Chereads / UNWANTED BOND [SASUHINA | 21+] / Chapter 8 - Unwanted Bond SasuHina 08

Chapter 8 - Unwanted Bond SasuHina 08

Unwanted Bond (SasuHina) 08

by

acyanokouji

All Naruto's characters are belong to Masashi Kishimoto.

Saya cuma pinjem doang, kok. Selamat membaca.

Warning: Super OOC, gaje, typo(s), crack couple, bosenin, alkohol dan lemon!

.

.

Finally, club baru Hinata resmi dibuka. Lokasinya di dekat taman dan sebuah gedung yang biasa dipakai untuk pameran. Club itu memakai bangunan bekas supermarket yang gulung tikar. Well, modal yang besar untuk menghabiskan tabungan Hinata. Setelah ini ia harus benar-benar bekerja keras bagai Hyuuga.

"Selamat atas pembukaan club-mu, Bos!" Ino memeluk Hinata dari samping. Akhirnya ia akan mulai bekerja.

"Terima kasih, Ino. Kau banyak membantu." Hinata tersenyum pada Ino. "Oh, sampaikan terima kasihku pada temanmu juga. Polisi yang bantu mengurusi masalah administrasi, yang pasangannya mirip sepertiku."

Ino tertawa pada Hinata. Ia masih ingat bagaimana Shikamaru, teman detektifnya, terkejut saat bertemu Hinata. Wajah Hinata mirip seperti pacarnya. Tentu wanita Shikamaru bukan bermarga Hyuuga, kali ini.

"Dengan senang hari. Mungkin kapan-kapan aku akan mengundang Shika dan pacarnya. Kalian akan terkejut saat bertemu satu sama lain." Hinata menggeleng, mungkin sebaiknya tidak usah.

"Jangan terus menempel padanya, Ino. Hinata punya banyak urusan." Kiba muncul, memisahkan Ino dan Hinata.

"Oh, anjingmu sangat pencemburu, Hinata." Ino mendengus, Kiba mendelik kesal.

"Apa kau mau jadi pasangan dansaku, Hinata?" tanya Kiba.

"Musiknya belum mulai dimainkan, 'kan?"

"Ya. Hanya persiapan." Ino tersenyum meremehkan.

Bicara soal pasangan, Hinata sepertinya melupakan sesuatu. Atau seseorang atau juga sekelompok orang.

"Hinata." sekarang Sasuke yang muncul.

"Hai, tampan! Kau sendirian?" Ino tersenyum genit. Pria jangkung di depannya oke juga.

"Jaga matamu, Ino! Dia tunanganku." Hinata mengangkat alisnya pada Ino sebentar. Lalu, ia mendekat pada Sasuke dan membawanya pergi.

"Kalau kau bosan, kau bisa memberikannya padaku, Bos!" Ino sedikit berteriak agar Hinata bisa mendengarnya. Sambil mengedikkan bahu, ia meninggalkan Kiba yang ditinggalkan.

"Ada apa kau mencariku?" tanya Hinata. Kini ia dan Sasuke sudah menjauh dari 'pengganggu'.

"Neji mencarimu." setelahnya Sasuke dan Hinata pergi menuju meja keluarga Hyuuga berada.

"Hinata!" Neji tersenyum senang. Akhirnya adiknya muncul.

"Selamat atas usaha barumu. Meskipun aku lebih senang kau bisnis butik saja sih." Sakura menyenggol Neji.

"Jangan dengarkan dia, Hinata. Kau berhak melakukan apapun yang kau mau. Omong-omong, selamat ya!" Sakura ikut menyelamati.

"Aku yakin darah Hyuuga masih mengalir dalam tubuhmu. Kau harus berhasil dengan bisnismu ini, adik!" Hinata mengernyit. Hanabi kenapa? Sudah mulai mabuk?

"Ya, ya, ya. Terima kasih atas ucapan kalian. Tapi..." Hinata menoleh. "Siapa yang mengundang pengacara ke sini?"

Hinata heran. Kenapa si panda merah ada di acaranya? Perasaan inspeksi masih dua hari lagi. Hinata juga belum butuh bantuan hukum karena melanggar peraturan tuh.

"Dia pasanganku!" Hanabi merangkul Garaa. Bahkan kembaran Hinata itu kini malah mencubit pipi Gaara.

"Mungkin sebaiknya jangan biarkan dia terlalu banyak minum." Hinata menatap geli pasangan aneh itu. "Aku percayakan dia padamu, Kak Sakura."

"Kau bisa mengandalkanku, Hinata." Sakura mengedipkan sebelah matanya pada Hinata yang sekarang mulai pergi sambil menarik Sasuke.

"Mau kemana?" Sasuke menahan tarikan Hinata.

"Berdansa, denganmu." jawab Hinata enteng. Kini mereka sudah berada di lantai dansa bersama orang-orang.

"Aku tidak –pan"

"Ikuti saja tubuhmu."

Musik mulai dimainkan. Orang-orang yang ada di lantai dansa mulai menari sesuai dentuman lagu. Sasuke bingung musti menari bagaimana. Ia jarang ke club. Paling-paling hanya minum alkohol di apartemen atau bar santai dengan Naruto.

Lain dengan perempuan yang ada di depannya. Hinata menari dengan lincah. Mengangkat kedua tangannya, menggoyangkan pinggulnya, dan sesekali merapat pada Sasuke. Hinata dan mini dress adalah perpaduan yang berbahaya. Apalagi bagi laki-laki –yang mencoba- baik-baik seperti Sasuke.

"Sasuke, kau bilang kau menyukaiku, 'kan?" Hinata mengalungkan kedua tangannya di leher Sasuke. Badannya kian merapat pada Sasuke. Demi mending Mama Mikoto, Sasuke meneguk ludahnya.

"Apa kau bisa menciumku sekarang?"

Sekali lagi, Hinata dan rasa penasarannya yang berbahaya. Kenapa perempuan itu suka sekali menggoda Sasuke sih?

"Baiklah. Kalau kau tidak bisa, aku yang akan melakukannya."

Sasuke terbelalak. Hinata menciumnya. Mereka benar-benar menempelkan bibir satu sama lain. Tak hanya itu, Hinata lebih dulu menjilati bibirnya. Gawat, sasuke musti berhenti sekarang.

"Jangan, Hinata." Sasuke mendorong pelan tubuh Hinata hingga terlepas darinya. Suaranya pelan dibandingkan dentuman musik.

"Kenapa?"

"Kita... tidak boleh." Sasuke pergi ke toilet. Menenangkan diri meskipun membuat Hinata tidak tenang.

.

.

Hinata menghempaskan tubuhnya ke sofa sambil menghela napas kesal. Sasuke Uchiha benar-benar menguji kesabarannya. Eh, sebenarnya siapa yang menguji siapa di sini?

"Kau kenapa, bos? Tidak menikmati pestamu sendiri?" Hidan menatap heran pada Hinata. Sebuah informasi, club di Okinawa akhirnya libur selama dua hari. Semua anggota fokus meramaikan cabang baru di Tokyo.

"Hanya sedikit haus." Hinata mengambil gelas yang tergeletak di meja dan meminumnya.

"Tapi itu bukan air dingin biasa, 'kan?" semua tatapan tertuju pada laki-laki berambut merah. Mirip si panda merah.

"Apa?" laki-laki bernama Sasori Akasuna itu mengedikkan bahu. Mengabaikan tatapan kesal para rekan kerjanya.

"Apa ada yang mengganggumu, Cantik?" Konan mendekati Hinata. Membawa perempuan itu dalam rangkulannya.

"Aku tidak mengerti. Dia bilang kalau dia menyukaiku. Tapi, kenapa dia menolak menyentuhku?"

Kini semua mata menatap pilu pada Kiba yang sedari tadi diam saja. Semua juga tahu kalau perasaan Kiba pada atasannya bukan hanya sekadar pekerjaan. Sayangnya mereka juga tahu kalau Hinata selalu membuat batasan pada Kiba. Berarti orang yang dibicarakan Hinata itu bukan Kiba.

"Mungkin dia hanya sedikit.... bingung? Ya, 'kan?" Konan menatap rekan-rekannya, mencari dukungan.

"Iya, Hinata. Tidak usah dipikirkan. Bersikap seperti biasanya saja. Kau pandai menghukum kalau sesuatu tidak berjalan sesuai kemauanmu, 'kan?" ucapan Hidan sukses membuatnya mendapatkan delikan dari seluruh mata yang ada di meja.

"Apa kau membawanya, Hidan?" tanya Hinata.

"Apa?"

"Permen strawberry. Aku ingin memakannya sekarang." hening, semua juga tahu permen yang dimaksud Hinata.

"Hahaha." Hidan tertawa kikuk. "Apapun untukmu, 'kan? Bos?"

Hidan memberikan beberapa butir permen pada Hinata. Sisa bekalnya di Tokyo. Jelas saja ia seperti dikuliti oleh tatapan menusuk rekan-rekannya setelah Hinata pergi.

"Permen itu salah satu penjualan tertinggi di club, kalau kalian lupa." Hidan berkata gugup. "Aku akan menjual dan menitipkannya pada bartender baru kita juga."

Ino yang baru hendak bergabung hanya mengernyit aneh pada Hidan. "Ada apa sih?"

.

.

Sasuke menyadari Hinata yang sedari tadi diam. Ia juga sadar kalau mungkin Hinata tersinggung. Lalu, ia semakin sadar saat Hinata malah mengikutinya naik ke lantai atas. Menuju kamar Sasuke, bukan malah berhenti di kamar Hinata yang ada di lantai bawah.

"Apa kau perlu bicara sesuatu padaku, Hinata?" Sasuke berhenti sebelum membuka pintu kamar. Ia berbalik dan berhadapan dengan Hinata.

"Tentu. Kita perlu bicara." Sasuke menghela napas. Ia belum bisa berpikir jernih sekarang.

"Ada apa?"

Bukannya menjawab, Hinata malah memakan permen. Aneh. Apa Hinata bisa bicara dengan lancar kalau sambil makan permen begitu? Detik selanjutnya Sasuke kembali terbelalak untuk kedua kalinya. Hinata menciumnya lagi. Kali ini Hinata menggigit bibir bawah Sasuke hingga laki-laki itu harus membuka mulut untuk meringis.

Kejadian selanjutnya hampir membuat Sasuke tersedak. Lidah Hinata sudah masuk ke dalam mulutnya, diikuti dengan permen yang kini juga berpindah pada mulut Sasuke. Rasa strawberry. Sial. Kenapa Sasuke merasa gerah begini?

"Hinah–"

Hinata semakin merapatkan tubuhnya pada Sasuke. Bahkan kini payudara perempuan itu sudah menempel padanya. Bahaya, Sasuke musti mendorong Hinata. Tapi, kenapa tangannya malah bergerak-gerak mengelus punggung Hinata?

Astaga, Sasuke mulai mengikuti permainan ciuman Hinata. Gila, kini malah Sasuke sendiri yang menarik Hinata ke dalam dekapannya. Membelai belakang leher, punggung, dan pantat Hinata yang dibalut mini dress berwarna ungu gelap.

"Akh!"

Double sialan. Sasuke tersadar saat mendengar Hinata mendesah karena tangannya yang meremas pelan pantat Hinata. Mereka harus sembunyi. Sasuke segera membuka pintu di belakangnya dan menarik Hinata masuk, sebelum sosok berambut coklat melihat lebih jauh lagi.

"Apa yang kau lakukan, Hinata?" Sasuke melepaskan Hinata dari pelukannya.

"Kau menerima sentuhanku." Hinata mengelap bibirnya yang basah karena saliva.

"Serius, kenapa kau senang mengujiku, Hinata?!"

"Kau yang mengujiku!"

"Hah?"

Hinata mendekat lagi. Kali ini mendorong Sasuke hingga terjatuh di atas ranjang.

"Kau bilang menyukaiku tapi malah menjaga jarak denganku. Kau sebenarnya kenapa sih?" Hinata setengah berbaring. Menatap tajam pada Sasuke.

"Kau lima tahun lebih muda dariku, Hinata. Ini seharusnya tidak terjadi."

"Omong kosong! Aku sudah dewasa, Sasuke. Kita, sudah dewasa." Hinata berkata tepat di depan wajah Sasuke. "Nikmati saja hadiahmu."

Hinata berbisik pada telinga Sasuke. Lalu meniupnya. Beranjak mencium dan menggigit telinga Sasuke. Membuat laki-laki itu menahan erangannya.

"Apa aku harus selalu memakai perangsang padamu?" Sasuke menoleh, ia menatap Hinata yang memandang sayu. Tidak, tidak, sepertinya ada yang salah.

"Kita bisa melakukannya dengan perlahan, Hinata." Sasuke meraih kepala Hinata dan mencium kening perempuan itu. Mereka bertatapan sebentar.

"Dan kau bisa meredam egomu dulu sebelum itu!" Hinata bangkit. Gairahnya sudah hilang. Ia memilih untuk meninggalkan Sasuke yang masih bergelut dengan gairahnya sendiri.

.

.

Hinata mengernyit. Ia yang sedang mengoleskan saos pada toast isi daging dan sayur-nya terheran melihat Neji celingukan. Seperti mencari seseorang.

"Hinata, hari ini kau akan bekerja?" tanya Neji.

"Ya." Hinata mengangkat bahu, ia bersiap akan makan. "Club-ku buka mulai jam sepuluh kalau kau mau datang." lanjut Hinata.

"Apa hubunganmu dan Sasuke sudah membaik?" Neji bicara dengan cepat. Ia langsung menggigit toast dan mengunyahnya, sedikit gugup.

"Tidak. Sangat memburuk!" Hinata mendengus. Mood untuk sarapannya hampir hilang tapi dia lapar. Kenapa Neji tiba-tiba bertanya soal Sasuke sih? Yasudahlah, tanpa peduli apapun Hinata mulai menggigit toast dengan sedikit kasar.

"Benarkah? Bagaimana bisa? Bukankah semalam –kalian"

Bagus, Neji keceplosan. Hinata sedikit tercekat karena terkejut dan hampir tersedak makanan. Sasuke benar, orang-orang di rumah ini suka mengintip. Siapa yang sangka kalau kakaknya yang sangat penyayang itu balas mengintip Hinata dan Sasuke?

"Semalam apa?" Hinata bertanya lenggang, mencoba untuk tidak peduli.

"Aku tidak sengaja melihat kalian melakukan itu semalam."

"Itu apa?"

"Itu..."

"Iya, apa?"

"Itu..."

"Apa?"

"..."

"..."

"Seks?"

Hinata ingin terbahak. Neji bicara seperti orang sok suci. Peringainya yang lembut dan sopan pada adik-adiknya seperti mencegahnya untuk bicara hal kotor. Padahal mereka sudah sama-sama dewasa. Toh Hinata juga tahu kalau Neji aktif secara seksual. Atau setidaknya pernah melakukan aktivitas seksual. Eh?

"Kami tidak melakukannya kalau kau mau tahu." Hinata tersenyum kecil. Toast-nya tinggal setengah. Sarapan berdua dengan Neji ternyata seru juga. "Kalau pun kami melakukannya, setidaknya kami masuk kamar semalam. Tidak sepertimu."

Hinata melotot sekarang. Ia ikut-ikutan keceplosan. Sebelum akan ada banyak pertanyaan dan pertikaian yang terjadi, Hinata segera bangkit berdiri. Ia sedikit berlari masuk ke kamarnya. Kali ini, Hinata memastikan pintu kamarnya benar-benar terkunci.

"Hinata?!!"

Dan suara teriak Neji mengagetkan Hanabi yang baru bangun sambil memegang kepala. Ternyata hangover itu menyakitkan. Ditambah suara Neji dari dapur membuat telinga Hanabi yang berada di ujung tangga makin kesakitan. Parahnya, Hanabi tidak mampu balas teriak saat ia merasa akan marah.