Linda berpegangan pada tepi jendela mobil. Ingin rasanya melompat keluar dari mobil yang dikendarai Peter dengan kecepatan tinggi. Hujan deras di malam hari bukanlah ketakutan yang harus dihindari oleh lelaki di sebelah Linda. Yang mengendarai mobilnya dengan marah.
Kali ini jantung Linda berpacu karena adrenalinnya meningkat. Betapa tidak, Peter bahkan mengabaikan lampu merah. Seolah dia ingin membawa Linda ke neraka bersama-sama.
"Peter, aku tidak mau koma dua kali!" seru Linda ketika Peter membelokkan mobil di tikungan dengan tajam, hingga suara decit roda mobilnya terasa mengiris jantung Linda.
Mobil berhenti seketika. Tepat di depan apartemen tempat Linda tinggal.
"Aku tidak ingin kau bertemu dengan Psikiater itu lagi, Linda." Rahang Peter mengeras, tanpa menoleh ke arah Linda yang sudah pucat pasi. Wanita itu menarik napas lega, mengetahui sudah tiba dengan selamat di depan apartemennya.
"Kau tidak bisa melarangku."
"Aku berusaha melindungimu!" sergah Peter kasar. "Dia memanipulasimu. Mencekoki ingatanmu dengan ingatan buatannya."
Linda melepas sabuk pengaman. Saat hendak keluar dari mobil, Peter menarik tangannya.
"Linda, dengarkan aku!"
Linda mengibas tangan Peter, lalu dengan cepat keluar dari mobil. Berlari menembus derasnya hujan hingga menaiki anak tangga menuju pintu depan apartemen.
Peter selalu saja menyebalkan dengan sikap kasar dan berandalannya. Alih-alih mengaku sebagai adik ipar yang harus melindunginya, dia lebih sering membuat Linda semakin putus asa. Tak ada satupun ucapan Peter yang masuk di akalnya, berbanding terbalik dengan Andre yang menggiring untuk menggali ingatannya dengan lembut dan tenang.
Linda membuka pintu apartemen, dan hendak menaiki tangga menuju lantai dua. Terdengar langkah di belakangnya, sudah pasti Peter menyusulnya. Benar saja, belum sampai kaki Linda menapak anak tangga pertama, Peter sudah menarik lengannya dan memutar badan Linda hingga menghadapnya.
"Apa maumu, Peter? Terima kasih sudah mengantarku pulang," ucap Linda ketus.
"Aku tidak butuh terima kasih, aku hanya ingin kau menghentikan semua sesi terapimu. Sudah tiga bulan dan kau tidak bisa mengingat apapun!"
Linda mengibas tangan Peter, namun kali ini cengkeraman lelaki itu begitu kuat. "Lepaskan aku, Peter. Kau tidak bisa melarangku. Semua terapi itu atas perintah Detektif Scope. Melanggarnya berarti menghalangi penyidikan kasusku. Apa kau ingin menjadi orang yang menghalangi kasusku selesai?"
Peter melonggarkan cengkeramannya. Linda bergegas menaiki anak tangga, menuju lantai dua. Tubuhnya mulai terasa dingin, dia harus segera berganti pakaian. Persetan dengan Peter. Lelaki itu punya anak dan istri yang seharusnya lebih dia perhatikan daripada dirinya. Hanya karena dia adik kandung dari suaminya, bukan berarti dia berhak mengatur urusannya.
Namun, tak ada yang benar-benar dipercayanya saat ini. Bahkan Detektif Scope sendiri. Tak ada satupun yang diingatnya selain ketiga lelaki itu silih berganti berusaha masuk ke dalam ingatannya.
Linda merogoh kunci kamarnya dari saku celana, dan menyadari kunci apartemennya tidak ada di saku sebelah kanan. Dirogohnya saku yang lain, juga tidak ditemukannya. Tidak mungkin ketinggalan di ruang terapi Andre, karena dia tidak mengeluarkan kunci di sana. Atau terjatuh saat dia dan Andre berciuman.
Linda mulai panik. Sepertinya memang ketinggalan atau terjatuh di sofa Andre. Dan mustahil dia kembali ke sana, karena Erin sudah pulang. Dan meminta tolong pada Peter, tidak akan dilakukannya karena itu hanya akan membuat lelaki itu besar kepala.
"Kau mencari ini?"
Linda menoleh. Peter sudah ada di belakangnya dan memainkan kunci di ujung jarinya. Linda mendelik, lalu hendak merampas kunci itu dari tangan Peter. Tentu saja Peter lebih cepat, malah memasukkan kunci itu ke saku celananya.
"Berikan padaku. Dari mana kau mendapat kunci apartemenku?" tanya Linda gusar. Apakah Peter mengambilnya saat di mobil, tapi kenapa dia tidak merasa sama sekali. Ataukah terjatuh di mobil? Bisa jadi. Dan itu artinya, dia tidak punya alasan untuk mengusir Peter pulang. Dia harus mengijinkan adik iparnya itu masuk ke dalam kamarnya.
Peter mendekat, membuat Linda mundur ke belakang hingga punggungnya menempel di daun pintu. Peter menempelkan kedua tangannya di daun pintu, menghadang Linda dalam kungkungannya. Pandangan keduanya bertaut, dan Linda merasakan aura yang berbeda dalam tatapan adik iparnya. Napas hangat Peter menerpa wajahnya, membuat Linda merasakan ada desiran di dadanya.
"Tidak … jangan Linda," bisik batin Linda, mencegahnya untuk menatap lebih dalam ke sepasang mata Peter yang semakin lama semakin dekat.
"Kau mau apa, Peter?"
Peter mengendus pelan dan menempelkan hidungnya di hidung Linda. Wanita di hadapannya hanya diam, entah membeku entah terpaku padanya. Yang jelas, situasi ini benar-benar menguntungkan baginya.
"Apa yang kau lakukan di mobil, bersama Psikiater itu?" tanya Peter, sembari menghembuskan napasnya cukup keras. Dia tahu, situasi Linda saat ini sedang membutuhkan dirinya–lebih tepatnya kunci di tangannya.
"Bukan urusanmu. Dari mana kau dapat kunci kamarku?"
"Menggantung di pintu. Kau lupa melepasnya karena tergesa bercumbu dengan Psikiater itu, kan?"
Linda mendorong bahu Peter. Adik iparnya sudah pasti melihat apa yang dilakukannya bersama Andre di dalam mobil. Tentu saja dia tidak perlu mengakuinya. Dia sendiri belum yakin dengan perasaannya pada Andre, meski psikiaternya itu berkali-kali mengucapkan kata cinta padanya.
Peter menangkap tangan Linda. "Jawab aku, Linda."
"Tidak ada yang harus aku laporkan padamu. Kau sama sekali tidak membantuku untuk mengembalikan semua ingatanku, Peter."
"Kau pikir yang aku lakukan selama ini tidak membantumu?"
Linda menggeleng, sembari berusaha menarik tangannya. Peter menahannya kuat-kuat.
"Kalau begitu, biar kubantu agar kau bisa lebih cepat mengingatnya."
Belum sempat Linda membantah, Peter sudah membungkam bibirnya. Ciuman yang intens, panas dan liar.
Linda terkejut bukan main dengan tindakan tiba-tiba adik iparnya itu. Dia memberontak, berusaha memukuli bahu Peter, tapi lelaki itu lebih kuat. Dia menekan tubuh Linda di daun pintu dan memeluknya kuat. Linda tak kuasa melawan, membiarkan Peter merajai bibirnya sepertinya jalan terbaik yang bisa dilakukanya saat ini.
Beberapa detik, ternyata tubuh Linda memberikan reaksi berbeda. Kehangatan menjalari tubuhnya, dan desakan hasrat yang tertunda bersama Andre perlahan bangkit. Mendapati tubuh Linda yang tak lagi melawan dan menegang, Peter melepaskan ciumannya. Sorot matanya meredup, bertaut tatapan dengan Linda. Dilihatnya sepasang bibir mereka Linda melenguh kecewa saat Peter melepaskan ciumannya.
"Peter … sampaikan maafku, pada istrimu," bisik Linda.
Peter bukannya tidak menyadari hal itu. Linda sudah pernah bertemu dengan istri dan anaknya. Dalam kebimbangan karena tidak bisa mengingat semuanya. Namun justru di situasi seperti ini, dia mengingat dengan baik bahwa dia baru saja berciuman dengan lelaki beristri.
Dan sedetik kemudian, Peter dibuat terkejut dengan Linda yang menciumnya, bahkan sembari mengusap dadanya. Memainkan bibirnya dengan liar, membuat Peter tidak bisa menahan diri. Membalas ciuman Linda dengan hasrat membubung. Keduanya bahkan sampai tidak menyadari beberapa tetangga kamar yang melewati mereka dan mendehem.
Peter mengeluarkan kunci dari saku celananya. Dia sangat yakin, malam ini Linda menginginkan dirinya. Maaf tentu saja akan disampaikannya pada istrinya yang menunggu di rumah–setelah menuntaskan hasratnya pada Linda.
"Thank you, Peter." Linda melepaskan ciumannya dan mendorong bahu Peter menjauh. Di tangannya sudah ada kunci yang direbutnya dari tangan Peter. Linda membuka pintu sembari menoleh ke arah Peter yang menatapnya dengan wajah tak sabar–ingin melanjutkan permainan.
Linda masuk dengan cepat dan menutup pintu.
"Linda!" Peter menggedor pintu yang sudah digerendel oleh Linda. "Linda, buka pintunya!"
Linda mengunci pintu, mencabutnya dan melemparkan anak kunci ke atas meja. "Sialan kau Peter!