Gerimis yang turun sejak sore telah berubah menjadi hujan deras. Petir dan guntur menggelegar, bersahut-sahutan. Murni, wanita yang berusia empat puluh tahun itu mondar-mandir di teras rumah. Gelisah. Sudah jam sebelas malam, dan putri semata wayangnya belum juga pulang.
Sementara, air yang tumpah dari langit tak kunjung reda. Bahkan menjadi semakin deras, diikuti angin kencang yang menggoyangkan pepohonan dengan beringas, membuat kekhawatiran wanita itu semakin bertambah-tambah.
"Duh, Mira! Kamu di mana, sih?" gumam wanita itu, cemas. Ditautkan jari jemarinya sambil sesekali berdoa untuk keselamatan sang putri.
Tiga puluh menit kemudian, gadis yang Murni tunggu-tunggu akhirnya muncul juga. Mira berjalan dengan santai tanpa mempedulikan betapa menakutkannya hujan angin yang disertai petir dan guntur itu bagi sang ibu.
Usai mengucap salam, Mira meletakkan payung yang dia pinjam dari Tika, teman sekolahnya, di teras rumah. Dan, dengan santainya dia masuk ke rumah, melewati sang ibu begitu saja tanpa merasa berdosa.
"Emak ngapain hujan-hujan di luar? Masuk, Mak, nanti masuk angin, lho," ucap Mira sembari melangkah masuk, tanpa rasa bersalah sama sekali.
Sang ibu merasa kesal. Matanya melotot tajam, lantas menjewer telinga Mira tanpa ampun.
"Enak aja ngomong begitu. Emak dari tadi nungguin kamu, tau! Kenapa pulangnya malam banget, hah?!" omel sang ibu.
Mira meringis sembari memegangi lengan ibunya yang tak mau melepas telinga dan membawanya masuk ke rumah. Setelah berada di ruang televisi, barulah dilepaskan telinga yang telah memerah itu.
"Ish, Emak, nih. Sakit, Mak!" gerutu Mira sembari mengusapnya.
Murni hanya menggeleng pelan. Entah mengapa, anak gadisnya itu tak bisa bersikap manis. Wanita yang masih tampak cantik meski tanpa make up itu lantas masuk ke kamarnya setelah menatap tajam pada Mira.
Melihat sang ibu yang tampak marah, Mira merasa kesal. Dia lalu memasuki kamar dan membanting pintunya dengan kasar.
Dihempaskan tubuhnya ke atas kasur. Tak berapa lama, gadis itu pun terlelap. Ya, secuek itu Mira menghadapi amarah sang ibu. Namun, jika orang lain yang berlaku demikian, tak akan dibiarkannya begitu saja. Mira tak akan segan untuk memberi pelajaran, meskipun itu orang yang lebih tua usianya.
***
Kicau burung yang bertengger pada dahan pohon rambutan di samping kamar Mira begitu nyaring, membuat gadis itu terjaga. Matanya mengerjap. Dengan malas, dia bangkit dan membuka jendela.
Sisa air hujan yang mengguyur semalaman menetes dari atap, menempel pada dedaunan dan bunga-bunga. Mira menarik napas panjang. Hawa segar memenuhi rongga dadanya.
Sekali lagi, gadis itu mengulanginya, hingga kantuk yang tadi masih meraja, seketika hilang setelah Mira menghirup banyak udara segar.
Mira bergegas menuju ke kamar mandi untuk membersihkan badan. Meski libur sekolah, gadis itu tetap sibuk. Dia akan nongkrong seharian di warung dekat sekolah bersama dengan teman-teman gengnya.
Terdengar suara sang ibu yang melengking, memanggil namanya berulangkali saat Mira tengah mengenakan pakaian.
"Miraaa! Miraaa cepetan bangun udah siang!"
Mira berdecak. Ibunya tak tahu saja bahwa dia sudah bersiap untuk pergi.
"Miraaa!" Murni kembali berteriak, hingga mau tak mau, Mira menyahut agar sang ibu tak mendatanginya dengan membawa sapu.
"Iya, Maaak! Aku udah bangun dari tadi, kok!"
Sang ibu terlonjak saat Mira berteriak di belakang tubuhnya.
"Astaghfirullah, Mira! Ngapain teriak-teriak di deket emak gitu?" gerutu ibunya.
Mira tertawa terkekeh. Gadis itu memang jahil. Dia sangat suka mengerjai orang, bahkan ibunya sendiri.
Ibu Mira meletakkan sepiring nasi goreng teri super pedas kesukaan putri semata wayangnya itu. Dengan cepat, Mira melahapnya hingga tak bersisa.
Usai sarapan, Mira pamit untuk pergi ke rumah temannya. Sang ibu selalu mengizinkan anak gadisnya itu. Dia tak mau terlalu mengekang, asalkan Mira bisa menjaga diri.
Mira bersiap untuk pergi. Namun, ketika hendak melangkah keluar, sebuah suara membuatnya berhenti dan terdiam di ambang pintu. Itu suara Kasto, bapaknya, yang serak karena baru saja bangun tidur.
"Mau ke mana, lu? Ngider?" sinis sang bapak.
Tangan Mira mengepal demi mendengar pertanyaan lelaki itu. Jika saja tidak akan berimbas pada sang ibu, sudah pasti gadis itu akan langsung memberinya bogem mentah, tak peduli jika karena andil lelaki itu, Mira hadir di dunia.
Mira menoleh sesaat, lalu segera pergi setelah mengucapkan sesuatu pada ibunya.
"Mak, kalau sampai jam sepuluh malam aku belum pulang, Emak nggak usah nungguin, yaa. Aku mau nginep di rumah Tika."
"Iya. Jangan main jauh-jauh, yaa," pesan sang ibu. Mira hanya menanggapinya dengan anggukan kepala.
Mira masih sempat mendengar bapaknya berteriak. Namun, dia memilih untuk terus melangkah dan berpura-pura tuli untuk meredam keinginannya menampar mulut sang bapak.
"Cari yang banyak duit, ya. Nanti bagi gue hasil ngidernya!"
Ibu Mira hanya dapat menahan nyeri mendengar suaminya berkata seperti itu. Dalam hati dia bertanya, mengapa begitu tega. Bukankah Mira darah dagingnya sendiri?
Wanita yang rambutnya digelung itu menuju ke dapur, menyiapkan sarapan untuk suaminya yang berperangai kasar. Matanya mengembun. Sekuat tenaga dia tahan agar air matanya tak tumpah, sebab sang suami tak pernah suka melihatnya menangis. Air mata itu harus dia telan demi menghindari amarah sang suami, meski ada saja hal selain itu yang membuat Karso selalu marah.
"Sarapan gue mana, Mur?" Lelaki itu menyusul istrinya ke dapur.
"Ini, Pak." Wanita itu meletakkan sepiring nasi goreng di hadapan sang suami, yang langsung dilahap dengan rakus.
"Murni, elu jangan selalu biarin Mira keluyuran! Anak perawan itu suruh di rumah aja," kata Kasto dengan mulut penuh makanan.
"Kalau Bapak nggak selalu berkata kasar sama Mira, mungkin Mira nggak akan keluyuran terus Pak," sahut Murni, lantas pergi meninggalkan Kasto yang bersungut-sungut.
"Dasar, emak sama anak sama aja! Susah dibilangin," ujar Kasto. Dia tak pernah bercermin, hingga tak pernah tahu bahwa dirinyalah yang telah membuat Mira malas berada di rumah.
Kasto yang seorang nelayan itu sangat kasar. Kata-katanya selalu menyakitkan, dan kegemarannya berjudi serta mabuk-mabukan, membuat Mira tak betah di rumah, dan mencari ketenangan, juga hiburan di luar bersama teman-teman gengnya.
Mira tumbuh menjadi gadis urakan dan selalu berbuat onar, baik di lingkungan sekolah maupun di kampungnya. Warga bahkan sering berkata, "Amit-amit! Jangan sampai dia jadi mantu aku."
Mendengar kalimat itu, Mira tak merasa sakit hati. Meski gadis itu begajulan, dia tetap memiliki kesadaran diri.
Dia sadar, dari mana dia berasal. Keluarga yang berantakan. Setiap hari hanya ada pertengkaran. Bapaknya tukang mabuk dan judi. Siapa yang sudi menjadi bagian dari keluarganya itu? Mira rasa, tak akan ada yang mau.