Chereads / UNWANTED BOND [SASUHINA | 21+] / Chapter 14 - Unwanted Bond SasuHina 14

Chapter 14 - Unwanted Bond SasuHina 14

Unwanted Bond (SasuHina) 14

by

acyanokouji

All Naruto's characters are belong to Masashi Kishimoto.

Saya cuma pinjem doang, kok. Selamat membaca.

Warning: Super OOC, gaje, typo(s), crack couple, bosenin, alkohol dan lemon!

.

.

Hanabi memandang sengit pada Hinata dan Sasuke. Kini putra-putri Hyuuga plus Sasuke sedang berkumpul duduk di ruang tamu. Di senin sore, Sasuke meminta kehadiran kakak-kakak Hinata untuk izin mengajak adiknya berlibur ke Osaka.

"Aku sih tidak keberatan. Tapi Sabaku-san rencananya mau datang hari sabtu nanti. Aku tidak ingin disalahkan kalau dia marah." Neji mengedikkan bahu dengan santainya. "Coba rayu saja pacarnya," lanjut Neji sebelum ia bangkit dan pergi ke dapur untuk mengambil makanan. Perutnya sudah perih karena melewatkan makan siang.

"Tidak." Hanabi menolak sebelum Hinata ataupun Sasuke bicara.

"Enak saja kalian minta aku merayu Gaara untuk kesenangan kalian sendiri." Hanabi bersidekap.

Hinata mengernyit. "Kalian 'kan pasangan, wajar kalau saling merayu," kata Hinata enteng.

"Aku merayu Gaara karena aku ingin merayunya. Bukan tekanan dari orang lain." Hanabi mengangkat tangan kanannya setinggi dada. "Lagian, kalau menginap berduaan di luar rumah itu zina."

"Pft." Hinata menahan tawanya. "Hanabi, kau sudah mulai percaya suatu agama?"

Hanabi berdecak, ia cuma pernah ikut kelas seminar Profesor Gyomei Himejima saja. "Intinya aku tidak mau kalau tidak ada untungnya untukku," tegas Hanabi.

"Dengar 'kan, Sasuke? Itu berarti kita tidak jadi berlibur. Aku akan pergi ke acara jumpa penggemar Daisuke Kambe saja." Sasuke mendelik kesal pada Hinata. Kenapa Hinata cepat menyerah begitu? Apa perlu Sasuke 'makan' dulu seperti tadi pagi?

Hanabi magut-magut, tapi tiba-tiba ia membelalak. "Tunggu, kau bicara apa tadi, Hinata?"

"Acara jumpa penggemar Daisuke Kambe?!" Hanabi menjerit histeris. "Kau punya tiketnya? Bagaimana bisa?!"

Hinata mengangkat bahu, pamer. "Kak Sakura yang mengajakku."

Hanabi berdecak lagi. Tidak adil.

"Nah, Hanabi, kalau kau mau bantu bicara pada Gaara Sabaku, aku akan bicara juga pada Sakura untuk mengajakmu pergi." sekarang gantian Hinata yang melotot pada Sasuke. Apaan? Yang diajak Sakura kan dia.

Mengabaikan tatapan Hinata padanya, Sasuke berdiri dan mengulurkan tangan ke arah Hanabi. Mengajaknya berjabat tangan.

"Oke, deal!" Hanabi ikut berdiri, ia menjabat tangan Sasuke secepat yang ia bisa.

"Apaan?!" Hinata juga berdiri dengan kesal. "Kak Sakura itu mengajakku. Tidak bisa sembarangan digantikan!"

Hanabi dan Sasuke menggoyangkan tangan mereka, seperti mengikat kesepakatan. Hinata menggerutu kesal karena diabaikan.

"Benar, itu tidak adil." Neji muncul dengan nampan berisi semangkuk sup, nasi, dan segelas teh hangat. Ia menaruh nampan tersebut di atas meja tamu sebelum ikut berkumpul. "Baru deal kalau aku ikut dengan Hanabi juga."

"Kak Neji!!!"

Oh, Neji tahu sekarang. Ternyata semalam dia tidak bermimpi.

.

.

"Selamat datang di Osaka! Salah satu tempat berlibur terbaik di Jepang. Tempat yang cocok untuk liburan keluarga," apalagi liburan berbulan madu, hihi. Oke, itu Hinata yang meneruskan ucapan pemandu wisata di dalam hatinya. Entahlah, tiba-tiba saja dia lupa dengan kekesalannya karena gagal bertemu sang idola.

"Hinata, nanti kita rental mobil saja, ya. Supaya mudah pergi ke mana-mana." Hinata mengangguk pada Sasuke begitu mereka keluar bandara. Ini liburan pertama mereka sebagai pasangan, dan sebagai –calon- istri yang penurut, Hinata manut-manut saja pada –calon- imam.

"Kita serius akan menginap di hotel ini?" tanya Hinata. Ia ragu masuk kamar hotel bersama Sasuke, padahal mereka sudah ada di depan pintu kamar. Oke, sekarang Hinata kesal lagi.

"Memangnya kenapa?"

"Ini tidak se-fancy yang aku bayangkan." Hinata menyesal tapi ujung-ujungnya ia nyelonong masuk ke dalam kamar duluan. Sasuke tersenyum pasrah mendengarnya. Namanya Hinata Hyuuga, pemilik club di Okinawa. Jadi, wajar saja dia lebih suka barang-barang mewah bergaya modern dibandingkan hotel bergaya Jepang.

Sasuke masuk ke dalam kamar. Ia menutup pintu dan melihat Hinata yang celingkukan saat berbalik. "Kita bisa pindah hotel besok, kalau kau tidak betah."

Hinata mendengus. "Tidak usah." Ia menaruh tas selempang ke atas meja kayu berkaki rendah. Kemudian ia duduk bersimpuh dan memandang ke arah futon yang beralaskan tatami. "Rasanya seperti bulan madu ala orang tuaku," Hinata berbisik pelan dan terkikik.

Sasuke tersenyum. Setelah menaruh koper di pojokan, ia mendekat dan memeluk Hinata dari belakang. Sasuke yang awalnya berjongkok kini ikut duduk bersimpuh tanpa melepaskan pelukannya pada Hinata.

"Kenapa ya, rasanya aku selalu rindu walaupun tiap hari memelukmu?" Hinata menyikut pelan perut Sasuke yang ada di belakangnya.

"Sasu, sekarang jam berapa?" tanya Hinata.

"Hm..." Sasuke berpikir, "jam lima sore?"

"Tuh, 'kan. Masih lebih dari dua puluh empat jam sebelum acara puncak kembang apinya." Hinata merengut. "Kita berangkat besok juga pasti masih sempat."

"Tidak mau. Nanti kau sibuk bergosip dengan Sakura dan semalaman kerja di club-mu." Sasuke mengeratkan pelukannya pada Hinata. "Aku ingin berduaan tanpa takut ada yang mengintip. Di sini, memelukmu."

"Lalu?"

"Hn?"

"Tidak mungkin 'kan kita berpelukan selama dua puluh empat jam?" Sasuke menyeringai. Hinata nakal.

Sasuke menenggelamkan kepalanya di perpotongan leher Hinata. Menghirup aroma Hinata dan sengaja bernapas dengan kasar.

"Sasuke?"

"Kita bisa makan nanti. Bisa tidur, atau bisa mandi... bareng?"

"Sasuke!!!"

Keesokan harinya, Hinata dan Sasuke sudah bersiap sejak jam lima sore. Padahal, acara puncak baru akan dimulai jam delapan malam. Sasuke menunggu Hinata yang masih di kamar mandi. Laki-laki itu memakai yukata berwarna biru gelap bergaris-garis hitam. Sambil membenarkan letak obi, Sasuke berbalik ketika mendengar pintu kamar mandi yang terbuka.

"Bagaimana?" Hinata keluar dengan setelan yukata berwarna biru gelap juga –tapi setingkat lebih cerah dari milik Sasuke-. Yukatanya memiliki motif bunga dengan obi berwarna hitam pekat. Yang paling membuat pangling, rambut Hinata digelung dan disemati kanzashi bunga biru muda.

Wow. Sasuke menjawab melalui sorot matanya yang memuja. Cantik sekali. Sasuke mematung. Ia terus-terusan bicara dalam hati tapi yang Hinata lihat hanyalah Sasuke dengan kedua mata membulat.

"Sasuke? Sasuke?!"

"Hn?" Sasuke tersadar dari pemikirannya.

"Kenapa diam saja? Apa tidak cocok?" Hinata menunduk. Mungkin dia sudah kelamaan pakai mini dress.

"Tidak."

Tuh, 'kan.

"Maksudku, kau tidak tidak cocok." Sasuke meluruskan, seperti bisa membaca pikiran. "Kau cocok memakainya, Hinata."

"Benarkah?" Hinata memalingkan wajah, malu.

"Iya. Hinata, kemarilah."

Hinata bergerak sesuai arahan Sasuke. Tepat saat ia berada di hadapan Sasuke, tangan kanan Sasuke membingkai pipi kirinya. "Kau cantik, Hinata." Sasuke membelai-belai pipi kasihnya. Tanpa memutus pandangan, Sasuke memajukan wajahnya. Perlahan kelopak mata keduanya tertutup bersamaan dengan bibir mereka yang bersatu.

"Kita musti pergi, Sasuke." Hinata berkata pelan setelah ciuman mereka berakhir.

"Kenapa?" Sasuke melingkarkan kedua lengannya di perut Hinata. "Acaranya masih tiga jam lagi."

"Nanti kita terlambat. Banyak yang mau kau coba, 'kan?" Hinata bergerak, mencoba terlepas dari pelukan Sasuke.

"Tidak papa." Sasuke mengabaikan peringatan Hinata. Ia semakin menarik Hinata ke arahnya.

"Sasuke!!"

Lagi, Hinata teriak lagi ketika Sasuke menarik obi yukatanya.

.

.

"Ini semua salahmu!" Hinata menggerutu kecil sebelum turun dari mobil. Sasuke menghela napas dan segera menyusul Hinata yang sudah mulai masuk ke dalam kerumunan orang-orang.

"Hinata. Hei, tunggu!" Sasuke menangkap lengan Hinata. Perempuan itu menoleh sambil merengut.

"Kita belum terlambat. Lihat, orang-orang masih banyak yang beli jajanan kaki lima." Sasuke mengarahkan pandangan pada deretan kios-kios yang dibuka.

"Tetap saja. Kita jadi tidak bisa melihat ke tepi sungai."

Benar. Sasuke merasa bersalah. Tapi, Hinata juga menikmati waktu mereka tadi, 'kan? oke, lupakan. Waktunya memperbaiki masalah saja.

"Oke. Maaf, ini salahku. Sekarang, kau mau berhimpitan di sepanjang sungai atau kita beli jajanan saja dan melihat dari tempat yang lebih tinggi? Hm?"

Hinata menghela napas. Ia kesal tapi masih ingin menikmati acara. Sambil membetulkan yukatanya yang sedikit kusut, Hinata akhirnya mengalah.

"Aku mau beli takoyaki, dango, taiyaki, dan matcha dingin."

Sasuke tersenyum. Akhirnya Hinata luluh juga. Sasuke meraih tangan Hinata ke dalam genggamannya. "Tentu, Tuan Putri. Apapun yang Anda inginkan," sahut Sasuke. Selanjutnya mereka berjalan berdampingan menuju kios-kios kaki lima.

Hinata menatap kios penjual ikan-ikan kecil sambil menunggu taiyaki matang. "Aku mau coba ikut main itu juga, Sasu." kata Hinata.

Sasuke terkekeh. Ia seperti menjaga anak kecil. Meskipun benar Hinata tampak mini tanpa high heels kebanggaannya. "Ini." Sasuke memberikan selembar uang pada Hinata dengan susah payah. Bagaimana tidak? Kedua tangannya penuh dengan sebungkus takoyaki, sebungkus okonamiyaki, tiga tusuk dango dan dua gelas matcha dingin.

"Hati-hati, jangan mengotori bajumu seperti tadi, Nata."

Sasuke terkekeh lagi melihat Hinata merengut. Ia masih berdiri di depan kios taiyaki. Di kios sebelah Hinata terlihat sedang kesusahan menangkap ikan bersama bocah laki-laki yang bermain di waktu bersamaan. Gemas sekali, padahal Hinata sudah mau berumur dua puluh empat tahun.

"Sasuke?"

Merasa terpanggil, Sasuke menoleh. Di sebelahnya berdiri seorang perempuan berkacamata dengan rambut merah. Sama seperti orang-orang lain, perempuan itu juga memakai yukata warna hijau cerah dengan obi yang warnanya senada.

"Karin? Kau di sini juga?" perempuan bernama Karin mengangguk.

"Lama sekali tidak bertemu." Karin tersenyum lebar. "Kau sendirian, Sasuke?"

"Tidak. Aku bersama seseorang."

Kemudian, Hinata muncul dari balik punggung Sasuke. Sejak mendengar seseorang memanggil nama pasangannya, Hinata sudah mulai beranjak. Benar saja, ada si setan merah. Hinata berdecih pelan, ia menempelkan badannya mendekat pada lengan kanan Sasuke.

"Oh, Hinata Hyuuga? Bagaimana kabarmu, Adik?" Karin melambaikan tangannya pada Hinata. Setelahnya Karin dan Sasuke mulai bercakap-cakap saling menanyakan kabar dan pekerjaan masing-masing. Sedang Hinata hanya diam, menanggapi seadanya atau makan jajanan dengan kesal.

.

.

"Hinata, ayo! Nanti tiket film-nya habis!" seorang gadis bercepol dua menarik Hinata yang baru sampai di ujung eskalator. Kedua perempuan berusia empat belas tahun itu berlari-lari kecil menuju sinema.

"Tenten, apa tidak apa-apa kalau kita menonton film yang itu? Itu 'kan film untuk orang dewasa." Hinata berkata saat ia dan teman sekelasnya yang bercepol sudah mengantre.

"Ah, tidak papa. Nanti kita sogok saja pegawainya. Aku sudah biasa, kok." Tenten nyengir lebar. Ia menepuk-nepuk bahu Hinata, meyakinkan teman sebangkunya.

Hinata mengangguk mengerti. Ia kembali memandang ke depan. Kemudian, matanya menangkap tubuh jangkung yang tidak asing. Seorang pria berdiri tiga jarak darinya.

"Hinata?"

Tenten bingung saat Hinata mulai berjalan maju, menyerobot antrean. Tiga kali dipanggil, Hinata tidak mendengar. Ia semakin mendekat dan menarik lengan kenalannya.

"Sasuke?" panggil Hinata.

Benar, Hinata tidak salah. Pria jangkung itu memang Sasuke Uchiha yang sudah masuk semester tiga di universitas.

"Hinata? Kenapa kau di sini?"

"Sasuke, ada apa?" seorang perempuan berambut merah dan berkacamata menyembul dari samping Sasuke. Hinata bisa melihat tangan perempuan itu yang memeluk lengan Sasuke. "Kau mengenal anak itu?"

Sasuke mengangguk. "Ya, Karin."

"Dia Hinata." Sasuke menoleh pada perempuan rambut merah yang ternyata bernama Karin. "Adikku," lanjutnya.

Hinata terkejut. Ia membulatkan matanya dan menekuk alisnya tajam. Sejak kapan Sasuke Uchiha menjadi kakak Hinata Hyuuga?

Tangan Hinata mengepal kesal. Si setan merah, panggilan Hinata untuk Karin, terlihat menimpali Sasuke dan mencoba menyapanya. Entah apa yang Sasuke dan Karin bicarakan, Hinata sudah tidak bisa mendengar karena telinganya penuh suara dari pemikirannya sendiri.

"Hinata?" Tenten menyentuh bahu Hinata, membuat perempuan itu tersadar.

Lalu, dengan kekesalan yang sudah menggunung, Hinata berdecih di depan Sasuke dan perempuan merahnya.

"Aku bukan adikmu, Pantat Ayam!!"

Hinata berteriak sebelum akhirnya berbalik dan lari keluar sinema. Teriakan Hinata membuat mereka sempat menjadi pusat perhatian. Tenten terkejut dan bingung dengan situasi yang ada. Ditambah raut pria jangkung di hadapannya berubah dingin. Setelah sadar, Tenten segera berlari menyusul Hinata.

Hari-hari selanjutnya Hinata terlihat menghindari Sasuke. Tapi yang sebenarnya Hinata menunggu Sasuke menjangkaunya duluan. Menunggu Sasuke menjelaskan hubungan pria itu dengan Karin atau sekadar menanyakan kabar Hinata. Namun kenyataannya, Sasuke tidak pernah menyinggung kejadian itu. Hingga bertahun-tahun lamanya, tanpa tahu Hinata selalu mengawasi interaksi Sasuke di sosial media.

.

.

Note:

Sebuah special chapter 14.5 sudah di-publish di karyakarsa.

Sama seperti sebelum-sebelumnya, berbayar dan

SANGAT MENGANDUNG LEMON DUA KALI LIPAT!!