Linda membuka mata dan mendapati seraut wajah tampan berkacamata menatapnya sembari tersenyum. Senyum penuh cinta yang selama ini didapatnya setelah melewati ruang ingatan yang gelap pekat. Rasa lelah perlahan memudar saat senyum lelaki di hadapannya semakin mengembang lebar.
"Bagaimana?" tanya lelaki berambut ikal dan berkaca mata, yang duduk si sebuah bangku–tepat di sebelah sofa tempat Linda membaringkan badan. Lelaki itu menghulurkan tangan dan meraih bahu Linda, membantunya untuk duduk. Namun, tangan itu tertahan di belakang punggung Linda, karena Linda menggenggam lengannya. Dia masih ingin membaringkan badan. Perjalanan dalam kegelapan memori yang baru saja dilakukannya terasa begitu melelahkan.
Lelaki di hadapannya mengerut kening, lalu membungkuk dan mendekatkan wajahnya. Hingga Linda bisa merasakan napas hangat menyentuh mukanya.
"Andre …" bisik Linda parau.
"Kenapa? Kau mulai mengingat sesuatu?" tanya lelaki yang dipanggil Andre. Dia mengalihkan tangannya untuk merapikan anak rambut Linda ke belakang telinga. Sikap lembut Andre membuat Linda merasa bersalah.
"Sampai kapan aku seperti ini, Andre. Semua ini … semakin melelahkan bagiku. Aku sudah menghabiskan waktumu."
Linda menatap Andre. Keduanya saling menautkan tatapan. Dan perlahan Andre menempelkan bibirnya ke bibir LInda. Bibir wanita itu terasa begitu dingin–entah karena pendingin ruangan atau karena wanita ini sudah mulai putus asa dengan sesi terapi yang dijalaninya.
Dengan lembut Andre mengulum bibir Linda, dan perlahan Linda pun membalasnya. Linda tahu, Andre hanya ingin menghiburnya. Dan dia selalu berhasil melakukannya dengan baik. Lembut, namun terasa menghangatkan sekujur badannya. Linda membiarkan Andre menyusuri lehernya, meninggalkan tanda di sana, lalu turun ke belahan bajunya.
Sesi terapi kali ini, sepertinya akan berakhir sama dengan terapi-terapi sebelumnya. Panas dan liar, meski ruangan terapi menggunakan pendingin ruangan. Tapi suasana di sofa semakin menghangat.
Sebuah ketukan di pintu menghentikan ciuman panas Andre, sebelum dia sempat membuka kancing baju Linda.
"Andre …" desis Linda, berusaha mengingatkan Andre yang tampaknya sudah hilang akal. Mereka memang tak pernah menuntaskan cumbuan hingga ke ranjang. Meski gelegak jiwa keduanya menginginkan hal itu, namun Linda merasa belum siap. Tidak dengan ingatan kosong dalam kepalanya–juga hati dan jiwanya.
Andre mengangkat kepala, menatap sepasang mata sayu Linda. Bibir merekah Linda tampak basah, membuat hasrat lelakinya bangkit hingga ke ubun-ubun. Namun ketukan di pintu semakin keras terdengar.
"Sepertinya kita perlu liburan ke luar kota, Linda." Andre bangkit dari duduknya, merapikan jas dan rambutnya dan meninggalkan sebuah kecupan di bibir Linda. Lalu berjalan menuju pintu dengan langkah normal–tidak tergesa apalagi melambat. Andre selalu bisa dengan cepat mengubah suasana hatinya.
"Tidak, Andre. Aku belum siap," gumam Linda.
Linda perlahan duduk, sembari merapikan rambut dan kemeja. Menutupi leher jenjangnya dengan menyugar rambut hingga menutupi dadanya. Dia yakin, Andre meninggalkan beberapa tanda di sana, dan dia harus menutupinya atau orang di luar ruangan ini akan berpikiran buruk tentangnya.
Andre menoleh ke arah Linda yang sudah duduk rapi di sofa–sebelum membuka kunci ruang kerjanya. "Kau harus siap, Linda Hall. Atau kita akan terjebak dengan terapi demi terapi, entah sampai kapan. Kau tidak mengingat apapun. Bahkan aku yang meyakinkanmu bahwa kau adalah Linda Hall."
Linda menelan ludah. Andre benar. Psikiater yang direkomendasikan oleh Detektif yang selama ini menangani kasusnya itu, telah membuat Detektif percaya bahwa Andre bisa mengembalikan ingatannya.
Andre membuka pintu. Erin–asistennya melongok ke dalam pintu yang terbuka, seolah memastikan apa yang terjadi di sana.
"Nyonya Smith berkali-kali menelpon saya. Karena ponsel anda mati," bisik Erin.
Andre mengembangkan senyum smirk andalannya. "Kau tahu kalau ponselku selalu mati bila sedang sesi terapi. Dan kau tahu sendiri, siapa Linda Hall."
Erin mengangguk ketika Andre melebarkan daun pintu hingga dia bisa melihat LInda yang menunduk di sofa. Kasihan wanita itu. Sepertinya sesi terapi kali ini pun tidak membuahkan hasil. Sudah tiga bulan, dengan sesi terapi yang selalu lebih panjang dari pasien lainnya. Dengan hasil nol besar. Dan Andre tak pernah berputus asa dengan terapi yang tak membuahkan hasil–membuat Erin semakin menghormati Andre yang di matanya tampak sangat profesional.
"Maafkan saya. Tapi Nyonya Smith bersikeras menelpon, karena …"
"Aku tahu. Katakan padanya aku akan menelponnya setelah pasien terakhir kita pulang. Ada berapa lagi?" tanya Andre.
Erin menggeleng. "Tidak ada, Nyonya Hall yang terakhir."
"Kalau begitu, kau antarkan Nyonya Hall turun. Sebelumnya kontak Detektif Scope seperti biasa. Kalau dalam lima menit tidak ada polisi yang menjemput, kau atau aku yang mengantarnya pulang?"
Erin menatap atasannya sejenak. Lalu melirik jam tangannya. "Sebenarnya, saya sudah ada janji dengan suami saya, untuk menonton pertunjukan Nadia di sekolah. Setengah jam lagi. Itulah kenapa tadi Nyonya Smith menelpon saya berkali-kali–karena saya akan dijemput setengah jam lagi. Tapi coba saya telpon Detektif Scope lebih dulu."
Andre mengibas tangan. "Tidak usah. Kau pulanglah dulu, kasihan suami dan anakmu. Aku yang akan menelpon Detektif Scope. Tapi kurasa, tak akan ada yang datang menjemputnya dalam cuaca seperti ini."
Andre menoleh ke jendela. Erin mengikuti arah pandangannya. Hujan belum berhenti sejak dua jam yang lalu, bahkan semakin deras. Dan tanpa bicara, dua orang itu sudah bersepakat bahwa mereka harus segera menuntaskan urusan masing-masing, bila tidak ingin bermalam di kantor hanya karena menunggu hujan reda.
"Aku sendiri yang akan mengantar Nyonya Hall pulang." Senyum smirk Andre kembali mengembang. Malam ini sepertinya dia bisa menuntaskan hasratnya pada Linda. Nyonya Smith bisa menunggu. Wanita itu tidak akan tahu apa yang dilakukannya bersama pasien-pasiennya. Dia hanya bisa menggerutu bila Andre pulang terlalu malam.
*
Andre menutup pintu mobil dan menyalakan mesin mobil. Namun Linda mematikannya. Andre tersenyum, lalu memutar badan, menatap Linda dalam keremangan lampu basement. Wajah Linda tampak kebingungan. Wajah yang biasa didapatinya setiap selesai terapi.
"Kau belum ingin pulang? Aku bisa menemanimu sampai pagi," tawar Andre.
Linda menatap Andre tak berkedip. "Katakan, aku harus bagaimana, Andre? Aku sama sekali tidak mengingat kejadian apapun malam itu. Dan, Detektif Scope terus mendesakku, mengatakan berkali-kali kalau malam itu adalah malam paling mengerikan bagi seorang wanita. Jadi, mustahil aku tidak mengingat satu pun potongan kejadian. Nyatanya, aku sama sekali tidak ingat! Katakan padaku, apa benar aku diperkosa?"
Andre menatap Linda lekat-lekat. "Kurasa aku tidak boleh mengatakannya padamu. Tapi, itulah yang terjadi padamu. Enam lelaki, dan kau sama sekali tidak mengingatnya. Lima sudah mati, dan tinggal satu yang belum ditemukan. Sesi terapi ini, untuk membuatmu mengingat semuanya, agar kau mendapatkan keadilan."
Linda menggeleng. "Tapi aku tidak merasakan apapun. Tubuhku juga sehat dan …"
"Kau koma Linda, aku bersyukur kau tidak mengingat apapun. Bila kau mengingatnya, maka sesi terapi akan aku ubah dengan cara lain."
Linda menghela napas. "Dan kau, apa kau tidak merasa jijik melihatku?"
Andre tersenyum, lalu meraih tangan Linda dan menggenggamnya. "Aku sudah berkali-kali mengatakan padamu. Aku mencintaimu, apa adanya dirimu. Dan kukatakan berkali-kali, jjangan terlalu memaksakan diri, Linda. Kamu baru menjalani terapi selama tiga bulan. Pada beberapa kasus yang aku tangani, ada yang sampai dua tahun belum bisa mengingat apapun. Dan selama itu, polisi malah sudah berhasil memecahkan kasusnya, sedangkan pasienku belum ingat apa-apa. Tidak ada yang perlu kau khawatirkan. Yang penting, kita jalani bersama. Aku akan selalu berada di sisimu."
Linda mendekatkan wajahnya dan mendaratkan ciuman di pipi Andre. "Tanpa kamu, aku tidak tahu harus bagaimana, Andre."
"Hei, aku mendapatkan ciuman lebih dulu?" goda Andre, menatap Linda dengan tatapan gairah yang perlahan bangkit kembali. "Apa ini artinya … kau mulai mencintaiku?"
Linda merasa pipinya memerah. Dia membuang muka, namun Andre meraih bahunya dan melumat bibirnya lembut.
"Aku mencintaimu, Linda," bisik Andre membuat jiwa Linda bergetar. Lelaki itu menyusupkan jemarinya ke balik kemeja Linda dan meraba punggung dan pinggang Linda lembut. Membuat Linda tak bisa menahan gemetar sekujur tubuhnya.
"Andre … aku … belum …"
Andre tak memberi kesempatan Linda bersuara. Membungkam bibir wanita itu dengan ciuman lembut dan intensnya. Andre tahu, Linda tak akan menolak, karena wanita dalam dekapannya itu mulai membalas pagutannya. Setiap dia mendahului mencium Linda, wanita itu selalu ragu untuk membalas. Dia selalu merasa belum siap–hanya karena amnesia yang dideritanya. Dan Andre tak ingin mendengar kata tidak siap itu hingga dua kali terucap malam ini. Dia sudah tak sabar untuk menuntaskan hasratnya pada Linda.
Sebuah ketukan di jendela mobil mengejutkan keduanya. Linda bergegas merapikan rambut dan kemejanya. Demikian juga Andre, sembari memaki kecil–membuat Linda tertawa. "Kau benar, Andre. Sepertinya kita perlu liburan."
Kenapa mereka tak pernah bisa menuntaskan hasrat, kerap membuat Andre dongkol. Tapi seperti biasa, dia dengan mudah mengubah mood-nya ala profesional. Seolah beberapa detik sebelumnya, dia baru saja berakting. Linda bahkan pernah mengira Andre adalah aktor drama yang piawai, dan hal itu membuat Linda tak pernah merasa pasti dengan perasaannya pada Andre.
"Siapa sih?" geram Andre, lalu membuka kaca jendela.
Seorang lelaki menundukkan badan dan menatap Andre dan Linda yang tampak terkejut melihatnya. Lelaki yang sama sekali tidak diharapkan oleh Linda, akan memergokinya bermesraan dengan Andre Smith. Dan sepertinya sudah terlambat. Lelaki berwajah keras itu pasti sudah melihatnya.
"Tuan Andre Smith, saya menjemput Linda Hall," ucap lelaki itu dengan nada dingin sedingin tatapannya ke arah Linda.