Chereads / UNWANTED BOND [SASUHINA | 21+] / Chapter 12 - Unwanted Bond SasuHina 12

Chapter 12 - Unwanted Bond SasuHina 12

Unwanted Bond (SasuHina) 12

by

acyanokouji

All Naruto's characters are belong to Masashi Kishimoto.

Saya cuma pinjem doang, kok. Selamat membaca.

Warning: Super OOC, gaje, typo(s), crack couple, bosenin, alkohol dan lemon!

.

.

"Hah?"

Napas Hinata terengah. Sasuke semakin mendekat padanya, membuat Hinata merasa sesak. Apalagi tubuhnya semakin panas. Sasuke menyentuh dagu Hinata dengan satu tangannya. Hinata merasa seperti tersengat, tubuhnya sangat sensitif.

"Apa kau menginginkan sentuhanku, Hinata?" Sasuke berbisik di depan bibir Hinata, membuat telinga Hinata memerah karena malu. Hinata ingin menghindari tatapan dengan Sasuke tapi tangan pemuda itu menahannya.

"Lepashhh" Hinata menggapai lengan Sasuke di dagunya sambil menahan desahannya. Sialan, ia akan minta Ino berhenti menjual obat-obatan dari Hidan, mungkin. Entahlah, bisnisnya perlu bertahan tapi kadang senjata memang bisa makan tuan.

"Aku belum mencumbumu, Hinata." Sasuke menekan setiap kata yang diucapkannya pada telinga kiri Hinata. Napasnya yang berhembus membuat Hinata sedikit memekik.

"Hmph!"

Mata Hinata membulat saat Sasuke mencium bibirnya. Pria itu menjilati bibir Hinata, seperti yang Hinata lakukan pagi tadi. Hinata mencoba bertahan dengan tidak membuka mulutnya. Dengan sisa tenaga yang sebenarnya tidak ada, Hinata mendorong pelan dada Sasuke.

"Kenapa?" Sasuke melepaskan ciumannya. Ia menatap Hinata dengan kecewa.

"Jangan..." Hinata memalingkan wajahnya yang memerah. "di sini."

Sasuke tersenyum. Ia sedikit menjauh dari Hinata. Lalu, tangannya melingkari perut Hinata. "Pegangan." Sasuke menarik Hinata dalam gendongan. Hinata yang sadar segera melingkarkan tangannya pada leher dan kakinya pada perut Sasuke. Ia digendong seperti tadi pagi.

Sama seperti sebelumnya, Sasuke mencium Hinata. Perempuan itu ikut dalam ciuman Sasuke. Jalan mereka sedikit melambat karena Sasuke berhati-hati ketika menaiki tangga. Kali ini, tujuan mereka adalah kamar Sasuke.

Saat tiba di kamarnya, Sasuke segera membawa Hinata ke ranjang. Ia duduk di samping ranjang sambil bercumbu. Tangan kanan Sasuke masuk ke dalam kaos oversize warna hijau Hinata. Tangannya yang sedikit kasar menyentuh sisi perut Hinata, memberikan sengatan pada perempuan itu.

Tangan Hinata juga tidak bisa diam. Sejak di pangkuan Sasuke, Hinata meraba-raba bagian depan tubuh Sasuke dengan gelisah. Berpindah-pindah dari dada, perut, kembali ke dada bidang pria itu. Hinata sedikit berdenyit ketika Sasuke meraba dan menyentuh payudaranya.

Tangan kiri Sasuke menarik lengan Hinata dan mengarahkannya menuju bagian bawah perutnya. Hinata bisa merasakannya, sesuatu menonjol di balik celana Sasuke. Hinata menyentuh dan meremas tonjolan itu beberapa kali.

Sasuke melepaskan ciuman mereka. Selain karena butuh oksigen, Sasuke ingin menatap wajah Hinata. "Apa tidak masalah kalau kita melakukan ini?"

Hinata mencubit perut Sasuke, membuatnya sedikit meringis. "Bisa tidak sih kau berhenti bertanya dan mematikan gairah lagi?!" Hinata memanyunkan bibirnya, terlihat gemas di mata Sasuke.

"Baiklah." Sasuke mencium Hinata lagi, kali ini benar-benar tidak melepaskannya meskipun mereka sudah pindah ke tengah ranjang. Pakaian keduanya sudah tanggal entah bagaimana. Hinata sudah berada di bawah Sasuke. Keduanya sedikit meringis saat penyatuan mereka.

"Apa kau membenciku, Hinata?" Sasuke bertanya saat ia sudah ada di dalam Hinata.

Perempuan indigo itu mengaitkan kedua kakinya yang terbuka lebar ke pinggang Sasuke. Sasuke merasa miliknya semakin terjepit. "Sangat. Sampai-sampai aku tidak akan mengizinkanmu terlepas," kata Hinata.

Sasuke sedikit merasa tersinggung dengan ucapan Hinata. Tapi, ia sudah tidak ingin memikirkannya. Sekarang, hanya ada ia dan Hinata. Sambil mencium bibir Hinata dan memainkan payudaranya, Sasuke mulai bergerak maju-mundur.

"Ahn, Sasukeh~"

.

.

Hanabi sudah capek marah-marah di kamarnya. Ia turun ke lantai bawah untuk mengambil minum. Ketika akan berbelok ke dapur, matanya menangkap gelas yang terletak di meja ruang tengah. Hanabi mendekat dan mengangkat gelas berisi cairan berwarna merah itu.

"Minuman siapa?" Hanabi membaui gelas, tercium wangi pandan tercampur wangi strawberry. Sangat manis. Saat Hanabi mendekatkan gelas tersebut ke bibirnya, terdengar suara pintu yang terketuk.

Hanabi kembali menaruh gelas pada meja dan berjalan ke depan rumah untuk membuka pintu. Dari balik pintu, berdiri Gaara dengan setelan kerjanya.

"Hai." sapa Gaara. "Boleh aku masuk?"

Tunggu sebentar, rasa-rasanya pengacara yang kembali muncul di depan pintu rumah terdengar familiar.

"Kau mau bertemu dengan siapa?" Hanabi menghadang.

"Denganmu."

"Pekerjaan?" Gaara menggeleng.

"Ikut aku." Hanabi berjalan menuju ke belakang rumah. Ia duduk di salah satu kursi dekat kolam ikan, diikuti Gaara yang duduk di kursi sebelahnya.

"Aku membaca pesanmu." Gaara memulai pembicaraan. "Tidak kusangka Neji-san bisa begitu."

Hanabi tidak menoleh. Ia masih sibuk menatap ikan-ikan yang berenang. "Ya, dia memang mengecewakan. Seperti laki-laki yang biasa duduk di sini."

Gaara tidak paham dengan ucapan Hanabi. Ia hanya memandang Hanabi sambil pelan-pelan melonggarkan dasinya. Poor Gaara, bekerja di penghujung minggu memang menyebalkan.

"Itulah kenapa aku tidak setuju dengan seks sebelum menikah." Hanabi berkata lagi. Perkataannya membuat gerakan tangan Gaara di dasinya terhenti.

"Kau belum pernah melakukannya?" Hanabi menoleh.

"Tentu saja. Aku tidak seliberal saudara-saudaraku." mata Hanabi memicing. "Kau sudah pernah melakukannya?"

Gaara meneguk ludah, "beberapa kali?"

"Bahkan saat kau dan aku mulai berhubungan?" badan Hanabi agak condong ke arah Gaara. Membuat laki-laki bersurai merah itu mengalihkan pandangannya karena merasa terintimidasi.

"Ya-ya? Itu dan itu berbeda, 'kan?"

"Itu dan itu apa?" desak Hanabi. Gaara tidak bisa menghindar. Ia berdeham dan menarik dasinya semakin longgar.

"Maksudku, saat itu kau dan aku hanya berkomunikasi melalu telepon. Kita belum memutuskan untuk terikat, apalagi kita juga belum bertemu. Jadi... aku memenuhi hasratku dengan yang lain?"

Hanabi mendesah mendengarnya. Ia menegakkan duduknya dan kembali menatap ke arah kolam ikan. Ia sadar, zaman sudah semakin maju, tentu orang-orang semakin bebas. Ia juga sudah memperkirakannya tapi tetap saja ada sedikit rasa kecewa.

"Kenapa tidak bermain solo saja sih?" Hanabi berujar pelan.

"Yah, kadang-kadang aku ingin merasakan vagina juga." Hanabi menatap tajam Gaara yang terlalu jujur. Padahal Hanabi lebih suka Gaara tidak menimpalinya.

"Aku kasihan pada Kak Sakura." Hanabi menunduk sedih. "Dia sudah seperti kakakku. Dia orang yang sangat berkeinginan kuat dan pekerja keras. Tapi, sebenarnya dia adalah sosok perempuan yang lembut. Aku banyak belajar darinya."

Oh, jadi Sakura yang mengajari Hanabi?

"Kak Sakura memang lebih menyukai Sasuke sampai ia lulus SMA. Tapi mulai kuliah dan sering menemaniku yang waktu itu ditinggal ibu dan Hinata, dia dan Kak Neji jadi semakin dekat. Waktu itu Hyuuga dan Haruno juga mulai kerja sama bisnis. Jadi, kukira Kak Neji hanya ber-ramah-tamah."

Gaara diam, ia membiarkan Hanabi bicara.

"Sebenarnya aku memang tidak mengerti Kak Neji sama sekali. Bahkan ketika ia berjanji akan menjaga hubungan Hyuuga dan Haruno, kukira ia tidak serius. Toh, kerjaanku hanya menjual barang di butik saja." Hanabi mengangkat bahu.

"Sampai bulan lalu aku masih mengira kalau Kak Neji hanya orang yang mengikuti arus. Ia hanya menerima saja saat orang-orang Hyuuga berharap hubungan dengan Haruno lebih dari rekan bisnis." Hanabi menendang kerikil kecil ke dalam kolam renang, membuat ikan-ikan di sekitarnya berenang menjauh. "Sejak kapan Kak Sakura jatuh hati padanya? Kalau tahu begini, aku pasti akan menjauhkannya dari kakakku sendiri."

"Apa kita bisa tahu kapan kita jatuh cinta?" Hanabi menoleh pada Gaara.

"Menurutku, kita tidak bisa tahu kalau kita jatuh cinta sampai kita merasa benar-benar bahagia, atau benar-benar tersakiti karena orang itu, Hanabi."

Gaara bicara dengan wajah serius, membuat Hanabi terkekeh pelan. Cahaya matahari terbenam menyorot emosi yang dipancarkannya. "Ternyata kau orangnya puitis juga ya, Pak Pengacara."

.

.

Beberapa hari setelahnya, putra-putri Hyuuga jarang bertemu di rumah. Mereka sengaja menghindari satu sama lain saat sarapan ataupun makan malam. Hal itu membuat pekerjaan para pelayan jadi bertambah, kini mereka musti menghangatkan makanan beberapa kali.

Di hari sabtu depannya, Hanabi menemukan Hinata dan Sasuke yang sedang sarapan bersama. Dua orang itu memang terlihat lebih dekat dan sering terlihat sarapan bareng. Baguslah, Hanabi suka Hinata dan Sasuke yang bertanggung jawab dengan hubungan mereka. Tidak seperti orang itu.

Ketika Hanabi ikut bergabung sarapan dan menelan makanannya tiga kali, Neji muncul di dapur. Pria itu duduk dua bangku samping Hanabi. Melalui ekor matanya, Hanabi bisa melihat penampilan Neji yang terlihat kacau. Seketika suasana menjadi hening.

"Aku akan pergi dari rumah ini." ucapan Neji menarik atensi ketiga manusia yang ada di meja makan.

"Kenapa, Kak?" tanya Hinata.

"Bukankah jelas terlihat kalau kalian tidak nyaman denganku?"

"Lalu bagaimana dengan surat wasiat ayah? Kau itu pemegang warisan utama, yang benar saja!" gerutu Hinata. "Aku tidak ingin lima bulan ini sia-sia."

"Hanabi, bisa kah kau membujuk Sabaku-san?" pinta Neji.

Hanabi mendelik, alisnya menukik dengan tajam dan dahinya mulai berdenyut. "Hah?!! Yang benar saja!! Kau ingin memanfaatkan hubunganku dan Gaara?! Tidak etis sekali! Aku menentang!!"

Hanabi tidak habis pikir. Selama ini Neji terlihat baik-baik saja mengurus perusahaan. Kesalahan Neji memang fatal, memalukan. Tapi entah bagaimana kabar itu tidak tersebar. Jadi, semustinya Neji cukup diam saja dan melanjutkan perannya, 'kan?

"Aku benar-benar kecewa. Terima kasih sudah menghilangkan selera makanku!" Hanabi berdiri, ia menghentakkan kakinya dan pergi keluar dari dapur. Selamat tinggal, kari.

"Apa kau ingat, Kak?" Hinata bicara setelah keadaan hening selama beberapa detik. "Aku bisa ada di sini karena kau membujukku. Kau bilang, ingin lebih lama melihatku dan Hanabi tinggal bersama, berbaikan. Tapi, kenapa kau tidak kunjung menunjukkannya?"

Sasuke yang duduk di samping Hinata bisa melihat kedua tangan Hinata terkepal di pangkuannya. "Aku kecewa. Rasanya sama saja tinggal di sini ataupun di Okinawa. Aku akan pergi tidur."

Hinata bangkit. Ia berbisik pada Sasuke sebentar dan mulai meninggalkan ruangan.

Setelah kembar Hyuuga pergi, hanya ada Sasuke dan Neji. Atmosfer antara kedua pria itu juga kurang baik. Sasuke juga marah dan kecewa seperti kembar Hyuuga. Tapi, ia sudah terlanjur bilang kalau ia mengerti.

"Kemarin, Matsuri memintaku membawakan semua barangnya." kata Sasuke. "Dia memilih pergi. Apa kau tahu?"

Neji tidak menjawab dengan gamblang tapi dari sorot matanya, Neji sepertinya sudah tahu.

"Kesalahanmu fatal. Kau merusak Matsuri, membuatnya mengandung benihmu dan membiarkannya keguguran. Apa dia hanya mainanmu? Perempuan itu masih muda, setahun lebih muda dari Hinata. Bukankah aku sudah menunjukkannya dengan baik padamu tentang aku dan Hinata?"

Neji mendongak menatap Sasuke. Benar, meskipun bukan anak kandung, Sasuke yang tertua di rumah ini. Neji tersenyum kecut, andai ia bisa mengendalikan diri seperti Sasuke. "Sakura terlalu baik untukku."

Sasuke mengernyit. Kenapa malah bahas Sakura?

"Dia perempuan yang tegas. Aku memang binatang yang tidak bisa mengendalikan nafsuku sendiri. Sayang sekali ada kelinci tak berdaya yang terjebak dan aku manfaatkan. Menurutmu, kalau dulu aku meminta pada Sakura, apakah ia akan mengizinkanku?"

Alis Sasuke menukik dengan tajam. Mencerna perkataan abstrak Neji. "Tidak?"

"Ya. Tentu saja tidak. Sepertimu, aku hanya melindungi diriku sendiri."

Sasuke mengela napas lelah... atau mungkin kesal? Entahlah, Sasuke sudah tidak habis pikir. Masalahnya sendiri sudah cukup memusingkannya.

"Kau menyakiti dua perempuan. Itu benar terjadi dan sudah tak bisa terhindarkan. Aku hanya memberi saran, perbaiki saja sikapmu di masa depan. Jangan mengecewakan dua perempuan lain, Neji. Mereka adalah saudaramu, sesuatu yang bahkan tidak aku miliki."

Sasuke membereskan bekas makannya dan Hinata. Untunglah mereka sempat menghabiskan sarapan. Ia berdiri dari kursi dan bersiap pergi ke kamar. Sasuke juga akan tidur sebentar. Mengisi energi sebelum... apa ya?

.

.

Hinata bilang dia akan pergi tidur. Namun, kenyataannya ia malah pergi ke arah kebun saat melihat bayangan Hanabi. Dari pintu, Hinata bisa melihat Hanabi yang duduk dan bersandar di salah satu tiang gazebo di kebun.

Hinata berjalan mendekat. Hanabi yang memunggunginya belum sadar sampai Hinata duduk di sampingnya. Hinata sekilas melihat Hanabi yang buru-buru mengusap wajahnya dengan kasar.

"Apa kehadiranku mengganggumu?" tanya Hinata.

Cukup lama Hanabi tidak menjawab. "Tidak."

"Aku mengerti perasaanmu, Hanabi. Rasanya seperti tidak ada lagi lelaki yang bisa kita percayai."

"Kau percaya Sasuke. Aku juga masih punya Gaara." elak Hanabi.

Hinata menoleh. Ia tersenyum pada Hanabi. "Kenapa kau tersenyum?" tanya Hanabi.

"Benar. Kita hanya kecewa pada Hyuuga, 'kan?" Hinata menunduk. "Sebenarnya kejadian Neji malah mengingatkanku pada mendiang ayah. Ayah memang tidak pernah melakukan kesalahan sememalukan itu. Tapi, ketidaktegasan mereka membuatku kesal."

Hanabi memerhatikan Hinata dari samping. Benar. Terlahir jadi Hyuuga memang mengesalkan.

"Tapi kalau dipikir-pikir lagi, aku masih kesal karena tidak bisa bertemu dengan ayah di saat terakhirnya." Hanabi mengernyit. Hinata datang untuk menenangkan atau membuatnya makin kesal sih?

"Apa kau membenciku, Hanabi?"

"Ya. Aku kesal. Aku marah. Kau meninggalkanku dengan semua beban Hyuuga sendirian. Apa kau tahu bagaimana rasanya ditekan para lelaki kolot, Hinata?" Hinata tersenyum kecil, ia menggeleng.

"Berkali-kali aku ingin menyalahkanmu. Ini terlalu berlebihan bagiku tapi entah bagaimana aku malah bisa melaluinya sampai sekarang."

"Kau hebat, Hanabi. Aku tahu, sejak kecil kau memang yang paling cocok mengurus Hyuuga. Itu sudah seperti takdirmu."

Hinata dan Hanabi berpandangan sebentar. Beberapa detik keduanya saling memalingkan wajah dan menunduk.

"Ayah..." Hanabi bergumam. "Aku juga melihatnya terakhir kali adalah tiga hari sebelum ia meninggal. Aku tidak sempat berpisahan dengannya. Obrolan terakhir kami pun tidak jauh dari Hyuuga dan perusahaan."

Hinata menatap wajah Hanabi dari samping. Matanya terlihat terluka.

"Kau masih mending. Aku melihatnya terakhir kali saat awal desember." Hinata menengadahkan kepala, menatap langit-langit. Ia memejamkan matanya yang terasa perih.

"Aku menolak menemuinya saat itu. Bisa kau bayangkan? Bagaimana orang-orang akan bergosip saat aku menemui pria paruh baya di dalam club?" Hinata tersenyum simpul tapi sudut matanya mulai basah. "Andai aku tahu, aku pasti akan menerima hadiah ulang tahun darinya secara langsung."

Hinata mengangkat tangannya menuju kepalanya. Ia menyentuh sebuah jepit kecil sederhana berwarna ungu muda. Hanabi baru sadar kalau ia sering melihat Hinata memakai jepit tersebut. Ia kira itu hanya aksesoris koleksi Hinata saja. Soalnya, dilihat dari manapun jepit-jepit tipis yang agak panjang dan sedikit bergelombang itu terlihat seperti jepit rambut murah di pinggir-pinggir jalan.

"Hei." panggilan Hanabi membuat Hinata membuka mata dan menoleh padanya. "Terima kasih sudah mengajakku bicara duluan, Hinata."

Hanabi tersenyum lembut. Hinata ikut tersenyum. Rasanya hangat. Apa karena sudah akan masuk musim panas, ya?

"Sama-sama. Itu yang seharusnya dilakukan seorang kakak, 'kan?"

"Hah? Kau? Kakak?" Hanabi mengernyit.

"Iya. Kalau kau lupa, kata ibu aku lahir lima menit lebih dulu." Hinata berkata dengan lenggang.

"Yang artinya kau itu adik! Ibu 'kan juga bilang kalau kakak selalu mendahulukan adiknya. Makanya aku mendorongmu duluan ke luar."

"Ah, itu sih cuma mitos saja."

"Benar kok!" Hanabi berdecih. "Sudah diputuskan kalau aku kakak dan kau adiknya, Hinata!"

Hanabi menggerutu kecil pada Hinata yang menggodanya. Mereka bertikai konyol pagi-pagi di kebun. Pemandangan itu tidak luput dari sosok beriris amethyst yang memerhatikan dari depan pintu. Sasuke benar, ada hal lain yang musti dijaga.

.

.

Note:

Special chapter bagian 12.5 tentang detail adegan SasuHina di scene awal, hanya tersedia di karyakarsa dan berbayar.

!!! SANGAT MENGANDUNG LEMON !!!