Unwanted Bond (SasuHina) 03
by
acyanokouji
All Naruto's characters are belong to Masashi Kishimoto.
Saya cuma pinjem doang, kok. Selamat membaca.
Warning: Super OOC, gaje, typo(s), crack couple, bosenin, alkohol dan lemon!
.
.
Makan malam Hinata bersama Neji dan Hanabi setelah kurang lebih delapan tahun sangatlah canggung. Well, meskipun mungkin sejak delapan tahun yang lalu pun sudah canggung. Tapi ini benar-benar rasanya seperti bukan makan dengan keluarga.
"Bagaimana kabarmu, Hinata?" Neji mencoba memulai pembicaraan.
"Serius?" Hanabi menatap malas pada Neji. "Kau bertanya soal kabarnya seperti bertanya pada anak kecil."
"Setidaknya Kak Neji mencoba dengan baik. Tidak sepertimu." ucap Hinata sambil menyuap makanan.
"Kau bukan anak kecil, Hinata. Dan bukankah Hinata sudah di sini sejak kemarin? Kenapa kau baru bertanya, Kak?"
"Kemarin Hinata tidak makan malam bersama kita."
"Ya, karena dia memilih untuk menghindar dan makan malam di kamarnya seperti anak kecil."
"Hentikan sebelum aku melempar sup ini ke wajahmu, Hanabi!" Hinata memukul sendok ke meja. "Kau membuatku dan Kak Neji canggung."
"Ya, dan kalau kau lupa, kau yang membuat keluarga kita canggung, Hinata." lagi, Hinata dan Hanabi saling memandang sengit.
"Bisakah kalian berhenti ribut? Tolong hargai aku sebagai kepala keluarga sekarang." Neji menghela napas lelah. Keadaan jadi hening sebentar.
"Selamat untuk itu!" Neji menatap tajam pada Hanabi. Entah sejak kapan adiknya yang itu mulai pandai menyulut emosi siapapun.
"Aku mungkin tidak sehebat ayah tapi aku tidak ingin gagal menjaga kalian. Tolong bantu tugasku menjadi lebih mudah."
"Bahkan ayah pun gagal." Hinata berbisik pelan.
"Jaga omonganmu, Hinata!" Neji berteriak mendengar bisikan Hinata. "Dia adalah ayahmu. Mantan kepala keluarga Hyuuga. Jangan sekali-kali kau merendahkannya lagi!"
"Dan kalian menguburnya tanpa menungguku!" Hinata menggebrak meja, matanya terlihat berkaca-kaca. Bagus, alasan ngambek Hinata sudah diketahui.
"Jangan manja, Hinata. Saat hidup kau tidak ingin menemuinya tapi saat ia sudah pergi kau malah sedih karena tidak bisa melihatnya? Apa bedanya untukmu?" Hanabi menatap tajam pada Hinata, nadanya menggambarkan kemarahan.
"Kau tidak akan mengerti, Hanabi. Tidak akan. Jangan coba-coba bertanya untuk memahamiku kalau kalian sebenarnya tidak peduli. Sebagai Hyuuga yang kalian pedulikan hanya menjaga citra dan menyelamatkan perusahaan, 'kan?"
"Cih, padahal dia juga masih Hyuuga." Hanabi berbisik pelan saat Hinata mulai bangkit dan pergi dari meja makan.
"Bicaramu sudah cocok seperti orang yang akan berganti marga Uchiha tahun depan!" sekali lagi, Neji menatap tajam pada Hanabi. Siapa sih yang mengajari adiknya memiliki mulut tajam begini?
.
.
Hinata capek ribut dengan Hanabi. Ia masih marah karena tidak bisa bertemu ayahnya untuk terakhir kali. Jujur, Hinata lebih marah pada dirinya sendiri tapi kedua saudaranya memang pas dijadikan sasaran. Dengan niat menenangkan diri, Hinata pergi dari rumah. Ia akan menginap di hotel. Biarlah tabungannya sedikit terkuras untuk makan dan beli baju baru. Hinata menghiraukan komentar pedas Hanabi saat ia pergi di siang hari tanpa koper ataupun mobil.
"Kau lama." Hinata mendorong pintu hotel sambil cemberut. Kemarin ia sudah meminta Kiba untuk menyusulnya ke Tokyo. Dan di sinilah ia sekarang, memasuki kamar hotel yang ditempati Kiba. Atau mungkin akan ditempati oleh ia dan Kiba selama beberapa hari ke depan.
"Maaf, aku habis dari kamar mandi." Kiba menyisir rambutnya yang masih basah sehabis keramas.
"Kenapa mandi duluan?" Hinata bersandar pada punggung sofa. Membuat Kiba menatapnya dalam diam sebentar.
"Jangan mulai menggodaku, Hinata."
"Kenapa? Kau tidak suka?" Hinata memeluk Kiba dari belakang. Pandangan mereka bertemu melalui cermin.
"Aku baru mandi." Kiba menyentuh tangan Hinata yang memeluknya.
"Kau bisa mandi lagi. Kita akan mandi bersama kalau kau mau."
Kiba menggigit bibit bawahnya. Siapa yang tahan digoda Hinata? Mata yang sayu dengan kepala bersandar pada bahunya sangat menggoda.
"Baru beberapa hari di Tokyo dan kau sudah rindu disentuh olehku?" Kiba berbalik untuk berhadapan dengan Hinata.
"Kita tidak jadi melakukannya terakhir kali."
Ya, dan terima kasih pada Sasuke Uchiha yang tiba-tiba muncul. Oke, ini hanya sindiran.
"Kau bawa permen dari Hidan?"
"Nope." Kiba menggeleng. "No candy. Dan aku tetap akan menjadi liar." Kiba menyeringai. Tanda lahir berbentuk segitiga di kedua pipinya benar-benar membuatnya terlihat seperti binatang buas yang akan menerkam dengan senyuman lebar.
Setelah itu kita semua tahu. Kiba dan Hinata saling menerkam. Ruangan itu akhirnya dipenuhi oleh desahan-desahan Hinata. Suara itu terus keluar seolah menggantikan tangis Hinata yang masih sedih karena ditinggal sang ayah.
"Aku benar-benar turut berduka untuk ayahmu, Hinata." Kiba mengelus-elus Hinata yang ada di dalam dekapannya. Setelah kegiatan 'menerkam', mereka berbaring di atas ranjang.
"Setidaknya dia sudah tidak menderita lagi. Dia juga akan bertemu dengan ibu, 'kan?" Kiba berdeham. Suara Hinata terdengar sedikit bergetar.
"Soal pertunanganmu, apa kau akan menerimanya?"
"Tidak tahu."
"Lagipula kenapa ayahmu melakukan itu? Kau mengurus club dengan baik."
"Aku tidak tahu, Kiba. Semuanya terlalu tiba-tiba untukku."
"Kau tidak akan menerimanya, 'kan?" Kiba menarik dagu Hinata agar mendongak padanya. "Pasti ada cara lain, Hinata."
"Entahlah. Rasanya seperti aku terlalu banyak membangkang pada ayahku." Hinata membuang muka dan menghela napas kasar.
"Kau masih mencintai pria Uchiha itu?" Kiba kembali menarik dagu Hinata. Kini ia menggenggamnya dengan sedikit kasar.
"Kau membuat daguku sakit, Kiba."
"Jawab, Hinata!" Kiba berteriak tepat di depan wajah Hinata. Membuat Hinata terkejut dan takut melihat wajah Kiba yang mengeras.
"Kau tidak usah ikut campur, Kiba!" Hinata balik berteriak. Ia menepis keras tangan Kiba yang mencengkramnya.
"Ini urusanku dan apapun keputusanku tidak ada sangkut pautnya denganmu!"
"Kau sudah dewasa, Hinata. Jangan bertingkah seperti perempuan polos yang labil!" Kiba bangun. Ia meluruskan badannya hingga mau tidak mau Hinata pun ikut mendudukkan dirinya.
"Kalau kau bersamanya, lebih baik aku tidak menemanimu lagi."
"Oh, kau bicara seperti aku yang lebih membutuhkanmu, Kiba!"
"Ya! Kau membutuhkanku. Kau memang hanya membutuhkanku untuk menghangatkanmu, Hinata!"
Hinata terkejut. Kiba juga lebih terkejut atas apa yang diucapkannya. Keadaan menjadi hening meskipun Kiba berkali-kali berteriak dalam hatinya. Kemudian Kiba memutuskan untuk berdiri duluan. Ia bangkit dari kasur dan mulai memakai pakaiannya.
"Aku pergi. Aku akan bilang pada resepsionis untuk mengganti dan memperpanjangnya atas namamu." Kiba memutuskan untuk keluar setelah tak kunjung mendengar apapun dari Hinata. Perempuan itu masih diam di atas kasur sambil menutupi badannya yang polos dengan selimut.
.
.
"Mau makan siang bersama?" Sasuke menoleh pada suara yang tiba-tiba muncul di ruangan kerjanya. Neji Hyuuga. Tumben sekali pria itu ada di pabrik.
"Tentu. Ada menu baru di kafetaria kami." Sasuke ikut tersenyum pada Neji. Ia bangkit dan berjalan beriringan menuju kantin.
"Omurice? Matsuri bisa membuatnya di rumah."
"Tunggu sampai kau mencobanya." Sasuke menyeringai. Keduanya duduk di salah satu bangku. Neji terheran, memang apa yang spesial dari omurice di kantin pabrik kimono?
"Sial. Dari mana kau dapat koki-nya?" Neji melotot setelah makan sesuap nasi dan telur. Rasanya sangat nikmat. Semua perpaduan bumbu menyatu dengan baik. Bahkan ia yang biasa tidak suka dengan campuran saus tomat di omurice, kini malah memakannya dengan lahap.
"Told you." Sasuke tersenyum miring. "Omong-omong, ada apa kau ke mari? Belum waktunya pemeriksaan, 'kan?"
"Oh, ya. Sebentar." Neji menelan sisa makanan yang ada di mulutnya. "Aku ingin membahas tentang wasiat ayah."
"Menurutmu, bagaimana kalau kita menerimanya?"
"Kita? Kenapa? Tidak ada untungnya bagiku, 'kan?"
"Ya, kita. Kau tahu kalau di wasiat ayah bilang akan membiarkan kepemimpinan perusahaan dengan syarat tertentu. Kita harus melakukannya. Kalau tidak, perusahaan akan mengalami perpecahan. Kepemimpinan bisa saja digantikan dan posisimu juga terancam. Memang untuk sekarang rahasia wasiat ayah masih terjaga, tapi tidak ada yang tahu. Dinding bisa saja punya telinga."
"Lalu? Kau mau aku membantumu?"
Neji menyeringai. Sasuke memang selalu tahu maksud intinya.
"Ya, tinggallah dengan kami. Hanya setahun, toh kita pun akan hidup seperti biasa. Bukan sesuatu yang sulit, 'kan? Dulu juga kita tinggal bersama."
Kalau hanya Sasuke dan kedua Hyuuga sih mungkin biasa-biasa saja. Tapi, Hinata? Apa perempuan itu akan nyaman? Jelas hubungannya dengan saudara-saudaranya tidak baik. Dengan Sasuke juga sepertinya.
"Oke. Aku tidak keberatan." Sasuke berkata santai.
"Benarkah?" Neji menaikkan alisnya. "Kau memang bisa andalkan sebagai yang tertua, Kak Sasuke."
Sasuke memutar bola malas. Jangan ingatkan tentang umurnya, tolong.
"Apa kau bisa menghubungi Hinata?" Sasuke mengernyit.
"Tidak. Kenapa?"
"Kata Hanabi kemarin ia pergi dari rumah." Sasuke menghentikan gerakan tangannya yang hendak menyuap sebentar. Kabur lagi? Hinata memang tidak bisa diam saja, ya?
"Ke mana?" Neji mengedikkan bahu.
"Kalian yang harus bicara, 'kan?" Neji menatap lekat pada Sasuke yang sibuk makan omurice. "Kenapa tidak langsung diterima? Aku tahu kau senang diberi izin oleh ayah."
Sasuke menghentikan makannya. Ia mendongak untuk menatap Neji. "Kita tahu ini tidak mudah. Ini bukan hanya tentang aku, Neji."
Ya, ya, ya. Neji tahu apa yang terjadi antara Sasuke dan Hinata cukup rumit. Neji juga tahu kalau kini mereka semua sudah dewasa. Neji tidak boleh terlalu ikut campur. Biarlah mereka bicara dulu. Kalau ada saatnya, Neji baru bisa ikut andil. Bagaimana pun dia kepala keluarga sekarang, 'kan?
.
.
DING DONG
DING DONG
Sasuke menghampiri pintu apartemen dengan malas. Ia baru pulang dari pabrik dan berniat menyiapkan makan malam.
"Apa yang kau bicarakan pada ayahku?" baru membuka pintu, Sasuke sudah disuguhi Hinata yang menatap tajam padanya.
"Hinata? Sedang apa di sini?" tanya Sasuke bingung.
"Kutanya. Apa yang kau bicarakan pada ayahku?!" Hinata maju. Ia mendorong Sasuke hingga pria itu mundur beberapa langkah. Hinata pun ikut masuk ke dalam apartemen Sasuke.
"Apa? Aku tidak bicara apa-apa."
"Bohong! Tidak mungkin ayahku mau menikahkanku denganmu secara tiba-tiba!" Sasuke mengerjap, akhirnya ia tahu ke mana arah pembicaraan Hinata.
"Aku benar tidak tahu kenapa Paman Hiashi ingin kita menikah." Sasuke beranjak menuju dapur. Mungkin Hinata butuh segelas sirup dingin.
"Apa-apaan? Ayahku bukan pamanmu!"
"Dia yang memintaku memanggilnya begitu." Sasuke mengedikkan bahu. Sambil memunggungi Hinata, ia masih sibuk menuangkan sirup.
"Lihat aku, Sasuke!" Hinata menarik lengan Sasuke hingga pria itu berhadapan dengannya. Hampir saja sirup yang Sasuke siapkan terjatuh.
"Aku mengerti kalau mungkin ayah ingin seseorang mengawasiku. Tapi kenapa harus kau?"
"Aku tidak tahu, Hinata. Lebih baik kau minum dulu." Sasuke menyodorkan segelas sirup dingin pada Hinata. Perempuan itu menatap aneh padanya. Bisa-bisanya Sasuke menyajikan minuman untuk tamu yang tiba dengan tidak ada ramah-ramahnya.
Tak lama Hinata meraih gelas yang diulurkan padanya. Ia meneguk sirup rasa jeruk hingga sisa setengah. Menyodorkannya kembali pada Sasuke dan membiarkan pria itu menaruhnya lagi ke meja dapur.
"Sekarang kita akan bicara." Hinata menyilangkan kedua tangannya di dada. "Kira-kira apa yang bisa membuat ayahku ingin menjodohkan kita?"
"Entahlah. Terakhir kali dia bicara ingin melihatmu menikah dan memintaku jadi mantunya."
"Kenapa?"
"Kalau aku tahu, aku pasti sudah menjawabmu dari tadi, Hinata." Sasuke mengambil gelas yang tadi ia berikan pada Hinata. Ia meminum sisa air yang ada. Ia juga butuh minum karena pusing menghadapi putri Hyuuga.
"Kau pasti mengambil kesempatan, Sasuke!"
"Kesempatan apa?"
"Kesempatan untuk memilikiku."
Sasuke terkekeh. Ia menaruh gelas ke meja dapur lagi. "Kau tahu jelas kalau aku tidak diuntungkan apa-apa dari wasiat Tuan Hiashi."
"Oh, ya?" Hinata berjalan mendekat. Sasuke mengernyit saat Hinata sudah berada di depannya.
"Kau yakin tidak akan merasa beruntung kalau mendapatkanku?" Hinata menyentuh dada bidang Sasuke dengan telunjuknya. Lalu, tangannya bermain-main di sana sambil membentuk lingkaran-lingkaran. Sasuke meneguk ludahnya saat Hinata menyenggol putingnya.
"Katakan, Sasuke." Hinata menempelkan telinganya ke dada Sasuke. "Apa jantungmu berdegub karena sentuhanku?"
"Menjauh, Hinata!" Sasuke mendorong Hinata dengan kedua tangannya.
"Hee kau takut pada perempuan yang lima tahun lebih muda darimu?" Hinata tersenyum miring. Ia hendak kembali mendekat pada Sasuke. Tapi laki-laki itu bergerak lebih cepat untuk menghindarinya.
PRANG
Sasuke menyenggol gelas hingga terjatuh. Gelas itu pecah dan tanpa sengaja serpihannya mengenai kelingking Sasuke. Luka Sasuke berdarah. Sasuke terkejut merasakan perih di tangannya. Hinata ikut terkejut hingga meraih tangan Sasuke.
"Asataga! Kau ceroboh!" Hinata mengambil jari Sasuke yang terluka. Ia memasukkannya ke dalam mulutnya. Iya, mengemutnya untuk membersihkan lukanya.
Sasuke kembali terkejut merasakan sesuatu yang lunak menempel di jarinya. Seperti tadi, ia bereaksi pada sentuhan Hinata dan mati-matian menelan ludahnya sambil mengeraskan rahangnya. Setelah sadar, Hinata ikut membelalakkan matanya. Ia segera melepas jari Sasuke yang dikulumnya.
"Aku hanya melakukan seperti ibuku dulu." cicit Hinata.
"Jangan mendekat, Hinata."
"Aku tidak mendekat!"
"Mundurlah. Aku akan membereskan pecahannya." Sasuke melambai, menyuruh Hinata untuk menyingkir. Hinata berdecak sebal karena yang pria itu pikirkan hanya memperbaiki semuanya. Jadi, setelah Sasuke membuang pecahan gelas ke tong sampah, Hinata menarik kerah baju Sasuke dan mendorong pria itu ke sudut ruangan.
"Oke. Kita terima pertunangannya. Kau akan senang 'kan karena menuruti permintaan ayahku?"
"Aku tidak mau, Hinata. Tidak ada untungnya bagiku dari hubungan yang dipaksakan." Sasuke memegang tangan Hinata yang mencengkramnya. Mereka bertukar pandang dalam diam selama beberapa saat.
"Terima saja. Kita akan lihat siapa yang lebih diuntungkan." Hinata menepuk pelan pipi Sasuke. Lalu, perempuan berambut ungu gelap itu pergi meninggalkan apartemen. Membiarkan Sasuke seorang diri dengan gejolak di hatinya. Sasuke bersumpah, hidupnya tidak akan mudah lagi kalau Hinata di dekatnya.
Eh, sejak kapan hidupnya menjadi mudah saat tidak ada Hinata?