Unwanted Bond (SasuHina) 07
by
acyanokouji
All Naruto's characters are belong to Masashi Kishimoto.
Saya cuma pinjem doang, kok. Selamat membaca.
Warning: Super OOC, gaje, typo(s), crack couple, bosenin, alkohol dan lemon!
.
.
Selama film berlangsung, Hinata dan Sasuke terdiam. Mereka mencoba untuk menikmati tontonan yang lebih banyak adegan mesum itu. Mungkin mereka tidak sadar, tetapi keduanya bergerak gusar hingga menciptakan jarak antar ujung sofa.
"A-Apa..." Sasuke berdeham guna membersihkan tenggorokannya. "Apa kau menikmati film-nya?"
Hinata menoleh pada Sasuke. Ia takjub, bagaimana bisa Sasuke bertanya di tengah film begini?
"Menurutmu bagaimana?" Hinata bertanya pelan.
Sasuke diam sebentar. Bagus, mulai ada konflik di film itu. Beberapa menit telah berlalu, Sasuke akhirnya ikut menoleh dan menemukan Hinata yang sedang menatapnya lekat.
"Apa sekarang kau bisa menjawabnya, Sasuke?"
"Menjawab apa?"
"Aku tanya, apa kau mau melakukannya kalau situasinya berbeda?"
Sasuke diam lagi. Hinata ikutan diam. Mereka saling bicara melalui tatapan.
"Tidak ada yang berubah, Hinata." Sasuke menyerah lebih dulu. Ia memalingkan wajahnya.
"Kenapa?" Hinata mendekat dan menarik wajah Sasuke agar menoleh padanya. "Apa kau masih akan menolakku?"
Sasuke tahu ada yang berbeda tentang perasaannya pada Hinata sejak usianya masuk lima belas tahun. Perasaan yang membuatnya ingin selalu berada di sisi Hinata, ingin selalu melindunginya, ingin Hinata bergantung padanya.
Sasuke juga merasakan ada perbedaan antara ia dan Hinata yang baru berusia sepuluh tahun. Sasuke mengalami mimpi basah untuk pertama kali. Ia dua tahun lebih cepat mengalami pubertas dari Hinata. Akhirnya, ia mengerti, Hinata cukup kecil untuknya. Tapi, Sasuke semakin paham, ia yang sudah masuk bangku SMA tidak boleh terlalu dekat dengan Hinata. Apalagi dengan perasaannya.
"Aku..." Sasuke memandang wajah Hinata yang seolah siap menerimanya. "Aku akan tidur di kamar tamu. Kalau kau mau tidur, kau bisa pakai ranjang di kamarku."
Sasuke pergi lagi. Meninggalkan Hinata yang masih bertanya-tanya. Sebenarnya, apakah mereka masih merasakan hal yang sama? Mereka tahu, dulu mereka merasakan getaran yang sama. Tidak ada yang bisa memungkiri itu. Tapi, bagaimana cara untuk mengutarakannya dengan benar?
.
.
Setelah kencan pertama part kedua itu, Hinata dan Sasuke malah menjaga jarak. Hinata kembali disibukkan dengan persiapan club-nya. Sedangkan Sasuke masih bekerja sebagai orang kantoran biasa. Sejauh yang Hanabi hitung, ini sudah hampir dua bulan dari kencan Hinata dan Sasuke yang gagal itu.
"Bagaimana –ka" Neji menghentikan ucapannya saat ditatap tajam oleh Hanabi. Ia lalu berdeham dan memutuskan untuk kembali makan.
"Kalau kalian ingin tahu, aku menjual habis kimono edisi musim semi tahun ini." Hanabi berucap dengan bangga. Neji ikut tersenyum bangga atas pencapaian perusahaan. Sasuke juga diam-diam tersenyum kecil. Hinata? Ia tidak paham tentang perusahaan. Jadi, ia diam saja.
"Serius? Tidak ada yang mau menyelamatiku?" Hanabi menatap Neji, Sasuke, dan Hinata secara bergantian.
"Kau pamer pada orang-orang perusahaan yang jelas tahu kabarnya." Hinata bicara tak acuh. Ternyata Hanabi sama payahnya dengan Neji dalam berbasa-basi.
"Biar kuberi pengumuman yang mengejutkan." Hinata memberi jeda. "Club-ku akan resmi buka minggu depan."
"Wow! Kau serius benar buka usaha di Tokyo?" bagus, Hanabi kaget. Hinata lebih pandai memberi kejutan.
"Apa? Kau buka club lagi, Hinata?" Neji bertanya heran. Hinata yang ditanya makin heran.
"Memangnya kau mengira usaha apa yang bisa Hinata rencanakan?" Hanabi berdecak pada Neji. Sepertinya Neji jadi yang paling tidak memahami alur cerita ini.
"Kukira kau akan membuka usaha berupa bisnis butik atau guci hias Hyuuga."
"Itu bukan passion-ku." Hinata mengedikkan bahu.
"Tak kusangka kau sebodoh ini, Kak." Hanabi geleng-geleng kepala. "Tapi kurasa lebih payah lagi dia."
Sekarang Hanabi menatap Sasuke, membuat lelaki bermata hitam itu kebingungan. Kenapa sih Hanabi suka menariknya saat kehabisan bahan ribut dengan Hinata?
"Aku? Kenapa?"
"Dari reaksimu sepertinya kau tidak tahu rencana Hinata. Bagaimana bisa? Kau 'kan tunangannya."
Duh, Hanabi mending diam saja deh daripada membeberkan cerita.
"Kutebak, kalian tak bicara sejak insiden gagal kencan itu?"
Tuh, 'kan. Tebakan Hanabi tentang asmara Hinata dan Sasuke memang sering tepat sasaran.
"Hanabi, hentikan. Mereka sudah dewasa. Biar mereka selesaikan sendiri." dan Neji masih jadi tim netral, yang percaya Hinata dan Sasuke bisa menyelesaikan masalah mereka sendiri.
"Jadi, Hinata, kau bicara di sini, itu artinya kau mengundang kita ke acara pembukaan usahamu, 'kan?"
Hinata mengernyit. Ia tidak bermaksud begitu. Ia tahu kalau keluarganya bukan pecinta alkohol sepertinya. Inilah kenapa mereka cukup bertolak belakang.
"Kalau kalian ingin." Hinata menanggapi pertanyaan Neji dengan acuh tak acuh.
"Bagus. Aku akan datang dengan Sakura." Hanabi mendelik pada Neji. Apa ia tidak salah dengar?
"Tunggu, kau akan pergi bersama Sakura Haruno? Apa ada yang aku lewatkan?" Hanabi mengangkat tangannya. "Kau tidak serius menerima saran orang-orang Hyuuga itu, 'kan?"
"Sakura adalah temanku saat SMA. Kita juga jadi rekan bisnis sekarang. Memangnya ada yang salah?"
Mulut Hinata sangat gatal ingin ikut nimbrung. Ada sesuatu yang ingin ia konfirmasi. Tapi, ia bisa melihat mata Sasuke yang seolah memintanya untuk tidak ikut campur.
"Kau juga bisa mengajak calon pasanganmu, Hanabi."
Berita mengejutkan lagi. Hanabi sudah punya pasangan?
"Wow, sekarang kau berhasil mengejutkanku, Hanabi."
"Tsk. Aku hanya bertukar pesan melalui aplikasi dengannya. Bukan berarti aku benar-benar tertarik padanya." Hanabi berdecak kesal pada Sasuke.
Hinata baru tahu, ternyata banyak hal tersembunyi yang cukup mengejutkan di keluarganya. Selain Sasuke, ia bingung musti bergosip dengan siapa. Mungkin setelah pekerjaannya sedikit longgar, ia akan mulai bicara dengan Sasuke lagi.
.
.
Hinata selesai membersihkan diri. Ia mengganti pakaiannya dengan piyama tidur berlengan panjang. Saat ia sedang merawat kulit wajahnya, suara ketukan pintu terdengar. Mungkin mulai sekarang ia harus terbiasa dengan hal itu.
"Hei."
Sasuke masuk setelah mendengar suara Hinata. Ia berjalan mendekat dan sedikit mengernyit saat melihat Hinata. Piyama berwarna ungu muda dengan motif kepala kelinci. Imut sekali.
Hinata menatap Sasuke melalui cermin di depannya. Ia bisa merasakan tatapan yang Sasuke berikan juga padanya. Lalu, Hinata berdeham sebagai kode bertanya maksud kedatangan Sasuke.
"Selamat untuk usaha barumu." Sasuke tersenyum pada Hinata melalui cermin.
"Terima kasih." Hinata menanggapi seadanya, kembali mengaplikasikan skincare rutinnya.
"Kapan acaranya? Aku boleh datang, 'kan?"
"Tentu, seperti yang kubilang tadi."
"Sebagai pasanganmu?"
Hinata terdiam. Gerakannya terhenti. Ia kembali menatap Sasuke melalui cermin.
"Maksudmu?"
"Aku ingin datang ke acara itu bersamamu, sebagai pasanganmu. Kau benar, mungkin aku yang beruntung bisa berpasangan dengan perempuan sehebat dirimu."
Keh, hebat apanya?
"Hinata." Sasuke bicara lagi karena Hinata masih diam. "Aku ingin kita mencobanya dengan benar. Kita sudah memutuskan untuk bertunangan, 'kan? Artinya kita adalah pasangan. Aku akan melakukannya dengan baik kali ini."
"Hanya karena itu?" Hinata berbalik, menghadap Sasuke. "Hanya karena kita sudah terlanjur bertunangan?"
"Tidak."
"Lalu kenapa?"
Memang benar. Kita semua memerlukan validasi.
"Aku masih menyukaimu."
.
.
Hanabi bergerak gusar. Ia beberapa kali menghembuskan napasnya sebelum masuk ke dalam kafe. Terima kasih pada ejekan Neji. Ia akhirnya memutuskan untuk bertemu dengan teman kencan online-nya(?)
Bila musti diceritakan, Hanabi iseng main aplikasi anonim sejak satu setengah tahun lalu. Saat ia akhirnya lulus dari universitas. Nama samarannya adalah brown pearl. Beberapa bulan berselancar di aplikasi, ia bertemu dengan chubby panda. Mereka mulai sering berkirim pesan. Bercerita tentang keseharian mereka tanpa pernah bertukar foto.
Hingga akhirnya hari ini tiba. Hanabi dan si chubby panda memutuskan untuk bertemu. Alibinya Hanabi ingin mengajak laki-laki itu ke acara pembukaan usaha saudaranya. Tentu ia belum bilang kalau dirinya adalah Hyuuga. Jangan bilang acaranya di club juga. Bagaimana kalau ia dihakimi sebagai perempuan 'nakal'.
"Aku ingin pesan es cappucino satu." Hanabi berkata pada kasir. Membayar pesanannya dan mulai mencari tempat duduk.
"Hyuuga-san?" Hanabi menoleh saat ada yang memanggil nama keluarganya. Ia menemukan pria bersurai merah di kursi dekat kasir.
"Sabaku-san?" kebetulan sekali. Neji bilang besok lusa Gaara Sabaku akan berkunjung ke rumahnya. Seperti yang pernah dibilang, pengacara itu akan mengawasi kehidupan keluarganya.
"Kenapa kau di sini? Bukankah distrik ini cukup jauh dari rumahmu?" Hanabi mengambil kursi di depan Gaara. Menumpang sebentar.
"Ada urusan." jawab Hanabi. "Kau sendiri?"
"Bertemu teman."
"Oh."
"..."
"Mengenai kunjunganmu ke rumah Hyuuga, menurutku kau tidak perlu melakukannya, Sabaku-san. Kuberi tahu, kami berempat berhasil hidup bersama selama lebih dari tiga bulan ini. Meskipun Hinata dan Sasuke sempat menghilang di satu malam, tapi aku menanganinya dengan baik." Hanabi tersenyum bangga.
"Hinata-san dan Sasuke-san menghilang?" Hanabi diam. Apa ia mustinya tidak cerita?
"Pergi berkencan." Hanabi bicara dengan gugup. Ia mengambil gawainya dan memeriksa sesuatu. Lalu, pelayan datang dengan membawa pesanannya.
"Sepertinya aku harus pindah. Apa temanmu sudah datang, Sabaku-san?"
Gaara dan Hanabi terdiam. Mereka berpandangan sebentar. Hanabi kembali mengecek gawainya. Kaos putih polos, kemeja kotak-kotak yang digunakan sebagai luaran, celana jeans, dan jam tangan hitam di tangan sebelah kanan.
"Chubby panda?!!"
.
.
Hanabi pulang ke rumahnya dengan perasaan kesal. Ia menghentak-hentakan kakinya saat berjalan menuju kamarnya. Bahkan, ia pun mengabaikan panggilan Neji dari ruang tengah.
"Anak itu kenapa sih? Jangan-jangan dia terlibat masalah lagi dengan orang lain." Neji menghela napas lelah.
"Biarkan saja, Neji. Hanabi pasti bisa menghadapinya." sebuah suara membuat Neji menoleh. Ah, iya, Sakura Haruno ada di rumahnya.
"Tapi dia terlalu sering bertikai dengan orang lain. Aku sedikit khawatir."
"Dan dia selalu bisa memperbaikinya. Aku kenal Hanabi dengan baik." Sakura mendekat, ia menyentuh bahu Neji.
"Maaf merepotkanmu, Sakura." Neji mendesah. "Hyuuga dan permasalahannya memang sangat memusingkan."
"Haruno juga bukan keluarga yang sempurna. Kita semua belajar dari masalah." Sakura tersenyum sambil mengelus bahu Neji. Lalu, mereka kembali melanjutkan pembicaraan mengenai bisnis dan persiapan pergi ke pesta Hinata nanti malam. Memunggungi perempuan coklat yang menatap dari jauh.
"Kau tidak cemburu, Matsuri?" Sasuke muncul dari balik dapur.
"Apa aku punya hak untuk cemburu?" Matsuri berkata lirih.
"Tentu saja. Aku mengetahui hubungan kalian. Kau mencintainya dan dia membutuhkanmu. Kau berhak atas perasaanmu, Matsuri."
"Membutuhkan tubuhku, yang kebetulan selalu ada di dekatnya." Matsuri meralat ucapan Sasuke dan tersenyum kecut.
"Kau bisa pergi kalau kau mau." ucapan Sasuke membuat Matsuri menoleh padanya. "Kau masih sangat muda, Matsuri. Kau berhak bahagia. Meskipun tidak bersama Hyuuga."
"Aku tidak bisa."
"Kenapa?"
"Sepertimu, aku juga ingin di sisinya. Mencintainya, membantunya semampuku. Hyuuga bukan hanya sebuah keluarga untukku."
"Tapi kau tahu kalau kau tidak bisa bersamanya, 'kan? Neji punya banyak beban yang ia tanggung. Termasuk Sakura. Ia harus berhasil sebagai penerus keluarga."
"Kau benar. Mereka tidak menganggapku anak seperti dirimu, Sasuke." Matsuri tersenyum pilu. Isakannya hampir lolos dari mulutnya. "Tapi aku tidak akan pergi."
"Aku akan mendukungnya meski hanya menjadi pelayannya. Aku tidak akan pergi. Kecuali dia yang memintaku atau dia yang memilih untuk pergi."
Hati Sasuke mencelos mendengar perkataan Matsuri. Sungguh, ia tidak bermaksud menyinggungnya. Matsuri juga sudah seperti keluarganya. Sejak kecil mereka mengabdi untuk keluarga Hyuuga. Sasuke hanya tidak ingin Matsuri bertingkah bodoh sepertinya. Mencintai seseorang yang tidak boleh kau miliki itu sangat menyakitkan, 'kan?