Chereads / UNWANTED BOND [SASUHINA | 21+] / Chapter 13 - Unwanted Bond SasuHina 13

Chapter 13 - Unwanted Bond SasuHina 13

Unwanted Bond (SasuHina) 13

by

acyanokouji

All Naruto's characters are belong to Masashi Kishimoto.

Saya cuma pinjem doang, kok. Selamat membaca.

Warning: Super OOC, gaje, typo(s), crack couple, bosenin, alkohol dan lemon!

.

.

Minggu sore. Hinata baru selesai mandi saat duduk di ruang tengah dan mengemil ciki kemasan. Sekarang jam empat sore. Ia bangun setengah jam lalu setelah tidur dengan Sasuke. Matanya fokus pada layar televisi yang menayangkan dorama kesukaannya. Lalu, seseorang mengambil tempat di sampingnya.

"Hai, Hinata." Hinata menoleh, ia melihat Neji yang tersenyum. "Boleh aku duduk denganmu?"

"Ini 'kan rumahmu." Hinata menanggapi seadanya, mulutnya mengunyah camilan rasa barbeque. Matanya kembali fokus pada dorama mingguan.

"Benar." Neji duduk dan ikut menonton dorama yang sedang tayang. Setelah beberapa menit, Hinata menghela napas. Ia menyodorkan bungkusan ciki pada Neji. Kakak laki-lakinya itu tersenyum dan meraup segenggam camilan. Neji mengucapkan terima kasih, selanjutnya Hinata kembali menikmati camilan untuknya sendiri.

"Pemeran perempuannya mirip bartender di club-mu." kata Neji. Ia memasukkan keripik kentang ke dalam mulutnya dan mengunyah setelah bicara. "Pemeran prianya tampak familier. Siapa namanya?"

"Daisuke Kambe." terang Hinata. "Dia perawis perusahaan Kambe tapi malah terjun di industri hiburan. Kurahap bisa bertemu dengannya di Tokyo."

Neji menatap Hinata dari samping. Mata adiknya terlihat sedikit berbinar.

"Kau penggemarnya?"

Hinata menoleh pada Neji. "Begitulah," kata Hinata sebelum kembali menatap layar televisi dengan memuja.

"Kambe adalah perusahaan yang bergerak di bidang teknologi kesehatan. Sulit bekerja sama dengan Hyuuga yang merupakan perusahaan industri pakaian. Tapi Haruno punya usaha tabloid, mungkin kau bisa minta Sakura kalau-kalau aktor itu diwawancara."

Hinata kembali menoleh pada Neji. Laki-laki itu memandang lurus sambil mengunyah. "Kau sudah berbaikan?" tanya Hinata. "Dengan Kak Sakura maksudku."

Neji menoleh, juga memandang Hinata. "Aku sudah bicara dengannya. Kau tidak perlu khawatir tentang hubunganku dan dia. Aku lebih khawatir kalau adik-adikku tidak mau berbaikan denganku."

"Kata siapa? Aku mau berbaikan denganmu. Hanya saja... mungkin perlu waktu?"

Hinata bicara dengan ragu, Neji bisa memakluminya. "Terima kasih, Hinata. Aku akan menunggunya."

Suara decakan terdengar dari belakang. Tiba-tiba sebuah tangan melingkari masing-masing leher Hinata dan Neji. Sebuah kepala menyembul di antara kedua saudara itu.

"Apa adikmu hanya satu?" itu suara Hanabi. Bibirnya manyun karena kesal.

"Aku akan berbaikan denganmu kalau kau memberiku beberapa saham Hyuuga atau berhasil mengontrak Daisuke-kun jadi model yukata edisi musim gugur."

"Kau juga penggemarnya, Hanabi?" Hinata bertanya dengan antusias.

"Tentu saja. Siapa yang tidak suka laki-laki tampan dan seorang miliarder?" Hanabi melompat ke arah sofa, membuat camilan Hinata sedikit terpental dan berserak keluar. Kemudian ketiganya mulai ramai bergosip tentang aktor tampan idola kembar Hyuuga.

Sasuke muncul dari arah kamar Hinata. Lehernya masih dililit handuk kecil yang sedikit basah usai mengeringkan rambutnya. Dari penghubung ruang tamu dan ruang tengah, Sasuke memerhatikan tiga saudara yang sibuk bercengkrama. Ia tersenyum, ini yang ia rindukan setelah sepuluh tahun.

.

.

Hinata bersenandung ria saat dalam perjalanan menuju club-nya. Hari ini ia berangkat lebih awal, jam setengah tujuh malam. Rencananya ia akan ikut menyiapkan club bersama karyawan dan memeriksa stok barang. Entah kenapa, akhir-akhir ini ia merasa bahagia. Kenapa, ya?

Saat melewati lampu merah, Hinata melihat plang supermarket di sisi kanan jalan. Ia memelankan laju mobilnya dan menyalakan lampu sen. Setelah kondisi jalan raya lumayan sepi, Hinata menyebrang dan memarkirkan mobilnya.

Hinata masuk ke dalam supermarket, membeli sebuah susu kotak rasa strawberry dan nasi instan berbentuk segitiga isi tuna. Merasa masih punya cukup waktu, Hinata duduk di salah satu bangku depan supermarket setelah membayar. Ketika Hinata hendak menggigit nasi segitinya yang sudah terbuka, ia melihat seseorang yang dikenalinya.

"Kak Sakura?" Hinata memanggil sosok yang duduk dua bangku setelahnya. Orang tersebut menoleh dengan satu buah sosis siap santap di tangannya.

Sakura tersenyum ke arah Hinata. Tanpa dipinta, Hinata tiba-tiba berdiri dan duduk di bangku seberang Sakura.

"Aku tidak sangka akan bertemu di sini." Hinata antusias. "Bagaimana kabarmu?"

Sakura tersenyum lagi. Tiba-tiba Hinata tersadar, perempuan itu pasti tidak baik-baik saja. Sudah tiga minggu lebih sejak kejadian itu.

"Ah, maksudku, kau habis dari mana? Apa kau baru pulang dari kantor?" Hinata gelagapan sendiri.

Lagi-lagi Sakura tersenyum melihat Hinata. Sakura meletakkan sosis yang hendak di santapnya ke atas meja. Dengan tenang, ia melipat kedua tangannya juga di atas meja. "Hinata, ini hari minggu," katanya.

"Eh?"

Hinata merutuki dirinya yang terlalu terburu-buru. Pekerjaannya yang bebas waktu membuat Hinata tidak mengingat hari dengan benar. Padahal seharian ia bersama Sasuke. "Ah, maaf, Kak." Hinata menunduk.

"Tidak papa." Sakura menggeleng. "Aku hanya kebetulan lewat saat berjalan di sekitar rumah. Karena sedikit lapar, aku jadi mampir."

Hinata mendengarkan penjelasan Sakura. Tapi, seingatku rumahmu cukup jauh dari distrik ini.

"Oh, begitu." kata Hinata.

Kak Sakura terlihat kacau.

Hinata memerhatikan Sakura. Perempuan itu kembali mengangkat sosis, membuka kemasannya dan mulai melahapnya. "Kau sendiri, apa yang kau lakukan di sini, Hinata?" tanya Sakura.

"Aku mau berangkat ke club tapi karena lapar aku juga mampir." Hinata kembali membuka nasi segitiganya, mulai menggigit. Sakura magut-magut sambil mengunyah. Hinata memandang wajah Sakura lagi, cantik.

"Aku..." Hinata menatap tangannya yang ada di atas meja. "Sekali lagi ingin minta maaf perihal Kak Neji."

Sakura menghentikan kunyahannya. Ia menelan paksa sisa makanan yang ada dimulutnya. "Tidak papa. Kami sudah menyelesaikannya." Sakura melihat Hinata mendongak ke arahnya, menunggu penjelasannya. "Kami berpisah, membatalkan rencana pernikahan. Tapi tenang saja, aku sudah menjelaskan pada orang tuaku. Masalahku dan Neji tidak akan memengaruhi hubungan bisnis Hyuuga dan Haruno, kok."

Tuhan, apa dia bidadari?

"Kau... memang terlalu baik, kak."

Sakura terkekeh pelan, ia lalu menggeleng. "Kalau aku baik, mungkin aku masih bertahan dengannya." Sakura menunduk, ia menghirup napas dalam dan mendogak lagi. "Tapi yah, itu sudah resikonya. Memaksa ingin memiliki dua hati, akhirnya dia harus kehilangan dua-duanya."

Hinata membeku. Kenapa dia merasa seolah... tersindir?

"Haha. Yah, Kak Neji memang perlu mendapat pelajaraan." Hinata tertawa kikuk. Ia menoleh ke arah jalan raya untuk menutupi kegugupannya. Kemudian sesuatu menarik atensinya, sebuah iklan LED yang menempel di sebuah truk.

"Acara fan meeting Daisuke Kambe?"

"Hm?"

Hinata menoleh, Sakura menatap bingung padanya. "Itu, tadi aku melihat iklan acara jumpa penggemar seorang aktor." terang Hinata.

"Oh, acara Daisuke-kun?"

Hinata membulatkan matanya. "Kak Sakura mengenalnya?!" Hinata antusias.

"Yah, minggu kemarin dia diwawancarai tabloid-ku. Untuk edisi bulan Agustus nanti. Setelahnya kami ada makan malam bersama." Sakura menggaruk tengguknya, sedikit semburat merah muncul di pipinya.

Hinata sedikit mengernyit. Sudah move on? Hinata jadi bingung mau senang atau sedih.

"Seingatku acara jumpa penggemarnya diatur oleh perusahaan WithFams, tanggal 24 Juli di mall pusat kota. Apa kau salah seorang penggemar Daisuke Kambe?" Hinata mengangguk dengan antusias. "Kalau kau mau, kau bisa ikut rombonganku. Tabloid-ku juga akan meliput acara jumpa penggemar itu."

"Aku mau! Aku mau!" Hinata menjawab tanpa pikir panjang. Sakura terkekeh lagi, kali ini ia gemas dengan tingkah Hinata. Maklum, perempuan itu masih di usia awal dua puluhan.

"Boleh. Aku akan menghubungimu lebih lanjut." Sakura membereskan bekas makannya, dua bungkus sosis dan sekotak susu vanila. "Aku harus pulang. Sampai jumpa, Hinata!"

Sakura berdiri. Ia membuang sampah pada tempatnya, melambai pada Hinata yang masih termangu dengan hati gembira. Setelah Sakura menghilang dari belokan lampu apil, Hinata baru tersadar. Mustinya ia menawari Sakura tumpangan, rumahnya dua puluh menit dari sini –naik mobil.

"Daisuke Kambe sialan!" gerutu Hinata pada dirinya sendiri.

.

.

Sepanjang malam Hinata memikirkan perkataan Sakura. Bukan tentang Daisuke Kambe. Ia merenung di ruangannya, tidak berselera mengamati club-nya. Ketika ia sedang asik memainkan tutup pulpen, pintu ruangannya terbuka.

"Hei." Kiba menyapa Hinata. Pria itu menutup pintu dan duduk di sofa seberang Hinata. "Kenapa tidak keluar? Ino dan Inosuke mencarimu."

"Aku sedang tidak enak badan."

"Kenapa? Kau sakit?" khawatir Kiba.

"Mungkin hanya tanda PMS." tidak mungkin. Hinata baru selesai menstruasi kemarin.

"Oh." Kiba diam selama beberapa detik. "Kau tahu pegawai baru yang dibawa Inosuke? Kakak-beradik Kamado. Kakak laki-lakinya sangat gesit sekali sedang adik perempuannya yang cantik menarik banyak pelanggan. Menurutku sayang sekali kalau Nezuko hanya bekerja sebagai waiter."

Hinata mengernyit. Ia memicingkan matanya pada Kiba. "Maksudmu?"

"Maksudku –mu"

"Tidak." Hinata memotong ucapan Kiba yang belum apa-apa. "Aku belum mau mengambil resiko usaha prostitusi. Usaha kita masih baru di sini. Modalku belum cukup untuk membangun kamar-kamar. Terlebih, dia melamar sebagai waiter dan aku akan mempekerjakannya sesuai keinginan dan kemampuannya."

Kiba menghela napas. Hinata memang tegas dan terlalu disiplin kalau soal kerjaan. Padahal Kiba kan hanya mau mengusulkan. "Oke. Aku hanya ingin memeriksa kondisimu." Kiba bangkit, mungkin Hinata butuh waktu sendiri.

"Omong-omong, Kiba." Kiba menghentikan langkahnya. "Apa kau ingin jadi manajer?"

Kiba mangernyit. Bukannya ia sudah jadi manajer di sini?

"Manajer cabang. Aku merasa club di Okinawa perlu lebih diawasi. Hidan dan Sasori fokus mengurusi bar, sedangkan Konan bertanggung jawab pada gedung karaoke. Kurasa aku butuh seseorang untuk mengawasi mereka."

Kiba balik duduk di sofa. Ia menatap kesal. "Hinata, kalau kau tersinggung karena ucapanku, aku minta maaf. Aku tidak bermaksud mengguruimu. Aku hanya memberi masukan. Tapi, kenapa kau malah membuangku?"

"Aku tidak membuangmu!" bantah Hinata.

"Benarkah? Tapi aku merasa akhir-akhir ini kau menghindariku. Kau juga sudah tidak pernah minta aku menggaulimu."

Hinata melotot. Kiba terlalu blak-blakan. "Aku sudah tunangan, Kiba!"

"Oh, karena si Uchiha itu, ya?" Kiba berdecih. Ia menatap nanar ujung sepatunya. "Aku dibuang setelah kau kembali pada pangeranmu."

BRAK

Hinata menggebrak meja. Ia menatap nyalang pada Kiba. "Dengar ya, Kiba. Hubungan kita adalah sebatas sahabat dan rekan bisnis. Sebelumnya kita memang melakukan beberapa kali hubungan seksual untuk memenuhi kebutuhan biologis masing-masing. Sudah dijelaskan sejak awal, kita tidak boleh melibatkan perasaan, 'kan?"

Kiba mengepalkan kedua tangannya. Sejak awal harusnya ia sadar, tidak ada kesempatan untuknya.

"Aku juga tidak membuangmu, Kiba. Aku peduli padamu, sangat. Makanya aku ingin memercayakan club-ku padamu. Sebelum aku kembali ke Okinawa, mungkin. Juga aku hanya merasa..."

"Kita perlu menjauh?" tanya Kiba. Hinata diam, ia memilih tidak meneruskan ucapannya.

"Aku mengerti." Kiba bicara setelah hening beberapa detik. "Kau melakukannya karena kau peduli padaku. Ya, 'kan? Aku mengerti." laki-laki itu lalu berdiri menuju pintu.

Kiba berbalik. Ia meraih knop pintu dan bicara tanpa menoleh. "Aku akan memikirkannya, Bos."

.

.

Hinata merasa bersalah. Ia tidak tahu musti bagaimana mengakhiri hubungannya dengan Kiba. Ia tidak benar-benar ingin hubungannya berakhir. Tidak, Kiba adalah sahabat dekatnya. Seperti yang dibilang, mereka hanya perlu menjaga jarak.

Jam empat pagi. Hinata pulang tanpa bantu membereskan club. Ia sedang tidak bersemangat. Jadi, setelah menggantungkan tas selempangnya, Hinata berniat pergi tidur.

"Kau sudah pulang?"

"Jesus Christ!"

Hinata terkejut mendengar suara serak ketika ia baru naik ranjangnya. Hinata menyalakan lampu tidur di samping ranjang, samar terlihat Sasuke yang berbaring di sisi seberang.

Hinata membuang napas lega. Ia naik ke atas ranjang dan mendekati Sasuke. "Kau tidur di kamarku?" Sasuke mengangguk, ia meraih Hinata dalam pelukan.

"Kau tidak mandi dulu?" tanya Sasuke.

"Aku bisa rematik." Hinata mendesis, Sasuke terkekeh mendengarnya. Kesadarannya mulai kembali.

"Aku rindu." Sasuke mengecupi wajah Hinata sambil mendekapnya lebih dekat lagi.

"Kemarin kan kau seharian denganku, Sasu."

Oho, tidak. Bukan hanya kemarin tapi kemarinnya juga. Kemarinnya lagi, dan kemarin-kemarinnya lagi.

"Tapi kau sedang datang bulan." Hinata mengalihkan tatapannya. Sikapnya tak luput dari mata Sasuke. Pria itu mengerutkan dahi.

"Kau sudah selesai datang bulan?" Hinata berdeham. Sasuke tersenyum senang, ia mencondongkan tubuhnya hendak mencium bibir Hinata. Namun, tangan Hinata menahan bibirnya.

"Aku lelah, Sasu. Bisa kita melakukannya nanti sore?"

"Baiklah." Sasuke kecewa tapi ia harus menghargai Hinata. Perempuan itu baru pulang kerja. "Omong-omong, minggu depan ada festival kembang api di Osaka. Apa kau mau berlibur denganku? Hanya tiga hari dua malam."

"Kau mengajakku kencan?" Sasuke mengangguk. "Tapi terdengar seperti bulan madu."

"Itu juga boleh." Sasuke menarik Hinata. Ia menindih kaki kiri Hinata dengan kaki kanannya. Menjadikan perempuannya guling.

"Berapa lama?"

"Tanggal 24 sampai tanggal 26."

"Boleh." detik berikutnya Hinata tersadar sesuatu. "Tidak bisa!"

Sasuke mengernyit. "Tanggal 24 Juli ada acara jumpa penggemar Daisuke Kambe."

"Siapa?" Sasuke menatap tajam.

"Aktor favoritku." Hinata berbinar, ia punya tiket orang dalam.

"Hah?!"

"Hah?" Hinata meniru Sasuke yang terkejut.

Sasuke berdecak sebal. Ia semakin menindih Hinata, membuat perempuan itu sedikit sesak.

"Kau pilih dia atau aku?" rajuk Sasuke.

"Maksudnya?"

"Aku 'kan sudah bilang. Mulai sekarang hanya ada aku dan kau. Tidak ada lelaki lain." tegas Sasuke.

"Tapi ini Daisuke Kambe. Seorang aktor. Aku hanya penggemarnya."

"Jadi kau lebih pilih dia?"

"Tidak. Maksudku, kita 'kan bisa berangkat tanggal 25 saja."

"Tidak bisa. Aku sudah reservasi hotel."

"Kau memesannya tanpa berdiskusi dulu denganku?" Hinata kesal sekarang. Tapi, Sasuke lebih kesal. Uchiha dan sikap posesifnya tidak ada yang bisa mengalahkan.

"Aku tidak mau tahu. Kita akan berangkat tanggal 24. Atau... aku akan bercinta denganmu sekarang juga." Sasuke menyeringai. Ia mendekatkan wajahnya pada Hinata, membuat perempuan itu melotot. Ancaman Sasuke menyebalkan.

Tapi gemas sih...

"Sasuke!!!"

DUG

Neji terbangun karena kepalanya terbentur kepala ranjang. Rasa-rasanya ia mendengar sebuah teriakan. Apa itu hanya ada dalam mimpinya?