Unwanted Bond (SasuHina) 11
by
acyanokouji
All Naruto's characters are belong to Masashi Kishimoto.
Saya cuma pinjem doang, kok. Selamat membaca.
Warning: Super OOC, gaje, typo(s), crack couple, bosenin, alkohol dan lemon!
.
.
"Berengsek!!!" suara teriak terdengar bersamaan dibukanya pintu rumah dengan kasar. Hanabi muncul dari balik pintu. Alisnya menekuk dengan tajam, napasnya terengah, kemeja putihnya terlihat acak-acakan, blazer coklat digenggamnya dengan erat.
Setelah menutup pintu, Hanabi melirik ke kanan lalu ke kiri. Ia berhenti saat matanya menangkap tiga orang yang duduk di ruang tamu. Dengan tergesa, Hanabi mendekat dan duduk di salah satu sofa. Ia bisa melihat Neji yang menunduk sambil mengepal. Di seberangnya ada Hinata yang sedang memeluk dan mengelus-elus Sakura.
"Sakura, dengarkan aku..." Neji mengangkat kepalanya, menatap Sakura yang menangis.
"Kubilang, aku belum mau mendengarmu bicara 'kan, Neji?" Sakura bicara, suaranya serak disertai isakan. Ia menoleh dan tersenyum getir pada Neji. "Tolong biarkan aku menangis dulu sebentar."
Perempuan berambut merah muda itu kembali memalingkan wajahnya. Bersandar pada Hinata yang masih setia menenangkannya. Kalau seperti ini, rasanya malah Hinata yang jadi kakaknya.
"Well, kalau begitu, biar aku yang bicara." Hanabi menarik napas dalam sebanyak tiga kali. "Kau itu bajingan, Kak! Bagaimana bisa kau menghamili Matsuri padahal kau sudah terikat dengan Kak Sakura?!"
Mata Hanabi melotot, ia mengacak rambutnya kasar. "Kau sudah berjanji akan coba mengenalnya sejak dua tahun lalu. Kau bilang pada ayah akan menjaga hubungan baik Hyuuga dan Haruno. Meskipun kalian tidak memutuskan untuk bertunangan, bukankah hubungan kalian sudah bisa dikatakan seperti itu?!"
Neji diam, tidak menimpali. Rahangnya mengeras, ia mengigit bagian dalam bibirnya sendiri. Hanabi memang benar, ia yang bertanggung jawab sepenuhnya atas kerja sama Hyuuga dan Haruno. Ia juga yang beberapa waktu lalu meyakinkan Sakura jika perempuan itu akan aman bersama Hyuuga. Tapi, lihat sekarang, tanpa disentuh Sakura sudah tersakiti.
"Terlebih aku tidak menyangka kau melakukannya dengan Matsuri. Maksudku, dia itu seperti adik kita 'kan, Kak?"
"Memangnya kenapa?" tangisan Sakura terhenti, ia menatap Neji yang mulai bicara. "Kalau Hinata boleh melakukannya, kenapa aku tidak?"
Hinata ikut menoleh pada Neji. Ia membulatkan matanya kesal, kenapa ia ikut dibawa-bawa? "I'm sorry?" katanya.
"Dia bukan benar-benar adikku seperti kau dan Hinata. Kalau Hinata dan Sasuke bisa bertunangan, apa salah aku menyayangi Matsuri?"
Hati Sakura mencelos. Ia mengepalkan tangannya untuk menahan tangisan. Telapak tangannya sedikit sakit karena kuku-kuku panjangnya.
"Dengan menidurinya?!" Hanabi berteriak, urat-urat di lehernya menonjol serasa akan keluar. "Kau, meniduri Matsuri, yang sejak lahir sudah tinggal di rumah Hyuuga. Cucu Nenek Chiyo, kepala pelayan keluarga Hyuuga. Dan kau, masih menidurinya setelah kau bertekad pada seseorang? Apa yang bisa membuatmu menolak dipanggil berengsek, Kak?!"
Setiap kata yang diucapkan oleh Hanabi penuh dengan tekanan.
"Aku setuju." Hinata ikutan bicara. "Kau sangat tidak bertanggung jawab, Kak. Kau juga malah mengungkit hubunganku dengan Sasuke yang tidak sepenuhnya kau ketahui. Kau terdengar seperti seorang pecundang."
Neji merasa ditekan dari berbagai sudut. Ketiga perempuan di ruangan ini memojokkannya. Ia sudah tidak ada lagi pertahanan. Sakura yang menangis semakin membuatnya merasa sesak.
Tak lama pintu rumah kembali terbuka. Kali ini yang masuk adalah Sasuke. Pria itu baru pulang dari rumah sakit, menjenguk Matsuri. Sasuke menutup pintu dan berjalan mendekat, ia berdiri di dekat sofa.
"Bayinya meninggal. Matsuri keguguran."
Sakura menahan napasnya. Semua orang jelas terkejut. Wajah Neji semakin tertekan dengan adanya kabar dari Sasuke.
"Matsuri harus dirawat karena pendarahan hebat. Aku akan menemaninya." setelah bicara, Sasuke naik ke lantai atas. Ia masuk kamarnya dan menyiapkan bekal untuk menginap. Seseorang harus menemani Matsuri. Tapi, dilihat dari kondisinya tidak mungkin putra-putri Hyuuga yang melakukannya.
Sepeninggal Sasuke, ruangan kembali hening. Sakura merasa pusing, Neji merasa sulit untuk bernapas. Seperti terpojok dengan lima mata pedang di sekelilingnya, Neji sudah tidak bisa berkutik.
"Aku benar-benar kecewa pada semua lelaki Hyuuga." Hanabi yang pertama berdiri. Ia berjalan menuju kamarnya, memutuskan untuk mandi sekali lagi. Pagi ini ia dipaksa ikut rapat, rapatnya selesai di tengah jalan, sedangkan Neji berbuat masalah besar yang mengancam nama baik keluarga dan perusahaan. Bisakah Hyuuga dipermalukan lebih parah lagi?
.
.
Sasuke memeriksa lemari pakaiannya. Ia mengambil dua buah kaos dan memilah beberapa celana panjang. Saat tangannya menyentuh celana bahan berwarna hitam pekat, ia bisa merasakan sesuatu yang lengket dan basah. Damn, Sasuke melupakan sesuatu.
Setelah mengurus sesuatu, Sasuke segera mengambil beberapa keperluannya yang lain dan pergi ke rumah sakit. Saat tiba, ia bisa melihat Matsuri yang tertidur menghadap jendela.
"Matsuri? Kau tidur?" Sasuke menutup pintu ruang inap.
"Sasuke?" Matsuri menoleh, ia bangun dan menyandarkan punggungnya ke kepala kasur. "Kenapa kau di sini?"
"Aku akan menemanimu menginap." Sasuke mengambil kursi dan duduk di samping ranjang. Setelah menaruh tas ransel di lantai, Sasuke memosisikan duduknya lebih nyaman. "Kau sudah mendingan?"
"Ya, pendarahanku sudah berhenti."
Sasuke memerhatikan penampilan Matsuri. Wajahnya pucat, matanya sayu, dan badannya terlihat sangat kelelahan.
"Sudah tiga bulan." Sasuke berkata pelan. "Apa kau menyadari kehadirannya?"
Matsuri membuang muka, menatap ke depan untuk menghindari pandangan Sasuke. "Aku menyadarinya bulan lalu. Padahal kami sudah lama tidak melakukannya. Tapi, aku memang bodoh. Memangnya apa yang aku harapkan dari berhubungan intim?" Matsuri tersenyum getir. "Atau mungkin aku sedikit mengharap sesuatu. Mengikatnya denganku." lanjutnya.
"Anak itu seperti sadar kalau dimanfaatkan, makanya dia memilih untuk pergi." Matsuri meraba bawah perutnya.
Sasuke memerhatikan tindakan itu. Ia memalingkan wajah sebentar. "Itu sudah menjadi tanggung jawab kalian. Kau dan Neji sudah dewasa, kalian seharusnya sudah mengerti. Meskipun aku tetap ikut prihatin karena kau kehilangannya."
Matsuri tersenyum pucat. Untung saja anak itu tidak lahir. Ia terlalu bodoh dan licik untuk jadi seorang ibu. Matsuri menatap ke luar jendela, menyaksikan daun yang bergoyang-goyang di musim semi.
"Aku akan pergi." Sasuke mengernyit mendengar ucapan Matsuri. "Aku tidak bisa tinggal dengannya lagi, Sasuke."
"Kau mau pergi ke mana?"
"Entahlah." Matsuri menghela napas. "Aku memang menyedihkan. Padahal aku pernah bilang tidak akan pergi kecuali ia yang memintanya."
Guratan kesedihan terpancar dari wajah Matsuri yang menyamping. Perempuan itu lalu menoleh lagi pada Sasuke. "Pulanglah, Sasuke. Kau bukan kakakku, bukan juga saudaraku. Kau tidak harus menemaniku."
"Kau sudah seperti saudaraku, Matsuri. Kau –butuh"
"Aku butuh sendirian sekarang." Matsuri memotong ucapan Sasuke. "Tolong, pulanglah."
Sasuke sangat ingin memaksa untuk tetap tinggal. Namun, tatapan Matsuri benar-benar meminta padanya. Sasuke harus menghargai perempuan itu. Ia kembali mengambil tas ranselnya dan bangkit berdiri.
"Istirahatlah dengan baik, Matsuri."
.
.
Sasuke baru kembali dari kebun saat ia melihat Hinata yang keluar dari dapur. Setelah mengunjungi Matsuri yang berujung pengusiran secara halus, Sasuke menenangkan diri dengan merawat tanaman.
"Baru bangun, Hinata?" tanya Sasuke.
Hinata menatapnya sekilas. Sasuke memakai kaos hitam dilapisi kemeja motif berwarna biru muda yang lengannya digulung sampai siku. Celana jeans-nya sedikit kotor karena tanah. Bagi orang yang tidak tahu, Sasuke memang terlihat seperti tukang kebun.
"Ya. Menghabiskan sarapanku." Hinata pergi menuju ruang tengah. Ia duduk di sofa dan menyalakan televisi dengan volume kecil.
Sasuke terdiam sebentar. Sarapan di jam lima sore? Ia lalu ikut duduk di samping Hinata.
"Kau akan pergi ke club?" Sasuke bertanya lagi, membuat Hinata mengalihkan pandangannya dari televisi sebentar.
"Tentu saja. Aku akan bersiap setelah doramanya selesai."
Keadaan jadi canggung lagi. Terkadang, Sasuke merasa heran dengan hubungannya dan Hinata. Mereka bisa merasa sangat dekat tapi menjauh lagi entah karena apa. Bahkan, tadi pagi mereka sudah sama-sama bergairah tapi keadaan malah memutus mereka.
"Apa Matsuri baik-baik saja?" Hinata bertanya tanpa mengalihkan pandangannya.
"Tidak. Tentu ia merasa sakit, tapi dia sudah baikan. Dia memintaku pergi karena dia perlu waktu sendiri." Hinata menimpali seadanya. Matanya terlihat masih menatap televisi tapi yang sebenarnya ia sedang tidak fokus.
"Kak Neji memang berengsek." kata Hinata. "Bagaimana bisa ia melakukannya pada Matsuri? Dia sudah seperti adikku dulu."
"Menurutku perasaan mereka tidak salah." ucapan Sasuke membuat Hinata menatapnya. "Matsuri mencintai Neji, sedang Neji entah menyayangi Matsuri seperti apa. Itu tidak salah. Yang salah adalah ketika mereka melakukannya tanpa pertanggungjawaban. Apalagi kini ternyata mereka menyakiti Sakura."
Sasuke menunduk, ia menggigit bibir dalamnya sebentar. "Aku merasa bersalah karena membiarkan itu semua terjadi. Jelas aku tahu tentang hubungan Neji dan Matsuri tapi aku tidak menghentikannya."
Hinata menatap Sasuke. Mendengar ucapan pria itu, Hinata jadi ikut merasa bersalah. Padahal Sakura sudah seperti kakaknya sendiri. Hinata ingat saat ia yang masih duduk di bangku menengah sering bermain dengan Sakura yang jadi teman SMA Neji. Meski Hinata tahu Sakura sempat memanfaatkannya agar bisa dekat dengan Sasuke.
"Menurutmu, apa hubungan kita salah seperti Kak Neji dan Matsuri?" Sasuke menoleh pada Hinata. Ia tahu, perihal Neji dan Matsuri membuat Hinata ragu, sepertinya.
"Tidak?" Sasuke jadi ikutan ragu. "Aku menyukaimu, Hinata. Bukan, aku mencintaimu mungkin? Sejak dulu. Makanya, waktu Paman Hiashi memintaku untuk menikahimu, aku senang. Tentu saja, tapi..."
"Tapi?" Hinata menunggu Sasuke.
"Tapi aku tidak tahu tentang perasaanmu. Aku mencintaimu sampai aku tidak ingin menyakiti ataupun berbuat hal yang membuatmu tersakiti. Aku tidak ingin memaksamu."
Payah. Sasuke tahu, bukan saatnya mengungkapkan perasaannya di saat keadaan sedang begini.
"Kalau aku tidak ada rasa padamu, tidak mungkin aku memintamu menciumku dulu."
"Hn?"
Sasuke bukannya tidak mendengar, ia hanya meragukan pendengarannya.
"Aku juga mencintaimu... dulu? Entahlah, semuanya terasa memusingkan sekarang." Hinata berdecak sebal. Tidak seharusnya ia ikut-ikutan payah.
"Aku kira kita punya hubungan yang special, tapi saat masuk kuliah kau malah dekat dengan perempuan lain." Sasuke berpikir sebentar, perempuan lain siapa?
"Aku hanya dekat sebentar dengannya. Aku juga sudah menjauh dengannya saat kau mogok tidak ingin ikut studi lapangan."
"Hah?"
Sial, Sasuke keceplosan. Tuh kan, keadaan malah semakin canggung.
"Tapi kalian terlihat dekat di media sosial. Kau juga seperti menghindariku dulu. Aku kesal."
"Aku memang harus menghindarimu, Hinata."
"Kenapa?"
Fokus Hinata sudah benar-benar terlepas dari dorama favoritnya. Badannya menyamping, menatap Sasuke lekat-lekat.
"Aku mencintaimu. Tapi saat itu aku sudah dewasa, Hinata. Sedangkan kau masih duduk di bangku SMP. Aku tidak bisa bersamamu. Aku tidak boleh merusakmu. Kita harus menjauh karena kau belum mengerti."
"Tapi kau tidak perlu melakukannya. Kau berubah tanpa bicara apapun. Bagaimana bisa aku mengerti?"
Benar. Sasuke memang tidak pernah menjelaskan. Tidak ada yang menjelaskan pada Hinata remaja soal hubungan orang dewasa dan anak-anak. Semuanya hanya menganggap kalau perasaan Hinata pada Sasuke bagai ketergantungan adik pada kakaknya. Padahal, Hinata sudah punya Neji.
"Maaf, sepertinya aku memang salah." Sasuke menunduk, ia tidak berkata apa-apa lagi. Membuat Hinata menghembuskan napas kasar.
"Hah, sudahlah. Itu sudah berlalu. Aku tidak ingin merusak mood sebelum bekerja." Hinata berpaling sambil berdeham, tenggorokannya terasa kering.
"Apa kau ingin minum sirup, Hinata? Aku akan membuatkannya?" Hinata melirik Sasuke dari ekor matanya. Mungkin laki-laki itu ingin menebus kesalahannya.
"Ya."
Sasuke berdiri, ia pergi menyiapkan sirup untuk Hinata yang kembali fokus pada doramanya. Tanpa Hinata tahu, Sasuke pergi ke kamarnya sebentar. Lima menit kemudian, Sasuke kembali dengan segelas sirup berwarna merah yang diserahkan pada Hinata.
Hinata meihat penampilan Sasuke yang sedikit berubah. Kemeja biru muda Sasuke terlepas, ia hanya memakai kaos hitam. Celana jeans Sasuke juga sudah berganti dengan celana santai panjang. "Terima kasih." Hinata meraih gelas yang Sasuke sodorkan.
Hinata meminum beberapa teguk sirup yang dingin. Lalu, menaruhnya di atas meja. Lumayan, mendinginkan keadaan rumah yang memanas. Iya, mustinya minuman dingin itu mendinginkan tapi kenapa Hinata malah merasa panas?
Hinata bergerak dengan gusar. Duduknya tidak nyaman. Napasnya terdengar memberat dan tidak stabil. Pandangannya juga sedikit mengabur. Ia sudah tidak bisa mendengar dialog dorama yang sedang tayang. Badannya terasa gatal di beberapa bagian, apalagi di bagian bawah tubuhnya. Hinata menggigit bibir bawahnya. Sasuke masih berdiri di samping sofa sambil menatap Hinata lekat-lekat.
"Kenapa, Hinata? Kau tidak suka ramuan yang kau jual sendiri?" Hinata mendelik. Sasuke memasukkan obat perangsang?
"Apa yang kau lakukan?" Hinata bergeser hingga badannya mencapai ujung sofa ketika Sasuke berjalan mendekat.
Pria itu berhadapan dengan Hinata. Sebelah kakinya naik dan menekuk di atas sofa sedang kakinya yang lain masih menginjak lantai. Kedua tangan Sasuke bertumpu pada lengan sofa, mengurung Hinata yang sedang terengah.
"Membalasmu yang pernah merangsangku juga?"