Chereads / UNWANTED BOND [SASUHINA | 21+] / Chapter 6 - Unwanted Bond SasuHina 06

Chapter 6 - Unwanted Bond SasuHina 06

Unwanted Bond (SasuHina) 06

by

acyanokouji

All Naruto's characters are belong to Masashi Kishimoto.

Saya cuma pinjem doang, kok. Selamat membaca.

Warning: Super OOC, gaje, typo(s), crack couple, bosenin, alkohol dan lemon!

.

.

Sasuke tidak pernah membayangkan ia akan pergi ke supermarket untuk membeli pembalut wanita. Sasuke bukannya seorang patriarki. Ia hanya merasa bingung karena ini kali pertama untuknya. Apalagi saat mendapatkan tatapan aneh dari si penjaga kasir. Rasanya Sasuke ingin mengutuk laki-laki berambut bob itu karena sudah merendahkan.

"Ini. Seperti yang kau pesan. Tidak ada sayapnya." Sasuke menyerahkan sebuah kantung belanja pada Hinata saat sudah tiba di dalam mobil.

"Apa kau akan diam saja?" Sasuke mengernyit pada Hinata. "Tidak mungkin 'kan aku pakai ini di sini?"

"Oh." Sasuke baru sadar. Ia mulai menyalakan mesin mobil.

"Kita akan kemana?" Sasuke bertanya, ia juga bingung musti kemana.

"Berapa lama lagi untuk sampai rumah?"

"Sekitar satu jam, mungkin."

Siapa sih yang memilih lokasi kremasi Hiashi Hyuuga? Kenapa harus jauh dari rumah?

"Mustinya aku titip beli celana tadi."

Sasuke diam mendengar Hinata. Celana? Hinata butuh celana? Kalau tidak salah, ia masih menyimpan celana olahraganya di mobil –yang rencananya akan ia pakai untuk melawan Naruto main tenis setelah dari pabrik senin besok. Mungkin bisa ganti jadwal saja.

"Apa yang kau lakukan?" Hinata menatap bingung pada Sasuke yang menghentikan mobil. Pria itu juga terlihat mencari-cari sesuatu di jok belakang.

"Ini. Kau bisa pakai celana olahragaku." Sasuke menyerahkan celana olahraga panjang berwarna hitam.

Hinata memandang celana olahraga yang diberikan oleh Sasuke. "Tunggu apa lagi? Ayo carikan aku toilet."

Sasuke mampir di salah satu pom bensin. Hinata turun dari mobil menuju toilet wanita. Jalannya terbata-bata. Sambil menutupi belakang celananya, Hinata pergi dengan waspada.

Sasuke menunggu sekitar lima belas menit. Hinata kembali memakai celana olahraga Sasuke. Lucu sekali. Atasannya yang memakai kemeja crop top terlihat kontras dengan celana yang digunakannya.

"Kenapa ketawa?" Hinata mendelik pada Sasuke saat memasuki mobil.

"Aku hanya teringat masa lalu." mata Hinata menatap Sasuke seolah meminta penjelasan lebih lanjut.

"Kalu ingat? Sekitar sepuluh atau sebelas tahun yang lalu, kau mendapatkan menstruasi pertamamu."

Oh cerita yang memalukan itu, ya?

"Aku masih ingat betul kau menangis diam di dalam kamar seharian. Saat kutemui, kau menangis dan berkata kalau kau merasa akan segera meninggal." Sasuke terkekeh, Hinata menatap kesal.

"Sampai sekarang aku bingung kenapa kau malah cerita padaku, bukan pada Nyonya Hikari."

"Aku masih mending daripada Hanabi yang berteriak heboh!" Hinata berdecak kesal.

Benar juga. Sasuke jadi ingat tak lama setelah Hinata mengalami menstruasi pertamanya, Hanabi juga mengalami hal yang sama. Bedanya kembaran Hinata itu memilih berteriak dari arah kebun dan membuat seluruh keluarga khawatir. Sepertinya Neji benar. Mereka memang butuh mengingat momen-momen indah saat masih bersama dulu.

.

.

Hanabi menatap heran saat Hinata dan Sasuke kembali dengan cepat. Apalagi saat melihat pakaian Hinata. Kenapa pakaiannya sangat tidak matching?

"Kau kenapa, Hinata? Terjatuh di selokan?" sindiran Hanabi hanya ditanggapi Hinata dengan decakan sambil berlalu. Perutnya mulai merasa kram sekarang.

"Sopan sekali!" Hanabi menyahut lagi. Kesal karena diabaikan oleh Hinata.

"Hanabi, apa kau punya obat pereda nyeri?" Sasuke mendekati Hanabi yang hendak berjalan menuju dapur.

"Untuk apa? Kau terlihat sehat." bukannya menjawab, Hanabi malah bertanya balik.

"Kau tahu? Pereda nyeri yang biasa digunakan oleh para wanita." Hanabi mengernyit. Untuk apa Sasuke meminta obat khusus wanita padanya? Lalu, seketika ia teringat pada penampilan Hinata saat tiba di rumah. Ia tersenyum miring dan berbalik pada Sasuke.

"Meh.. Kencan kalian gagal karena tamu bulanan, ya?" Hanabi tersenyum mengejek. Sebelum Sasuke menasihatinya, Hanabi memilih pergi ke dalam kamar. Membantu 'calon adik ipar', mungkin?

Hinata yang tengah bergelung di atas ranjang berdecak sebal mendengar ketukan pintu kamarnya. Siapa sih yang ganggu Hinata saat ia sedang sakit perut? Neji lagi kah?

"Masuk saja, pintunya tidak aku kunci!" teriak Hinata.

Tak lama Sasuke masuk dari balik pintu. Aneh, ini kali pertama lagi Hinata melihat Sasuke di kamarnya.

"Kenapa kau kemari?" Hinata berusaha mendudukkan dirinya, kram perutnya cukup menyiksa.

"Ini. Seingatku kau sering mengalami nyeri saat menstruasi. Apakah kau masih mengalaminya?" Sasuke mengulurkan sebutir obat dan segelas air pada Hinata.

Hinata terdiam sebentar. Sudah delapan tahun dan Sasuke masih ingat? Bagaimana bisa? Cukup lama Hinata berpikir hingga akhirnya mengambil dan meminum obat yang Sasuke berikan.

"Terima kasih." kata Hinata. Ia coba menyandarkan diri pada kepala ranjang.

"Kenapa kau ke sini?" Hinata masih curiga. Tidak mungkin Sasuke menghampirinya hanya untuk memberi obat, 'kan?

"Tidak papa. Apa kau sudah mendingan?" Sasuke menaruh gelas di atas meja kecil samping ranjang Hinata. Sementara itu, yang ditanya malah mengernyit.

"Tidak mungkin efeknya langsung terasa, 'kan?"

Sasuke mengangguk. Benar juga.

"Apa kau senang pergi denganku, Hinata?"

Hinata terkejut. Pertanyaan macam apa? Maksudnya juga senang bagaimana? Karena bisa mengetahui makam ayahnya?

"Tidak mungkin aku menangis kalau aku senang."

Jadi, Sasuke salah pilih tempat kencan, ya?

"Apa senin kau sibuk?" Sasuke bertanya.

"Ya. Aku akan melihat lokasi tempat pembukaan usahaku nanti."

"Kau akan pulang jam berapa?"

Kenapa Sasuke peduli?

"Tidak tahu. Mungkin jam delapan atau sembilan."

"Boleh aku menjemputmu? Aku ingin mengajakmu nonton film."

'Tidak." Hinata menjawab tegas.

"Kenapa?"

Kenapa katanya? Tentu aku tidak mau mengunjungi tempatku patah hati.

"Aku tidak ingin menonton di bioskop. Terlalu banyak orang." alibi Hinata membuat Sasuke tampak berpikir.

"Bagaimana kalau menonton di apartemenku?"

"Kenapa?"

"Kalau di rumah ini aku takut ada yang mengintip."

Pfft. Hinata ingin tertawa. Tiba-tiba ia teringat kejadian semalam. Bukannya Sasuke yang malah mengintip? Lagian, kenapa harus takut? Mereka 'kan cuma nonton film.

"Maksudku, kenapa kau ingin mengajakku menonton, Sasuke?"

"Sepertinya aku salah memilih tempat kencan untuk kita. Aku ingin menebusnya."

Hinata mengernyit. Kenapa Sasuke musti berusaha begitu? Dari awal 'kan ide kencan muncul karena ledekan Hanabi saja.

"Kau mau, Hinata? Kita hanya akan menonton kok."

"Bukankah kita tidak boleh menginap di tempat lain? Si panda merah nanti marah." Sasuke berpikir sebentar. Panda merah siapa?

"Aku akan bicara pada Neji."

Hinata menggigit bibir bawahnya. Sasuke kukuh sekali.

"Baiklah. Tapi aku yang akan menghampirimu ke apartemen. Kau tidak boleh menjemputku." Sasuke hendak bertanya alasannya tapi Hinata keburu melanjutkan bicara. "Sekarang lebih baik kau keluar dari kamarku! Aku mau tidur."

Hinata bergerak untuk menidurkan badannya. Memunggungi Sasuke, ia menyembunyikan wajahnya yang masih terheran-heran.

.

.

Seperti yang dikatakan oleh Sasuke, Neji mengizinkan mereka berdua menginap di apartemen Sasuke. Hinata heran, kok bisa kakaknya membiarkan ia tidur berduaan dengan orang lain? Yah, meskipun Hinata memang beberapa kali melakukannya sih.

Kalau kalian bertanya bagaimana Sasuke mendapat izin, tentu dengan permohonan dan sedikit ancaman. Bukan ancaman nyawa. Hanya ancaman tentang membocorkan informasi –yang kalian tahu apa-.

"Jadi, kita akan nonton apa?" Hinata tiba di apartemen Sasuke pukul sembilan lewat lima belas menit. Kalau ada yang tanya, tentu saja di malam hari.

"Aku berlangganan netflix. Kau mau nonton apa?"

Sasuke duduk di samping Hinata setelah menaruh popcorn, ayam goreng, dan dua gelas minuman soda. Well, yup. Persiapan yang matang hanya untuk menonton film, ya?

"Entahlah. Aku kurang update." Hinata berpikir. "365 Days: This Day, mungkin?"

Sasuke terkejut. Tentu. Ia berdeham karena gugup.

"Bukankah itu tontonan untuk pasangan?" Hinata menoleh dan menatap lekat pada Sasuke yang juga menatapnya dengan gusar. Lalu, Hinata tersenyum miring sambil mendekati Sasuke.

"Kenapa? Bukankah kita juga pa-sa-ngan?"

Setiap kata yang Hinata keluarkan dari mulutnya penuh dengan tekanan. Ditambah tangannya yang menyentuh-membelai lengan Sasuke.

"Kurasa..." Sasuke meneguk ludah. "Ini belum saatnya."

"Tsk. Kau memang tidak asik." Hinata menjauhkan diri. Ia mengambil popcorn dan mulai memakannya.

"Kenapa diam saja? Tolong pindahkan ke film barbie. Bebas series mana saja."

Hinata sudah asik makan popcorn sedangkan Sasuke masih diam saja. Merasa tak ada gerakan dari Sasuke, Hinata menoleh. Tak lama pria itu bergerak dan mengambil remot.

"365 Days?? Bukankah kau tidak mau menontonnya?"

"Aku tidak bilang begitu." Sasuke mengambil ayam goreng dan kembali bersandar pada sofa setelah tayangan film mulai muncul.

Sekarang giliran Hinata yang terdiam. Ia terkejut dan bingung dengan sikap Sasuke. Lagaknya seperti pria dewasa, sok bijak. Tapi ujung-ujungnya dia menuruti permintaan Hinata juga. Kenapa?

Hinata hanya berdoa semoga kegiatan menonton film ini tidak berakhir menjadi 'netflix and chill'. Masa dia yang jadi tontonan film? Semoga saja tidak. Apa semoga iya, ya?

.

.

Saat itu sudah menjelang liburan tahun baru. Tahun pertama Hinata dan Hanabi sebagai seorang siswa SMA. Sementara itu, Neji sudah menyusul Sasuke yang kini memulai tahun ketiganya sebagai mahasiswa di universitas.

"Neji, bagaimana tahun pertamamu sebagai mahasiswa?" Hiashi bertanya pada putra sulungnya yang kini sedang menemaninya minum teh.

"Cukup baik. Kurasa aku melalui ujian semester pertamaku dengan baik."

"Kak Neji, apa di universitas banyak orang-orang hebat? Kudengar ada banyak anak konglomerat di sana." Hanabi yang ikut bergabung menatap kakaknya dengan berbinar.

Neji tersenyum pada Hanabi. Adiknya itu memang cukup ambisius. Selama ini yang ada dipikirannya adalah menjadi dan bersanding dengan yang terbaik. Bagus, darah Hyuuga-nya sangat matang.

"Tentu saja. Kalau tidak, mana mungkin aku bisa masuk ke sana, 'kan?" Neji berkata dengan bangga. Membuat ayah dan adiknya terkekeh.

Sasuke yang sedang lewat tak sengaja melihat interaksi itu tersenyum. Hiashi dan kedua anaknya terlihat sangat hangat. Mereka bahagia dengan sederhana meskipun ia tahu, keluarga kecil itu masih berkabung karena ibu mereka yang meninggal beberapa bulan lalu. Saat hendak mendekati meja, tangan Sasuke tiba-tiba ditarik.

"Hinata?"

Sasuke terheran saat Hinata menariknya menuju kebun yang sekarang tertutup salju.

"Ada apa?" Sasuke makin heran karena Hinata yang di depannya masih menunduk saja.

"Hei, kau tidak apa-apa?" Sasuke akan mendekati Hinata saat perempuan itu mendongak. Menampilkan wajahnya yang terlihat gusar.

"Cium aku."

Sekarang Sasuke terkejut setengah mati. Hinata bilang apa tadi?

"Apa?"

"Kubilang, cium aku, Sasuke."

Sasuke menatap Hinata sambil mengernyit. Mata Hinata terlihat sedikit berkaca-kaca. Rahangnya mengeras dengan tangan terkepal.

"Kau kenapa, Hinata? Apa ada yang mengganggumu?"

"Jangan alihkan pembicaraan, Sasuke!" Hinata sedikit berteriak.

"Aku cuma memintamu untuk menciumku. Apa tidak bisa?"

Cuma katanya? Apa Hinata tidak sadar kalau perkataannya membuat Sasuke ikut gusar? Bagaimana bisa ia mencium perempuan berusia lima belas tahun itu?

"Aku tidak mau." kata Sasuke tegas.

"Kenapa?" Sasuke diam. "Apa karena aku kurang cantik?"

Hinata menatap Sasuke semakin tajam. Ia melangkah mendekati Sasuke.

"Jangan mendekat, Hinata."

"Memangnya kenapa?" Hinata tidak mendengarkan.

"Kau itu seperti adikku. Kita tidak boleh begini."

"Omong kosong! Kau bukan kakakku!"

Hinata sudah berada tepat di depan Sasuke. Badannya yang hanya setinggi dagu Sasuke membuat ia musti mendongak.

"Kau sudah lima belas tahun, Hinata. Kau seharusnya paham kalau kita tidak boleh begini."

"Justru karena aku sudah lima belas tahun makanya aku mengerti!"

Sasuke mengernyit. Hinata kenapa sih?

"Aku akan menganggap kau tidak pernah bicara seperti itu. Aku akan masuk duluan." Sasuke berbalik hendak masuk ke rumah. Tapi, jarinya ditahan oleh Hinata. Tanpa berbalik, Sasuke menunggu Hinata bicara.

"Kalau situasinya berbeda, apa kau mau melakukannya?" Hinata bertanya pelan. Bahkan suaranya terdengar lirih dan sedikit bergetar.

Hinata hanya butuh Sasuke berbalik. Tidak apa kalau laki-laki itu tidak menjawabnya. Tidak apa kalau laki-laki itu tidak memeluk atau mengikuti keinginannya. Sasuke tidak perlu bicara apapun. Tapi, kenyataannya Sasuke memilih pergi. Meninggalkan Hinata sendirian saat salju mulai turun di penghujung tahun.