Mira melihat Laksmana duduk termenung sendirian di pos ronda. Gadis itu lantas duduk di sisi kanan Laksmana, dengan jarak satu meter.
"Mas Laksmana lagi ngapain?" tanya Mira.
Laksmana menoleh sebentar, lantas kembali menatap lurus ke depan.
"Kok, bengong aja? Lagi ngelamunin aku, ya?" lanjut Mira, tak tahu malu.
Laksmana tersenyum mendengar perkataan Mira. Dia selalu senang saat bersama dengan gadis yang selalu bertingkah konyol di hadapannya. Bersama Mira, pemuda itu bisa sejenak melupakan semua masalah yang menghantui pikiran.
"Ish! Ditanyain bukannya jawab, malah senyum-senyum. Kamu sehat, 'kan, Mas?" Mira merengut.
Senyum Laksmana kian lebar melihat wajah Mira yang terlihat lucu saat sedang kesal.
"Kamu udah pulang?" tanya pemuda itu kemudian.
"Belum," sahut Mira seraya melengos, menatap ke arah lain saat pandangan mereka beradu. Dada gadis itu berdesir. Dia yakin, pasti wajahnya sudah serupa kepiting rebus.
"Lho, kamu bolos?" Laksmana mengerutkan kening.
"Belum pulang ke rumah, Mas. Kalau sekolah, ya, udah pulang," kata Mira, lantas tertawa.
Melihat Mira yang tertawa begitu lepas seolah-olah tak punya beban pikiran, dalam hati Laksmana merasa iri. Ingin rasanya dia menjadi seperti gadis itu. Bebas berekspresi sesuai kemauan, walau di mata orang dianggap arogan dan urakan.
"Ya, udah. Pulang dulu, gih! Nanti dicariin emak kamu." Laksmana kembali menatap lurus ke depan.
Mira merasa, pemuda tampan idamannya sedang ada masalah. Gadis itu pun menduga-duga, apa mungkin Tante Mae sangat marah pada Laksmana sebab kehadirannya di rumah megah itu tempo hari?
"Tante Mae masih marah, ya?" tanya Mira sembari menatap pemuda yang berada di sampingnya.
Laksmana menoleh dan mengulas senyum. Kemudian, pemuda itu menggeleng pelan.
"Bukan karena itu." Laksmana menghela napas panjang.
Mira bungkam, menunggu, dan bersiap mendengarkan. Namun, tak sepatah kata pun keluar dari mulut pemuda itu. Hanya terdengar gemerisik daun-daun bambu di belakang pos ronda yang diterpa angin, juga suara kokok ayam jantan milik Pak Haji di samping, yang sepertinya memang sengaja ingin mengganggu kedua muda mudi itu.
Jiwa kepo Mira bergejolak. Dia paling tidak bisa kalau ada yang membuat penasaran. Bisa-bisa, tidurnya tidak nyenyak nanti.
"Kalau bukan karena dimarahin Tante Mae, terus apa, dong? Apa karena aku selalu menari-nari di pikiranmu?" goda Mira sambil menaik turunkan alisnya, membuat Laksmana tertawa lebar.
Tepat di saat Laksmana hendak mengatakan sesuatu, Tante Mae muncul dengan membawa sapu.
"Pulang sekolah itu, mbok, pulang. Jangan mampir-mampir! Apalagi ini ... godain anak aku. Hih! Ganjen banget, sih," gerutu Tante Mae. Sapu lidi di tangannya dia pukul-pukulkan pada tiang penyangga pos ronda.
Mira segera angkat kaki dari pos ronda dan berlari sekencang-kencangnya. Tante Mae yang galak itu tak akan segan memukulkan sapu lidi ke arahnya jika saja gadis itu tak segera pergi.
Mira masuk ke rumah dengan napas yang terengah-engah. Diambilnya sebotol air mineral di dapur, lalu ditenggaknya dengan cepat hingga isinya hanya tersisa sedikit.
"Tante Mae galak banget. Ih, amit-amit, deh. Untung gue suka sama anaknya," gumam Mira seraya mengelap sudut bibirnya yang basah.
Mira tahu betul mengapa wanita itu bersikap demikian terhadap dirinya. Dia memang sering menjahili Tante Mae. Wajar saja jika ibu Laksmana itu menjadi tak suka padanya.
Mira ingat saat terakhir kali membuat Tante Mae menjerit histeris sambil melompat-lompat saat dia melemparkan ular mainan. Ya, dia akui, memang sangat keterlaluan saat itu. Namun, Mira sangat puas bisa mengerjai ibunya Laksmana, meski itu sebetulnya adalah sebuah kesalahan.
Sesungguhnya, Mira tak berniat untuk mengerjai Tante Mae. Sasaran sebenarnya adalah penjual nasi uduk yang telah membuat ibunya menangis sebab kata-kata pedas yang keluar dari mulut wanita yang bergigi ompong itu.
Siapa sangka, justru Tante Mae yang kena. Meski pun begitu, Mira tak menyesal. Gadis itu menganggap, semua warga di Desa Rawa-Rawa sama saja, tak menyukai keluarganya. Dia pun sering mendengar, para warga selalu membicarakan keburukan orang tuanya, juga dirinya.
Selama ada kesempatan, Mira akan mengerjai siapa pun, yang pernah berbicara buruk tentang dia dan orang tuanya.
"Kalau gue tahu Tante Mae itu nyokap Mas Laksmana, mana mungkin gue berani ngerjain, dia," gumam Mira.
"Duh, nyeselnya sekarang. Pasti gara-gara itu dia benci sama gue. Gimana caranya biar bisa dapetin anaknya, kalau emaknya aja nggak mau liat gue," lanjutnya, galau.
***
Di pos ronda, seperti biasanya, Mira and the geng sedang duduk-duduk santai. Tak ada yang mereka kerjakan. Mereka sibuk memikirkan tugas dari Kepala Sekolah untuk menjadi pendamping bagi adik-adik kelasnya di acara perkemahan, yang akan diadakan minggu depan, di lapangan ujung desa.
Mira tak tahu apa pun tentang kegiatan Pramuka, sebab dia selalu mangkir setiap kali ada kegiatan itu. Santi pun sama tak mengertinya seperti halnya sang ketua. Sedangkan Tika, hanya mengetahui sedikit saja mengenai kegiatan berkemah.
"Duh! Gimana, nih? Apa gue minggat aja, ya?" tanya Mira, pada kedua sahabatnya.
"Jangan, Mir! Nggak baik lari dari tanggung jawab," ucap Santi, sok bijak.
"Tapi, gue beneran nggak tahu apa-apa tentang berkemah!" pekik Mira, membuat Tika terlonjak.
Santi terdiam, memikirkan solusi yang terbaik bagi mereka bertiga. Namun, dia tak dapat berpikir sama sekali.
"Gue nggak tahu. Kalau kita minggat, kita memang bisa lari dari kegiatan yang sama sekali kita nggak paham. Tapi, kita nggak bisa selamanya menghindar dari kekejaman Bu Ayang. Suatu hari, dia pasti tetap akan menghukum kita, Mir!" ucap Santi, panjang lebar.
Mira dan Tika mengangguk-anggukkan kepala. Mereka berdua setuju dengan apa yang baru saja Santi katakan. Tapi, bagaimana mereka bisa menjalankan tugas yang sama sekali tidak mereka pahami?
Di tengah kebingungan yang melanda Geng Mirasantika, Chaca, ketua geng rivalnya tiba-tiba saja muncul dan memberikan secercah cahaya.
"Gue bisa bantu elu. Gue udah sering jadi pendamping di acara perkemahan," kata Chaca, yang disambut tatapan tak percaya dari Mira dan kedua sahabatnya.
"Gue serius!" lanjut Chaca, melihat raut ketidakpercayaan yang terpancar dari wajah ketiga gadis itu.
Mira, Santi, dan Tika saling pandang, kemudian mengangguk tanda setuju. Meski sebenarnya mereka tak percaya pada perkataan Chaca, tetapi Mira dan kedua sahabatnya itu tak memiliki ide lain.
"Elu nggak lagi merencanakan sesuatu hal buat gue, 'kan?" Mira menatap tajam ke arah Chaca yang tetap tampak santai.
"Niat gue cuma mau bantu elu!" Chaca mengacungkan dua jari di depan wajah.
Mira tak serta merta percaya pada apa yang dikatakan oleh Chaca.
"Elu pasti nggak akan bantu gue secara cuma-cuma, 'kan? Lu mau imbalan apa?" tanya Mira kemudian.
Chaca tersenyum. Senyum yang sama sekali tak indah di mata Mira.