Chereads / Mira & Geng / Chapter 9 - Tante Mae

Chapter 9 - Tante Mae

"Kamu?!"

Wajah Tante Mae langsung berubah masam saat Mira melepas mukena. Wanita itu baru menyadari siapa yang ikut salat berjamaah di rumahnya. Dia tak bisa percaya begitu saja jika gadis urakan itu telah berubah menjadi baik.

"Kamu ngapain di sini?" tanya Tante Mae seraya melotot.

Mira hendak menjawab, akan tetapi urung, sebab Tante Mae kembali buka suara.

"Pasti mau caper sama Laksmana. Iya, 'kan? Kamu pikir, aku akan tertipu dengan akal bulus kamu, hah?!" cecar wanita itu. Mira hanya bisa menunduk, enggan menanggapi perkataan Tante Mae.

"Aku yang ngajakin, kok, Bun. Jangan marah, ya. Lagian, 'kan, bagus kalau Mira dan teman-temannya ikut salat bareng kita. Dari pada kita berjamaah cuma berdua aja. Iya, 'kan?" bela Laksmana.

Tante Mae mendengkus, lalu menatap Mira tajam dan beranjak dari tempat salat, lantas masuk ke kamarnya. Wanita itu tetap saja tak suka dengan Mira. Gadis itu sudah kadung dicap sebagai gadis yang tidak baik di desa. Ditambah, pengalaman buruk yang pernah Mira berikan padanya, tak mudah untuk dilupakan begitu saja.

Mira merasa tidak enak hati berada di rumah megah itu. Walaupun dia senang bisa bertemu dengan pemuda idamannya, akan tetapi sikap Tante Mae yang terang-terangan menunjukkan sikap tidak suka, membuat gadis itu merasa jengah.

"Mas, aku pulang dulu, ya. Makasih, lho, udah diajak ke sini." Mira akhirnya berpamitan, meski sesungguhnya, dia ingin bisa lebih lama berada di rumah megah itu, dan mengobrol dengan Laksmana.

"Masih hujan, kok. Nanti aja, tunggu reda. Maafin bunda saya, ya," ujar pemuda itu, tulus. Dia merasa tak enak hati.

Mira menggeleng pelan. Dia sadar dan mengerti jika Tante Mae tidak suka padanya. Tanpa berkata lagi, Mira mengajak dua sahabatnya pergi walau Laksmana tetap melarang.

Hujan memang belum reda, tapi sudah tidak deras lagi, hanya tinggal gerimis kecil. Mira, Santi, dan Tika berjalan pulang. Sepanjang perjalanan, tak ada satu kata pun yang terucap, membuat suasana di gang yang sepi itu bertambah sunyi.

Sampai di pertigaan, mereka pun berpisah. Mira berbelok ke kiri, sedangkan Santi dan Tika ke kanan. Ketiganya lalu saling melambaikan tangan.

"Daaah, Mira. Jangan lupa besok sekolah. Ada ulangan bahasa!" seru Tika sembari berjalan menjauh.

***

Esok harinya, di rumah megah bercat biru cerah ....

Tante Mae masih kesal sebab kehadiran Mira yang tak terduga di rumahnya. Wanita itu pun marah dengan Laksmana yang mengundang gadis urakan tersebut. Sejak semalam, wanita berusia empat puluh lima tahun itu mengurung diri di dalam kamar.

Laksmana mengetuk pintu kamar ibunya beberapa kali. Pemuda itu masuk tanpa menunggu izin sebab tak ada sahutan dari dalam.

"Bun ... aku masuk, ya." Laksmana menghampiri ibunya yang berbaring dengan posisi memunggungi pintu.

"Maaf, ya, Bun," ucap Laksamana sambil duduk di tepi ranjang.

Tante Mae bergeming. Pun, saat pemuda itu menyentuh lembut lengannya.

"Aku tahu kalau orang-orang nganggep Mira nakal. Tapi, sebetulnya dia anak baik, lho, Bun." Sekali lagi, Laksmana mencoba untuk membujuk sang ibu agar mau menerima Mira. Namun gagal.

Laksmana menyerah. Dia pun meninggalkan sang ibu sendiri. Mungkin dia harus memberi wanita itu waktu.

Setelah Laksmana keluar dan menutup pintu kamarnya, Tante Mae termenung. Ya, dia akui, Mira memang gadis yang baik. Menurutnya, Mira termasuk anak yang sangat menyayangi ibunya. Akan tetapi, kebaikannya itu tertutup oleh sikapnya yang jahil.

Tante Mae tidak akan pernah lupa pada apa yang pernah anak itu perbuat pada dirinya. Kejahilan Mira waktu itu, bahkan masih dia ingat sampai sekarang. Bukan hanya satu kali, tapi berkali-kali.

Angan wanita itu tiba-tiba melayang ke masa silam. Saat itu, Mira benar-benar telah membuat dirinya sangat kesal.

Bagaimana dia bisa lupa? Malam itu, Tante Mae sedang berjalan menuju ke warung kelontong untuk membeli sesuatu. Dari balik pohon mangga yang tak jauh dari warung, Mira tiba-tiba saja muncul di hadapannya dan melemparkan ular karet, membuat wanita itu girap-girap.

Teriakan Tante Mae membuat para warga menghampiri dan mengerumuni. Tubuhnya gemetaran, wajahnya menjadi pucat pasi, keringat dingin merembes, membasahi sekujur tubuhnya.

Ular adalah makhluk yang paling Tante Mae benci, dan dia membenci Mira yang tertawa puas setelah mengerjainya, detik itu juga.

Tante Mae menghela napas kala mengenang kejadian itu. Meski sudah lama berlalu, wanita yang telah kehilangan suami tiga tahun yang lalu karena disebabkan oleh ular itu tetap tak dapat lupa.

Baginya, ular adalah makhluk yang sangat jahat. Begitu juga dengan Mira. Tante Mae telah menganggap gadis itu jahat, karena telah berani mengerjainya sedemikian rupa.

Maesaroh, nama asli Tante Mae, bangkit dari tempat tidur, lalu menuju ke dapur. Dia teringat, belum membuatkan sarapan untuk anak lelaki kesayangannya. Namun, begitu dia sampai di dapur, Laksmana telah selesai memasak. Meja makan telah penuh dengan hidangan. Berbagai macam menu tersaji. Semua makanan kesukaan wanita itu.

Maesaroh mendekati meja makan dengan mulut ternganga. Dia merasa takjub dengan apa yang telah Laksmana kerjakan.

"Kamu masak semua ini sendiri?" tanya wanita itu, tak percaya.

Laksmana mengangguk seraya tersenyum. Dia memang tak pernah memasak selama di rumah. Oleh karenanya, Maesaroh begitu terkejut. Akan tetapi, ketika di pesantren, anak lelaki kesayangannya itu adalah juru masak yang handal. Kiai, para ustad, dan teman-teman santrinya sangat menyukai masakan pemuda itu.

"Ayo, Bun. Cobain masakan aku."

Laksamana menarik kursi makan untuk duduk sang ibu. Kemudian, dia menyendokkan nasi goreng ati spesial untuk wanita itu.

"Ayo cobain. Semoga Bunda suka." Maesaroh terharu. Dia hanya bisa mengangguk dan tersenyum, menanggapi perkataan anak lelakinya itu.

Maesaroh menyuap nasi goreng ati buatan Laksmana pelan-pelan, dan mengunyahnya pelan-pelan. Matanya terpejam, meresapi rasa yang menurutnya luar biasa. Wanita itu merasa, ada bumbu lain yang tak biasa dia pakai untuk membuat nasi goreng, yang ditambahkan oleh Laksmana. Membuat rasa nasi goreng itu tak biasa.

"Enak banget ini. Beda sama buatan bunda," kata Maesaroh, memuji.

Laksmana senang bundanya suka dengan masakannya. Setidaknya, wajah murung dan masam sang ibu telah hilang. Senyum wanita itu telah kembali. Itu hal yang paling penting bagi Laksmana.

"Nambah, ya, Bun. Aku masak banyak." Laksmana baru saja hendak menambahkan nasi goreng di piring, tetapi ditahan oleh Maesaroh.

"Nggak. Nanti aja bunda makan lagi," kata Maesaroh, menolak.

Laksmana menurut. Dia lalu duduk di kursi yang berhadapan dengan sang ibu, dan bermaksud mengutarakan keinginannya untuk pindah sekolah, yang tentu saja ditolak mentah-mentah oleh Maesaroh.

"Untuk apa kamu pindah sekolah? Tanggung, Nak. Satu tahun lagi kamu lulus, lalu kamu bebas mau lanjut kuliah di mana pun kamu mau."

"Tapi, Bun ... ada sesuatu yang bikin aku nggak bisa lanjut di pesantren sana. Aku mau pindah sekolah di sini aja," tutur Laksmana.

"Sesuatu? Kenapa? Apa kamu terlibat masalah di sana?" Maesaroh mencecar Laksamana dengan pertanyaan.

Laksmana terdiam sesaat sebelum berujar.

"Bun, sebenarnya aku ...."