Unwanted Bond (SasuHina) 17
by
acyanokouji
All Naruto's characters are belong to Masashi Kishimoto.
Saya cuma pinjem doang, kok. Selamat membaca.
Warning: Super OOC, gaje, typo(s), crack couple, bosenin, alkohol dan lemon!
.
.
Seperti kata pepatah. Badai pasti berlalu –lalang. Keluarga Hyuuga kembali berkumpul di ruang tamu. Kali ini, Hinata yang meminta semuanya berkumpul. Ia meminta izin untuk pergi ke Okinawa selama seminggu. Hinata harus menjenguk Kiba dan mengontrol club-nya.
"Demi Tuhan, waktunya sisa seminggu lagi, Hinata! Tidak bisa kau diam saja di rumah?!" Hanabi menggerutu. Mereka sudah hampir berhasil melalui syarat yang ayahnya ajukan untuk memenuhi wasiat ayahnya. Kenapa Hinata suka sekali pergi dari rumah sih?
"Hinata, kenapa kau kukuh ingin pergi ke Okinawa di musim dingin begini?" Neji bertanya dengan tenang.
"Aku sudah bilang, aku harus menjenguk temanku yang sakit dan mengontrol club-ku," terang Hinata. "Bagiku, semuanya percuma kalau usahaku di Okinawa bangkrut."
"Tapi, apa yang harus kita katakan pada Gaara Sabaku? Kau terlalu sering pergi, Hinata." Hinata berdecih mendengar ucapan Neji.
Ia baru pergi dua kali, itu pun karena Sasuke. Kali ini, dia hanya meminta untuk alasan yang benar-benar serius. Oh, mungkin Hinata lupa kalau selama agustus lalu ia sering tidur di club setiap weekend –saat ia dan Sasuke terbakar amarah.
"Mungkin kau tidak peduli, tapi syarat ini berarti untukku dan Kak Neji, Hinata." Hanabi menghela napas kesal. "Oh, itu juga penting demi kelangsungan posisi tunanganmu."
Hanabi menatap Sasuke yang sedari tadi diam saja. Pria itu menunjukkan raut wajah dingin. Tatapannya terkunci pada Hinata seorang. Setelah ucapan Hanabi, kini Sasuke menjadi pusat perhatian.
"Aku tidak ingin ikut campur. Sejak awal aku tidak diakui di keluarga ini, 'kan?" Sasuke bangkit berdiri. Ia berjalan menuju kamarnya.
Putra-putri Hyuuga mengernyit tidak mengerti. Kenapa Sasuke tiba-tiba bersikap begitu? Hanabi dan Neji bertukar pandangan. Bertanya-tanya, sedang bungsu Hyuuga sudah pergi menyusul Sasuke.
"Kau kenapa, Sasuke? Kenapa tidak membelaku di depan Kak Neji dan Hanabi?" Hinata nyelonong masuk ke dalam kamar Sasuke yang tidak terkunci. Pria jangkung itu memunggunginya.
"Aku?" samar terdengar suara Sasuke. "Aku atau kau, Hinata?"
Sasuke berbalik. Rahangnya mengeras, raut wajahnya menatap tajam pada Hinata. "Hubungan kita sudah baik-baik saja. Si anjing itu sudah memutuskan untuk pergi. Lalu, kenapa kau kalang kabut hanya karena dia sakau? Yang sudah jelas itu resikonya sendiri!"
Sasuke meninggikan suaranya. Jelas sekali ia sangat kesal pada Hinata dan sahabatnya yang bernama Kiba. Sudah Sasuke duga, persahabatan antara perempuan dan laki-laki itu memang tidak mungkin.
"Temanku sedang sekarat, Sasuke! Dia kesakitan dan kau masih saja cemburu?" Hinata bersidekap. "Kau tidak dewasa!"
"Tentu. Aku lagi yang salah. Aku yang bertanggung jawab atas sikap kekanakkanmu?"
"Kau menyebutku kekanakan lagi?!" Hinata menatap nyalang ke arah Sasuke. Alisnya menekuk tajam tidak terima.
"Demi Tuhan!" Sasuke menjambak rambutnya sendiri, frustrasi. "Aku bertanya-tanya, pernahkah kau mencintaiku, Hinata?"
"Of course I did." Hinata menjawab dengan cepat.
"You did?" Sasuke melepaskan jambakan pada rambutnya. Ia maju, mendekat pada Hinata. Perempuan itu melepaskan lipatan tangannya.
"Kalau begitu, bisakah kau melupakan Kiba dan hanya peduli padaku, Hinata?" Sasuke sedikit menunduk. Ia membelai sebelah pipi Hinata. Menatap sendu pada kasihnya.
"Aku..." Hinata menggigit dinding dalam mulutnya. "tidak bisa. Kiba adalah sahabatku yang berharga. Aku peduli padanya."
Sasuke tersenyum kecut. Ia melepaskan belaiannya di pipi Hinata. Sasuke mundur satu langkah. "Kalau begitu, pergilah. Aku mengalah. Apapun keputusanmu nanti, kau yang putuskan. Aku akan menerimanya."
Sasuke berbalik, ia memunggungi Hinata. Kepalanya menunduk dengan mata terpejam. Kali ini, giliran Sasuke yang berharap. Ia butuh Hinata bergerak ke arahnya, memeluknya dan berkata akan memilih di sisinya. Atau cukup Hinata yang merayunya untuk meminta izin lagi. Itu saja, cukup Hinata menghampirinya saja.
Tapi, Hinata tidak datang padanya. Sasuke mendengar suara pintu yang tertutup dan langkah kaki yang menjauh. Setelah suara langkah kaki itu kian terdengar samar, kedua tangan Sasuke terkepal. Badannya bergetar dan tanpa sadar ia mulai menangis.
.
.
Hinata pergi ke Okinawa. Tidak sendiri. Untuk mendapatkan izin, ia pergi bersama kedua kakaknya. Sedangkan Sasuke memilih tidak ikut. Pria itu beralasan sedang sibuk di pabrik. Neji dan Hanabi juga awalnya masih menentang sampai malam hari. Namun, seketika ucapan Hinata cukup menyentuh mereka berdua, membuat keadaan berubah.
"Anggap saja ini kesempatan kalian bisa mengunjungi makam ibu."
Benar. Neji dan Hanabi sadar. Selama ini mereka mendoakan mendiang ibu mereka dari Tokyo, melalui perantara. Sedang Hinata si bungsu yang kabur, setia berkunjung ke makam ibunda di Okinawa. Sekali ini saja, mereka bertiga akan menyelesaikan masalah Hyuuga.
"Ini adalah rumah Paman Hamura Otsutsuki, saudara jauh ibu." Hinata menggiring kedua saudaranya ke depan rumah sederhana yang memiliki pagar rendah. "Masuklah, aku yakin beliau akan menyambut kalian dengan baik."
Hanabi memerhatikan sekeliling. Deretan rumah yang ada sangatlah sederhana. Berbeda dengan pusat kota, rumah Hamura Otsutsuki dan tetangganya adalah gambaran rumah-rumah masyarakat golongan menengah ke bawah. Memang ia dan Neji belum pernah mengunjungi Hinata saat adiknya masih di Okinawa. Tapi, dilihat dari gaya hidup dan usaha miliknya, bukankah seharusnya Hinata memiliki kehidupan glamor?
"Hinata?" seorang pria muncul saat putra-putri Hyuuga berdiri di depan pintu. Pria itu berambut putih seluruhnya, mungkin karena sudah usia?
"Toneri!" Hinata menghambur ke dalam pelukan pria tersebut. Hanabi dan Neji bertanya-tanya dalam hati. Hinata memanggilnya dengan santai, tidak sopan!
"Bagaimana kabarmu di Tokyo?" Toneri mengelus-elus punggung Hinata. Yang ditanya melepaskan pelukannya. "Sehat." Hinata melirik Neji dan Hanabi. "Kedua saudara kandungku memastikan aku makan dengan benar."
Entah pujian, entah ejekan. Hanabi tidak suka mendengarnya, apalagi pada orang asing di depan mereka.
"Oh, kau pasti Neji Hyuuga, ya?" Toneri menatap Neji. "Ini sudah lama sekali sejak kita bertemu. Aku sepupumu. Usia kita hanya beda setahun. Namaku Toneri Otsutsuki."
"Dan kau pasti Hanabi Hyuuga," Toneri beralih menatap Hanabi. "Kembaran Hinata. Kau lebih mirip dengan Neji, ya? Aku hanya sempat melihatmu saat kau umur dua bulan."
Toneri tersenyum ramah pada kedua sepupu jauhnya. Wajar saja Neji dan Hanabi menatapnya bingung. Mereka hanya pernah bertemu sekali dan hubungan keluarga mereka juga tidak terlalu dekat.
Satu tahun lebih tua dariku? Atau lebih muda? Tapi rambutnya...
"Toneri, ada apa?" seorang pria paruh baya muncul dari dalam rumah. Pria itu berambut putih panjang dengan beberapa keriput di wajahnya. Oh, mungkin genetik.
"Selamat siang, Tuan Hamura Otsutsuki. Maaf mengganggu Anda. Saya Neji Hyuuga." Neji membungkuk hormat, posisi bungkukannya tepat sembilan puluh derajat.
"Paman Hamura!" lain dengan Neji, Hinata menghambur ke dalam pelukan Hamura. Persis seperti ia berpelukan dengan Toneri. Neji sweatdrop, untuk apa ia menjunjung tata krama?
"Oh, Hinata sudah datang?" Hamura mengelus-elus rambut Hinata, ponakannya. Lalu, pelukan tersebut terlepas. Hamura bergeser, memberikan ruang untuk para tamunya lewat.
"Tidak perlu formal begitu. Hinata sudah mengabari kalau kalian akan berkunjung. Silakan masuk." Hamura mengizinkan putra-putri Hyuuga untuk masuk ke ruang tamu. Mereka berempat duduk di atas sofa. Hamura meminta anak semata wayangnya, Toneri, untuk menyajikan minuman.
"Maaf, Paman Hamura. Ingatan saya pada keluarga ibu terasa samar-samar. Jadi, saya tidak bisa mengingat paman dengan baik." kata Neji. Hamura hanya tersenyum mendengarnya.
"Tidak papa. Itu sudah di masa lalu. Kami sudah mengatakannya juga pada Hinata saat ia tinggal bersama kami. Kalian tidak bersalah, dan kalian akan tetap kami anggap sebagai saudara."
Neji terenyuh mendengarnya. Entah apa masalah ayahnya dengan saudara ibunya, ia tidak tahu dan tidak ingin tahu. Kedua orang tuanya sudah meninggal. Yang lalu, biarlah berlalu, 'kan?
"Terima kasih banyak, Paman. Maaf kalau selama ini Hinata merepotkan." Hinata menatap sebal pada Neji. "Saya juga minta maaf karena selama seminggu kami bertiga akan mengganggu di rumah paman."
"Eh? Aku tidak ikut." kata Hinata. Neji dan Hanabi menoleh pada adiknya.
"Apa maksudnya? Kami di sini menemanimu, Hinata." tegas Neji. Hanabi mengangguk setuju.
"Aku bilang, kalian akan mengunjungi makam ibu dan tinggal bersama Paman Hamura. Kalian berdua, tidak termasuk aku. Aku punya urusan sendiri di sini." Hinata berucap dengan lenggang.
"Lalu, kau akan tinggal di mana, Hinata?"
"Aku akan ke Sapporo. Rumahku di sana." Hinata mengedikkan bahu. Perempatan siku-siku tercetak jelas di dahi kedua saudaranya, utamanya Hanabi yang merasa dikhianati.
"Mustinya kau bilang dari awal, sialan!!"
Hanabi berteriak karena kesal. Suaranya memenuhi isi rumah, sampai-sampai Toneri hampir menjatuhkan nampan yang kini sudah ada di kedua tangannya.
.
.
Seperti yang Hinata bilang, ia pergi ke Sapporo. Pusat kota di Hokkaido, tempat rumah dan club-nya berada. Tujuan utama Hinata ke Okinawa adalah karena mendapatkan laporan dari Hidan. Club-nya habis kena inspeksi. Polisi sialan, andai ia punya kenalan aparat seperti di Tokyo.
"Yah, mereka sempat datang dan menggeledah. Motifnya karena ada orang sakau tepat di samping club kita." Hidan menyajikan segelas minuman dingin pada Hinata. Kini mereka sedang berkumpul di club yang masih tutup.
"Untunglah ada karyawan yang melihat kedatangan para polisi. Aku menyembunyikan semua barang kita dengan baik kok." lanjut Hidan. Hinata mengangguk mengerti. Ia menatap Hidan, Konan, dan Sasori bergantian. Mereka bertiga adalah karyawan kepercayaannya. Tidak, keluarganya di Okinawa.
"Kau memang bisa mengatur bisnis dengan baik, Hidan!" puji Hinata. Konan dan Sasori menatap Hidan yang terkejut. Pria itu diam-diam tersenyum senang. "Mungkin aku hanya terlalu khawatir."
Hinata mengambil napas. Bisnisnya baik-baik saja. "Kiba... bagimana keadaannya? Dia di mana sekarang?"
Hidan, Sasori, dan Konan saling bertatapan. Sebagai yang tertua, Hidan kembali bicara. "Di apartemennya. Dia mengurung diri sejak minggu lalu. Dia hanya menghubungi untuk minta beberapa obat. Aku tahu, dia sedang sakau."
"Anak itu, padahal dia datang sambil berlagak jadi manajer cabang!" komentar Sasori.
"Hinata," Konan menyentuh tangan Hinata yang duduk di sampingnya. "Temuilah dia. Bicaralah dengannya untuk pergi berobat. Kecanduannya sudah terlalu berlebihan."
Hinata menatap Konan. Wajah perempuan itu penuh khawatir. Sorenya, Hinata pergi ke apartemen Kiba. Berkali-kali ia membunyikan bel dan memanggil-manggil, tetap saja tidak ada sahutan. Hinata berdecak sebal. Ia menatap layar pengunci. Iseng, ia memasukkan empat angka. '0702'. Mata Hinata membola, pintu apartemen terbuka.
Mengabaikan rasa kagetnya, Hinata masuk ke dalam apartemen Kiba. "Kiba, kau di sini?" Hinata berjalan sampai ruang tengah. Ia melihat seseorang sedang meringkuk di atas sofa.
"Hei, kau Kiba?" Hinata berdiri di samping sofa. Ia menyentuh bahu orang tersebut. Selanjutnya mata Hinata membola lagi. Ia terkejut melihat penampilan Kiba.
Kiba terlihat jauh lebih kurus dari lima bulan lalu. Lingkaran hitam timbul di kedua bawah matanya yang sayu. Wajahnya pucat dan semakin tirus.
"Kau... tidak apa-apa?" Hinata bertanya dengan ragu. Kiba mendudukkan dirinya. Ia bertanya-tanya, kenapa Hinata bisa masuk ke apartemennya?
Kemudian, Kiba tersenyum. Otaknya menerka untuk memenuhi imajinasinya. "Tidak. Aku tidak baik," kata Kiba.
"Aku sakau, Hinata." Kiba menyentuh tangan Hinata yang masih berdiri. "Apa kau membawakan obat dari Hidan?"
Hinata menggeleng, ia menarik tangannya. "Sudah cukup, Kiba. Kau perlu berobat. Kumohon, ikutlah rehab."
Kiba menunduk, ia kecewa karena Hinata menarik tangannya. "Tidak bisa, Hinata. Aku perlu obat."
"Aku perlu obat agar aku lupa." Kiba menyentuh dada kirinya. "Aku lebih memilih tidak sadar dalam pengaruh obat daripada aku terbangun tanpamu, Hinata. Aku memang pecundang. Aku tersiksa tapi aku terus menuruti perintahmu. Memang benar, aku hanya anjing yang jatuh cinta pada tuannya."
Hinata membelalak. Apa ia menyakiti Kiba sampai sebegitu dalamnya? Bukankah, ia sudah mengatakannya dengan jelas? Bukankah, harusnya Kiba mengerti?
"Kiba..."
"Bisakah... kita melupakan Tokyo dan kembali hidup di Okinawa saja, Hinata?" Kiba memotong ucapan Hinata, sebelum ucapan perempuan itu kembali membuat dadanya sakit.
"Bisakah... kau pergi dari Uchiha Sasuke lagi dan memilihku?"
Kiba meraih tangan Hinata lagi. Ia memejamkan mata sembari mengecupnya. Menikmati momennya dengan Hinata.
"Tidak." lagi-lagi Hinata menarik tangannya. "Sejak awal aku adalah miliknya. Keluargaku di Tokyo, Kiba. Kau tahu itu."
Kiba tersenyum dengan mata yang berkaca-kaca. "Kalau begitu, mungkin lebih baik kau biarkan aku sekarat sampai mati, Hinata." Kiba beringsut, hendak kembali meringkuk.
"Tidak." Hinata menahan Kiba, kini ia berjongkok. "Kau adalah sahabatku, rekan bisnisku. Kau juga salah satu orang paling berharga untukku, Kiba. Aku tidak bisa membiarkanmu terus-terusan begini. Kumohon, bangkitlah, Kiba."
Sesak. Dada Kiba tercubit melihat Hinata yang mulai menangis. "Aku tidak bisa kalau harus di dekatmu, Hinata."
"Tapi aku tidak bisa melihatmu terus begini." Hinata membingkai sebelah pipi Kiba, menatap dalam pada mata sahabatnya. Ia mengelusnya setelah Kiba mulai ikut menangis.
"Maafkan aku. Aku menyakitimu. Maafkan aku sudah jadi egois. Maaf. Kau boleh pergi kalau itu membuatmu lebih baik. Tapi kumohon, berobatlah untukku, Kiba."
Kiba menatap iris amethys yang melembut. Lagi-lagi begini. Hanya karena tatapan ini. Sebab wajah itulah, Kiba melihat cahaya samar dalam hidupnya.
"Bodoh! Kau memang bos terburuk!" Kiba menarik Hinata ke dalam dekapannya. Tangis mereka sudah tidak terbendung. Sore itu mereka menumpahkan penyesalannya masing-masing.
.
.
Suasananya sangat tegang. Tiga pasang mata menatap Hinata lekat-lekat. Mata jade yang paling menantikan ucapannya. Hinata menelan ludahnya. Kedua tangannya terkepal dengan erat. Ia membuang napas dan bicara dengan tegas.
"Aku tidak akan menikahi Sasuke Uchiha."