Chereads / UNWANTED BOND [SASUHINA | 21+] / Chapter 4 - Unwanted Bond SasuHina 04

Chapter 4 - Unwanted Bond SasuHina 04

Unwanted Bond (SasuHina) 04

by

acyanokouji

All Naruto's characters are belong to Masashi Kishimoto.

Saya cuma pinjem doang, kok. Selamat membaca.

Warning: Super OOC, gaje, typo(s), crack couple, bosenin, alkohol dan lemon!

.

.

Makan malam pertama putra-putri Hyuuga plus Sasuke sejak mulai tinggal bersama. Mereka bukannya tidak pernah dekat. Dulu sekali mereka semua hidup bersama di manshion Hyuuga. Keluarga Hyuuga adalah gambaran keluarga bahagia dengan seorang putra dan dua putri kembar. Lalu, saat putri mereka hampir berusia tiga tahun, seorang anak laki-laki tiba di rumah Hyuuga.

Awalnya anak laki-laki itu diadopsi untuk menjadi tukang kebun keluarga. Saat melihat bocah berambut hitam di panti asuhan yang sering dikunjunginya, Hikari si istri, memutuskan untuk merawatnya. Lama-lama anak itu tumbuh dengan baik. Hiashi menyadari kecerdasan Sasuke dan potensinya. Setelah berdiskusi yang dengan jelas disetujui sang istri, Sasuke diasuh hampir seperti anak sendiri. Meskipun ia masih sering ikut bersih-bersih rumah dan entah sejak kapan menjaga anak-anak Hyuuga, terlebih si bungsu yang memang sangat menempel padanya.

"Bagaimana –ka"

"Jangan tanyakan kabar siapapun saat makan malam!" Sasuke mengernyit pada Hanabi yang memotong ucapan Neji. Andai Sasuke tahu, Hanabi sudah muak pada kakaknya yang tidak pandai berbasa-basi.

"Kita sudah bahas tentang kau yang harus lebih menghargaiku, Hanabi." ucap Neji.

"Aku menghargaimu, Kak. Sangat. Asal kau perbaiki saja caramu berbasa-basi itu." Neji menghela napas. Kritikan Hanabi meluncur dengan lancar.

"Aku serius ingin bertanya pada Sasuke dan Hinata." Hinata mendelik saat namanya disebut. "Kalian benar-benar yakin dengan pertunangan ini?"

"Kenapa? Itu keinginan ayah. Dengan begitu kau juga bisa mengawasiku lewat orang yang dengan mudah kau kontrol 'kan, Kak?" jelas Hinata mengejek saat bicara.

"Kita saudara, Hinata. Kita berempat sudah dekat sejak lama. Aku benar-benar serius ingin kita semua berbaikan seperti dulu."

"Oh, ya? Tapi aku merasa kalian hanya mencoba agar bisa mengontrolku."

"Bisa tidak sih kau berpikiran baik tentang kami?" Hanabi mendelik pada Hinata. "Delapan tahun pelarianmu, apa kau pikir ini mudah untukku dan Kak Neji? Tidak. Kita juga butuh penyesuaian, Hinata."

"Kami hanya akan mencobanya." Sasuke bicara, mendului Hinata yang sepertinya hendak membalas Hanabi.

"Paman Hiashi memintaku untuk menjaga Hinata. Jadi, kami putuskan untuk coba menjalaninya dulu. Kalau memang tidak bisa, Hinata sudah tahu resikonya." Hinata mengernyit, ia tidak pernah bicara begitu sepertinya. Sedangkan Hanabi mengernyit juga untuk alasan yang lain. Sejak kapan Sasuke jadi sepupunya?

"Begitu? Itu memang urusan kalian berdua tapi kalau kau dan Hinata perlu sesuatu, kalian bisa menghubungiku. Aku harap itu memang benar-benar yang kalian inginkan."

"Aku ingin makan malam di kamar." Hinata berdiri tepat saat Matsuri menyajikan makanan di meja. Ia melirik Matsuri sekilas untuk memberinya kode sebelum pergi memasuki kamarnya.

"Lihat, dia pergi lagi seperti anak kecil." Hanabi berdecih melihat tingkah Hinata. Lalu, ia menoleh pada Sasuke. "Aku benar-benar penasaran tentang kesepakatan kalian, yang sebenarnya."

Sasuke menatap bingung pada Hanabi. Apa lagi sekarang? Tidak cukup Hinata membuatnya gelisah, kini kembarannya ikut mencari pertikaian. Oh Tuhan, Sasuke akan kembali repot seperti mereka kecil dulu.

.

.

Suara ketukan pintu terdengar. Hinata berteriak dari ranjang untuk membiarkan orang yang mengganggunya masuk. Terlalu malas untuk bangkit, Hinata duduk di atas kasur.

"Kau sudah bangun, Hinata?" Neji masuk sambil tersenyum. Pakaiannya rapi, sepertinya Neji hendak pergi bekerja.

"Ya. Ada apa?" tanya Hinata. Neji berjalan mendekati Hinata.

"Tidak ada. Aku hanya ingin menemuimu." Neji ikut duduk di samping ranjang Hinata. "Jangan sering marah padaku dan Hanabi, Hinata. Kau tahu dengan jelas kalau aku ingin kita berbaikan."

Ceramah di pagi hari? Yang benar saja? Hinata tidak butuh.

"Cobalah untuk lebih sering keluar kamarmu. Ini rumahmu, tempat kau dibesarkan. Jangan merasa kalau kau dikucilkan."

"Aku tidak merasa dikucilkan. Aku hanya malas. Kau tahu, 'kan? Aku pengangguran sekarang." Neji terkekeh. Kalau Hinata tidak salah dengar, tawa kakaknya hampir seperti tawa ayahnya.

"Kau bisa mengontrol club-mu dari sini, Hinata." Neji mengacak pelan rambut Hinata. "Mandilah. Kau akan lebih segar. Jangan lupa sarapan juga. Matsuri sudah menyiapkannya di dapur untukmu."

Serius? Neji datang pagi-pagi ke kamarnya hanya untuk itu? Hinata merasa seperti anak kecil yang dibangunkan ayahnya sebelum berangkat kerja.

Hinata memutar bola matanya kesal. Ia ingin malas-malasan lagi hari ini. Toh tanpa ia melakukan apapun waktu terus berputar hingga tak terasa satu minggu mereka tinggal bersama. Niatnya Hinata hendak lanjut tidur tapi sebuah pesan membuatnya bangkit dan segera mandi seperti perintah Neji.

.

.

"Sekarang kau mau menemuiku?" Hinata menatap tajam pada pria yang duduk di depannya.

"Hei. Duduklah, Hinata." kata si pria. Hinata menghela napas sebentar sebelum akhirnya duduk di kursi seberang.

"Kau ingin pesan sesuatu? Apa aku mengganggu waktumu?" tanya si pria.

"Aku sedang di tengah-tengah kemalasanku dan hendak tidur saat kau menghubungiku, Kiba." Hinata menatap tajam pria di depannya. Kedua tangannya terlipat di depan dada. Seminggu lebih Kiba pergi dan tidak bisa dihubungi. Sekarang tiba-tiba muncul lagi. Mengajaknya bertemu di salah satu kafe dekat rumahnya.

"Maaf." kata Kiba pelan. "Aku tidak seharusnya bicara begitu padamu. Maafkan aku, Hinata. Kau benar. Akulah yang membutuhkanmu. Kumohon, maafkan aku."

Kiba meraih tangan Hinata. Ia menggenggamnya pelan. Matanya menatap Hinata dengan lembut. Ia tidak ingin ditinggalkan oleh perempuan yang bersamanya sejak delapan tahun lalu. Meskipun ia sempat berpikir untuk meninggalkan.

"Kenapa? Perempuan lain tidak bisa menghukummu dengan benar?" sindir Hinata.

"Ya. Kau satu-satunya yang bisa menghukumku, Hinata." Kiba mengelus pelan tangan Hinata. Tak lama terdengar helaan napas dari perempuan di depannya.

"Aku lapar. Aku akan memesan dulu." Kiba tersenyum pada Hinata yang kini terlihat lebih santai. Perempuan itu memanggil pelayan dan memesan makanan.

"Apa seminggu ini kau berdiam di Tokyo?" tanya Hinata.

"Tidak. Aku kembali ke Okinawa dan baru ke Tokyo kemarin." Hinata menaikkan alisnya. Repot sekali.

"Aku akan tinggal di Tokyo, Hinata."

"Kenapa?"

"Aku tahu kau pasti menerima permintaan Neji. Aku akan menemanimu selama kau di Tokyo."

Hinata terdiam mendengar penjelasan Kiba. Delapan tahun mereka kenal, sejak Hinata pergi ke Okinawa. Kalau digambarkan, sekarang Kiba adalah laki-laki yang selalu ada di sisinya. Hubungan mereka seperti... partner in crime, mungkin? Kiba menemaninya selama kekosongan hati Hinata. Ia juga membantu Hinata dalam membangun usaha.

"Aku bertunangan dengan Sasuke." kini Kiba yang terdiam. Matanya sedikit membulat sebentar.

"Kenapa?"

"Itu yang diingkan ayahku."

Suasana hening. Bahkan saat seorang pelayan mengantarkan pesanan Hinata pun mereka masih terdiam.

"Bukan karena kau masih mencintainya?" Kiba benar-benar hampir mengutarakan apa yang dipikirkannya. Ia meneguk ludah dengan keras, menelan ucapan yang sudah berada di ujung lidahnya.

"Kalau itu yang terbaik menurutmu, aku akan mendukung." Kiba tersenyum. Tangannya kembali mengelus tangan Hinata. Lalu, ia mempersilakan Hinata untuk makan. Tak lupa ia memesan es krim sebagai menu penutup untuk gadisnya(?)

"Kalau kau di sini, bagaimana dengan club di Okinawa?" Hinata menyendok es krim vanilla.

"Aku menitipkannya pada Hidan."

"Kau yakin ia tidak akan berbuat onar, 'kan?" Hinata menatap Kiba sambil menyatukan kedua alisnya.

"Aku membiarkan Konan tinggal. Tidak papa, 'kan?" Hinata berdeham. Kalau ada perempuan itu, ia sedikit tenang. Setidaknya ada orang yang mengawasi Hidan agar tidak mencari masalah. Apalagi kalau sampai terlibat dengan polisi.

"Omong-omong, apa yang akan kau lakukan selama setahun di sini, Hinata?" Hinata mendengarkan pertanyaan sambil menyuap es krim. Ia tampak berpikir sebentar.

"Entahlah. Membiarkan waktu berlalu, mungkin?"

"Aku ingin memberi saran." Hinata menunggu Kiba melanjutkan ucapannya. "Apa kau tidak ada niat membuka cabang club-mu di Tokyo? Kau tahu, jaga-jaga seandainya terjadi hal yang tidak diinginkan."

Hinata ingin membantah. Ia tidak akan menyerah pada club-nya di Okinawa. Itu adalah hasil jerih payahnya selama lima tahun ini. Meskipun ia harus berkelahi dengan Neji dan Hanabi nantinya, Hinata tidak peduli.

"Aku kenal seorang bartender hebat di sini. Ia baru dipecat dua hari lalu."

"Kalau hebat kenapa dia dipecat?" tanya Hinata.

"Ia sedikit cekcok dengan bosnya. Tapi kurasa kalian berdua akan cocok."

"Siapa namanya? Kenapa kau berpikiran begitu?"

"Kau akan tahu setelah kalian bertemu."

.

.

Sekitar lima hari kemudian, Kiba mengajak Hinata bertemu dengan bartender yang dibicarakan sebelumnya. Aneh, mereka janjian bertemu di sebuah bar untuk merekrut bartender. Lebih aneh lagi saat Hinata melihat si bartender yang katanya hebat itu adalah perempuan modis dengan tubuh langsing yang sangat cantik.

"Hinata, kenalkan, ini Ino Yamanaka. Bartender yang aku ceritakan padamu." Kiba mengenalkan perempuan yang duduk di seberangnya.

"Terima kasih sudah mengenalkanku, Kiba." Ino mengerling pada Kiba. "Salam kenal. Namaku Ino Yamanaka. Orang yang diceritakan Kiba padamu tapi kuharap kau tidak terlalu memercayai ucapannya. Senang bertemu denganmu, –Hinata? "

"Hyuuga. Namaku Hinata Hyuuga." ucap Hinata. Ia menyambut uluran tangan Ino padanya. Mereka berjabat tangan sebentar.

"Oh, kau mirip perempuan yang dekat dengan temanku."

"Siapa?"

"Adalah. Dia seorang detektif di Tokyo. Well, kami cukup bersebrangan." Ino tertawa pelan.

Hei, cerita ini tidak akan mengganggu keberadaan dunia paralel, 'kan?

"Jadi, apa kau sedang mencari pekerjaan, Nona Yamanaka?" tanya Hinata. Ino tersenyum miring. Seperti yang diceritakan Kiba, Hyuuga sangat serius tentang pekerjaan.

"Ya. Apa kau membutuhkan seorang pekerja, Bos Hinata?" Hinata menyeringai. Kiba benar, sepertinya ia dan Ino akan cocok.

"Tentu. Aku butuh orang yang akan membuatku bangga dengan bisnis usahaku."

"Kalau begitu, kau datang ke orang yang tepat, Bu Bos!"

"Bagus. Karena aku tidak suka kegagalan saat memulai sesuatu." Hinata dan Ino saling menatap. Mereka tersenyum satu sama lain. Insting wanita, hanya berkumpul dengan orang yang sejenis denganmu.

.

.

"Belum tidur, Matsuri?" Matsuri yang sedang duduk di meja makan terkejut.

"Ya, Neji-sama." Matsuri bangkit dari duduknya.

"Menunggu Hinata lagi?" Neji mendekat. Akhir-akhir ini ia jarang melihat Hinata. Menurut laporan Matsuri, adiknya yang itu sering pulang larut malam dan makan malam sendirian.

"Kenapa kau menunggunya? Biarkan saja. Dia sudah besar, pasti bisa cari makan sendiri."

"Kemarin Hinata-sama memintaku memasak kari. Katanya ia rindu masakan Nenek Chiyo."

Neji menghela napas. Antara kesal tapi lega sekaligus. Hinata sudah mulai membiasakan diri di rumah ini lagi. Meskipun ia merepotkan Matsuri terlalu banyak.

"Jangan menunggunya lagi. Biar saja dia panaskan sendiri makanannya." Neji menyentuh pundak Matsuri.

"Neji-sama?" sentuhan Neji pada pundak Matsuri semakin menjalar kemana-mana.

"Hinata bisa memanaskan makanannya sendiri." kini Neji sudah menempel dengan Matsuri. "Bisakah kau yang panaskan aku sekarang?"

"Akh!" Matsuri terkejut saat Neji menyentuh pantat sintalnya.

Jangan salah paham. Ini bukan pelecehan. Sebenarnya mereka sudah terlibat hubungan sejak... kapan ya? Matsuri masuk SMA? Sekitar tujuh atau delapan tahun lalu? Ya, benar. Delapan tahun lalu memang keadaan yang kacau bagi Hyuuga.

"Hmph!" Neji mencium Matsuri. Mereka terlibat dalam ciuman yang dalam. Tangan Neji tidak diam. Di tengah malam, ia menyentuh tubuh Matsuri. Mulai dari pipi, leher, bahu, dada, perut, dan pangkal pahanya.

"Boleh aku memasukimu sekarang?"

Matsuri mengelus pipi Neji. Lalu, ia berkata sambil tersenyum. "Lakukanlah."

Neji mendudukkan Matsuri di atas meja makan. Ia menyibak celana dalam Matsuri yang memakai seragam maid-nya. Lalu, pelan-pelan Neji memasuki Matsuri. Menyatukan tubuh mereka di tengah tidurnya orang-orang Hyuuga.

"Ahnn, Neji-sama."

Matsuri mendesah. Ia mengikuti gerakan Neji yang menyodoknya.

"Kau mengapitku dengan erat, Matsuri."

Neji meringis. Ia mendekap Matsuri lebih erat. Tangannya tidak bisa diam. Berpindah-pindah dari pantat, perut, dan payudara Matsuri. Nikmat. Matsuri memang selalu ada untuknya saat ia butuh breather dari bebannya sebagai penerus keluarga. Saat Neji hampir mencapai puncaknya, ia yakin melihat seseorang melewati dapur. Siapapun orang itu, Neji harus bicara dengannya.