Unwanted Bond (SasuHina) 15
by
acyanokouji
All Naruto's characters are belong to Masashi Kishimoto.
Saya cuma pinjem doang, kok. Selamat membaca.
Warning: Super OOC, gaje, typo(s), crack couple, bosenin, alkohol dan lemon!
.
.
Hanabi menoleh pada Hinata yang masuk ke rumah sambil menggerutu. Kakinya terhentak-hentak dengan keras. Hanabi sangat ingin menanyakan keadaan adiknya yang baru pulang dari Osaka. Namun, tiga hari ini mood-nya juga sedang tidak baik. Jadi, setelah memandang sekilas, Hanabi duduk di sofa ruang tengah dan memandang bosan ke arah televisi.
DUG DUG DUG
Hinata berjalan dengan suara hentakan kaki. Ia duduk di samping Hanabi setelah melepas jaket, tas, dan barangnya yang lain di dalam kamar. Hanabi bisa merasakan deru napas Hinata yang tidak stabil. Mengalihkan sebentar dari tayangan kartun di minggu pagi, Hanabi melirik Hinata yang bersidekap.
"Bad holiday?" tanya Hanabi. Hinata menoleh pada Hanabi yang meliriknya. Ia membuang napas sebal dan mengangguk keras.
"Bad weekend?" sekarang giliran Hanabi yang mengangguk. "Kenapa? Bukannya kau bisa bertemu dengan Daisuke Kambe?"
Hanabi menghela napas lelah. "Acaranya batal, Hinata."
"Apa? Kenapa?" Hinata menegakkan tubuhnya. Informasi tentang Daisuke Kambe tidak boleh terlewat.
"Ada terlalu banyak orang yang berkumpul di mall. Daisuke-kun jadinya hanya muncul selama sepuluh menit. Menyapa sebentar, berterima kasih, mempromosikan film terbarunya dan pergi." terang Hanabi.
"Oh," Hinata mengerjabkan matanya. "Salah event organizer-nya malah mengadakan acara di mall. Sudah tahu penggemar Daisuke Kambe itu banyak." Ia mencibir ketidak kompetenan pihak pengelenggara acara.
Hanabi magut-magut setuju. Masih untung ia ikut rombongan Sakura. Jadinya mereka bisa bersembunyi di belakang panggung dan tidak ikut berdesakan.
"Kau sendiri kenapa, Hinata? Kenapa terlihat tidak puas dengan liburan bulan madu-mu?" Hinata merengut mendengar pertanyaan disertai sindirian Hanabi.
"Tsk. Semuanya baik-baik saja kalau Sasuke tidak bertemu teman lama."
"Teman lama siapa?" Hanabi menyelidik.
"Adalah. Teman lama kesayangan Sasuke." Hinata mengutuk.
"Well, itu mungkin karma," kata Hanabi enteng.
"Karma apaan?"
"Gaara sempat memarahiku karena membiarkan kalian menginap di luar rumah." Hanabi merengut kesal mengingat kejadian kemarin. "Tapi aku jauh lebih kesal darinya karena gagal bertemu Daisuke-kun. Jadinya sekarang dia yang memohon padaku minta maaf."
Sadis. Hinata bergidik ngeri. Hanabi memang pandai membuat orang yang kesal padanya menjadi pihak yang merasa bersalah. Playing victim. Hinata harus menghindari pertikaian dengan Hanabi.
"Ada apa dengan wajah adik-adikku? Kenapa kalian cemberut begitu?" Neji muncul dari arah dapur. Ia membawa secangkir kopi panas dan duduk di sofa. Mengambil tempat di antara kedua adiknya.
"Kau sendiri? Kenapa kau terlihat senang sekali, Kak?" tanya Hinata. Wajah Neji memang terlihat lebih berseri-seri dibandingkan tiga hari sebelumnya.
"Berhasil baikan dengan Kak Sakura tuh." sahut Hanabi. Hinata terkejut. Kok bisa? Seperti dugaannya, Sakura Haruno terlalu baik.
"Kami mulai berteman kembali. Ingat, teman." Neji menegaskan. "Jangan berpikiran macam-macam. Aku sudah mengakui kesalahan dan berjanji akan memperbaiki diriku dulu."
"Baguslah." Hinata menimpali seadanya. Neji menoleh, ia bisa melihat wajah Hinata yang merengut sambil menatap tidak peduli ke arah televisi. Neji bingung. Hinata pulang liburan tapi kenapa wajahnya yang paling tidak bahagia?
"Hinata." Sasuke muncul dan memanggil Hinata. Neji menengok, ada sebuah koper kecil di samping Sasuke. "Kopermu. Aku harus merapikan barang."
Hinata berdecak sebal. Apa pentingnya sih? Ia berdiri dan melewati Sasuke untuk mencapai kamarnya. Ketika Hinata hendak menutup pintu kamar, Sasuke menahannya dengan satu lengan.
"Ada apa sih denganmu? Aku 'kan mengambilkan kopermu." kata Sasuke.
"Yasudah, taruh saja di depan pintu. Nanti aku ambil." Hinata menutup paksa pintu kamarnya. Menguncinya tanpa memberikan kesempatan bagi Sasuke untuk bicara lagi.
Sasuke mengalah. Ia akan membiarkan Hinata punya waktu dulu. Dengan berat hati, Sasuke pergi menuju kamarnya.
"Sasuke, kalian berdua kenapa?" tanya Neji saat Sasuke melewati ruang tengah. Ia memerhatikan wajah Sasuke yang sedikit membiru di pipi kirinya. "Wajahmu juga kenapa? Kau dipukul?"
"Bukan urusanmu." Sasuke berjalan lenggang menuju kamarnya.
Neji mengernyit tak suka. Ia berdecak dan menoleh pada Hanabi. Wajah adiknya yang itu juga masih kusut seperti jumat lalu. "Kau juga. Masih kesal karena acara jumpa penggemar itu?"
"Jangan menggangguku, Kak!" teriak Hanabi. Perempuan itu bangkit dan pergi ke luar rumah.
Neji menganga terkejut. Ada apa sih dengan semua orang di rumah ini? Apa cuma dia yang merasa bahagia? Kalaupun iya, mustinya ia tidak perlu dimarahi begitu, 'kan?
.
.
Hinata bersikap ketus lagi pada Sasuke. Selama sebulan ini Sasuke bingung sendiri. Wanitanya lagi-lagi susah ditemui. Hinata akan pulang setelah Sasuke berangkat kerja atau Hinata akan pergi ke club sebelum Sasuke pulang kerja. Bahkan selama weekend Hinata bisa tidak pulang. Terkutuklah siapapun yang membelikan Hinata kasur di ruangan kerjanya.
"Hachuuu!!"
Ino mengusap hidungnya yang gatal. Aneh sekali tiba-tiba bersin padahal tidak ada debu.
"Hinata, kau serius tidak akan pulang? Ini hari jumat," kata Ino. Ia menoleh pada Hinata yang sedang membantunya merapikan botol-botol bir ke dalam rak penyimpanan.
"Aku akan pulang kalau sudah selesai membantumu."
"Bo-bos, maafkan aku. Aku jadi merasa kurang membantu." seorang pemuda berambut merah dengan anting-anting menunduk. Hinata tersenyum pada pegawainya itu.
Hinata menggeleng pelan. "Tidak papa, Tanjiro. Aku memang sedang banyak waktu luang saja."
Ino dan pemuda bernama Tanjiro berpandangan. Sebenarnya yang memberi ide untuk beres-beres ruang penyimpanan adalah Hinata sendiri. Padahal stok bir tersebut baru datang pagi tadi.
Di tengah kekhawatiran para pekerja club, gawai Hinata berdering sekali. Hinata menaruh kembali botol yang ia ambil dari kardus. Ia membaca pesan yang masuk dan terdiam sebentar. Setelahnya Hinata berdiri dari kursi dan memasukkan gawainya ke dalam tas selempang yang ia taruh di dekatnya.
"Ino, Tanjiro, maaf aku harus pergi. Kalau kalian lelah, kalian bisa hentikan dulu beres-beresnya. Nanti kita lanjutkan besok." Ino dan Tanjiro, mereka mengangguk pada Hinata yang berjalan menuju arah pintu. Setelah pintu tertutup, Ino dan Tanjiro kembali berpandangan.
"Akhirnyaaaa~"
Suara lonceng terdengar bersamaan dengan Hinata yang mendorong pintu kaca. Ia menegok-negok sebentar. Begitu menemukan surai coklat yang dicarinya, ia berjalan lurus dan duduk di kursi dekat jendela.
"Hei," sapa si pria. "Maaf memintamu bertemu di sini."
"Kau bolos kerja, Kiba?" Kiba tersenyum miris.
"Maaf, Hinata. Aku tidak enak badan." alibi Kiba.
"Kau tidak mengabariku sejak dua hari lalu bolos kerja. Tanjiro jadi harus bantu mengatur stok." Hinata mengeluh. Ia cemberut sebentar. "Kau sakit apa, Kiba?" tanya Hinata, lalu ia membuka buku menu.
"Hanya masuk angin kurasa. Kau tidak perlu khawatir, Bos." Kiba tersenyum. "Menurutku kondisimu lebih menghawatirkan." Kiba menatap khawatir pada Hinata. Perempuan itu memiliki kantung mata yang lebih tebal, hampir menyusul seorang kenalan Hanabi.
"Ya, aku kurang tidur." Hinata menutup buku menu. "Dan... lapar..."
Kiba terkekeh melihat wajah serius Hinata yang mengacungkan telunjuk ke dirinya sendiri. Perempuan itu memanggil pelayan untuk memesan. "Kau tidak ingin pesan juga, Kiba?" Hinata melirik meja yang masih kosong.
"Tidak. Aku baik-baik saja." Hinata mengedikkan bahu. Ia memberitahu pelayan pesanannya dan menoleh ke arah kaca.
"Aku rasa kau benar, Hinata." perkataan Kiba membuat Hinata menoleh. "Kalau kau tidak keberatan, aku mau jadi manajer cabang di Okinawa."
Hinata sedikit membulatkan matanya. "Benarkah?" alis Hinata naik sedikit. "Kenapa?"
"Kau yang menawariku untuk naik jabatan, 'kan? Aku sudah bicara pada Hidan dan rekan di Okinawa. Mereka menungguku, aku akan berangkat besok pagi." Hinata menolehkan tatapannya sebentar.
"Kau benar. Aku mustinya lebih pengertian dan paham keadaan lagi." tangan Kiba mengepal di bawah meja. "Sepertinya kita memang harus jaga jarak."
Hinata masih diam, selang sepuluh detik ia baru bicara. "Terima kasih," katanya. "Terima kasih sudah mengerti keadaanku, Kiba. Kau memang sahabatku yang terbaik."
Kiba menggigit bibir dalamnya dan tersenyum. "Apa kau baik-baik saja, Hinata?"
Hinata mengernyit. "Kau berpikir aku tidak akan baik-baik saja kalau kau pergi?"
Kiba terkekeh lagi, kali ini lebih singkat. Kuharap memang begitu.
"Aku yakin kau akan baik-baik saja tanpa aku, Hinata. Atau tanpa siapapun. Kau perempuan yang kuat." Kiba tersenyum meyakinkan. "Maksudku... Apa kau dan Sasuke baik-baik saja? Kau terlihat kacau akhir-akhir ini."
"Oh." Hinata mengangkat alis. Ia mengalihkan pandangannya lagi sekilas. "Ya, kami baik."
Kiba mengulas senyum. Ia meraih tangan Hinata yang ada di atas meja, bersamaan dengan melintasnya tiga orang pria di luar jendela. "Kau tahu, kapan pun kau merasa tersakiti lagi, kau bisa memanggilku. Semaumu. Aku akan selalu menunggumu."
Sebelum Hinata bicara lagi, Kiba bangkit. Kursi yang didudukinya sedikit terdorong dan menghasilkan suara kecil. "Selamat menikmati brunch-mu, Hinata." Kiba mengelus puncak kepala Hinata. Membuat rambut Hinata sedikit berantakan.
Kiba tersenyum lagi, hingga matanya tak terlihat. Ia pun melangkah ke luar kafe.
Sayonara.