa Sasuke rasakan hembusan napas dan lidah Hinata yang menempel di pipinya. Lidah itu bergerak, mengecap rasa rumput laut yang tak lama digigit Hinata. Tindakan itu membuat Sasuke sedikit mengerang tertahan, geli.
"Kau ingin aku memakanmu dalam kondisi saat ini?" Hinata berbisik pelan di telinga Sasuke.
Tangan Sasuke mendahului akal dan mulutnya. Ia segera menarik Hinata agar duduk di pangkuannya setelah dengan cepat mendorong piring makannya menjauh, mencegah agar Hinata tidak terluka.
Hinata baru akan protes ketika Sasuke mencium bibirnya. Menekannya dan mulai beradu lidah setelah Hinata membuka mulutnya. Rasanya agak aneh. Mereka masih sarapan tadi. Ciuman mereka terasa seperti saus tomat, bawang, telur dadar, dan sedikit asin dari rumput laut. Sungguh tidak romantis, tapi anehnya malah menggairahkan bagi Sasuke dan Hinata.
"Hmnh!"
Desahan Hinata tertahan. Ia sedikit terkejut mendapati Sasuke yang meremas payudaranya. Sasuke sudah tidak memedulikan apapun. Tangannya yang lain mendorong punggung Hinata agar semakin mendekat padanya.
"Kau mau di sini? Seperti Neji dulu?" tanya Sasuke setelah ciuman mereka terlepas. Hinata memukul pelan bahu Sasuke, malu pada kenangan memalukan.
Hinata bergerak-gerak dalam pangkuan Sasuke. Pria itu terlihat sedikit meringis. Oh, adik Sasuke sudah bangun.
"Gendong aku ke kamar." Hinata siap-siap memosisikan kedua tangannya dalam lingkaran leher Sasuke.
"Kamarku? Atau kamarmu?"
"Terserah. Yang penting, kita harus melakukannya di kamar." tangan Hinata sudah melingkar sepenuhnya pada leher Sasuke. Dadanya juga sudah menempel pada dada Sasuke.
"As you wish, Hime."
Sasuke berdiri dengan Hinata dalam gendongannya. Hinata melingkarkan kakinya ke perut Sasuke ketika pria itu berdiri. Saat keluar dapur, Sasuke kembali mencium Hinata. Ia berjalan menuju kamar Hinata. Tinggal berbelok, mereka sudah akan sampai ke tujuan.
'BRAK'
Pintu depan rumah tiba-tiba terbuka dengan kasar. Ciuman Sasuke dan Hinata terlepas. Keduanya terbengong menatap pintu masuk, masih dengan posisi Hinata yang digendong. Di depan pintu, seorang wanita berambut merah muda berdiri dengan napas terengah. Matanya membulat sempurna tapi bukan terkejut karena melihat Hinata dan Sasuke.
"Hi-Hinata." suara perempuan itu bergetar. Matanya terlihat berkaca-kaca, tak lama setetes air mata jatuh di pipinya.
"Matsuri hamil."