"Mira, Santi, mana buku kalian? Lekas kumpulkan!" titah Bu Ayang dengan suara penuh penekanan.
Mira dan Santi saling pandang, kemudian menunduk guna menghindari kilatan mata Bu Ayang yang menatap kedua gadis itu sambil melotot tajam. Wanita yang bertubuh subur tersebut bisa menebak, kedua gadis pembuat onar itu pasti belum melaksanakan perintahnya untuk mencatat.
Dihampirinya Mira dan Santi yang masih menunduk, lantas dilihatnya buku catatan kedua gadis itu seraya menggelengkan kepalanya pelan.
"Ck ... ck ... ck! Kalian belum nulis sebaris pun?" tanya Bu Ayang sambil menatap wajah Mira dan Santi secara bergantian.
Sang kepala sekolah kemudian memerintahkan kepada Mira dan Santi untuk mencatat sebanyak dua puluh halaman, dengan tambahan dua puluh halaman sebagai hukuman bagi keduanya.
"Apaaa?!" Mira dan Santi kompak ternganga.
"Kalau kalian tidak mengerjakan lagi, maka akan saya beri hukuman yang lebih keren!" kata Bu Ayang sambil menggerakkan jari telunjuk dan tengahnya membentuk tanda kutip saat mengucapkan kata 'keren'.
Mira dan Santi hanya bisa pasrah. Mereka berdua bergegas mencatat saat Bu Ayang melangkah keluar kelas, sembari menunggu guru mata pelajaran berikutnya hadir.
Bel tanda pergantian pelajaran berbunyi. Mira dan Santi masih fokus menyelesaikan catatan hingga guru mata pelajaran berikutnya masuk ke kelas. Keduanya bergegas memasukkan buku catatan berisi tugas dari Bu Kepala Sekolah, dan menggantinya dengan buku pelajaran yang sedang berlangsung.
Menjelang jam pelajaran terakhir, konsentrasi Mira sudah hilang. Di dalam otaknya kini dipenuhi bayang-bayang wajah Laksmana yang tengah tersenyum manis.
"Duh, lama-lama gue diabet kalau terus-terusan liat dan terbayang-bayang senyum kamu, Mas," gumam Mira, lirih.
Kriiing ...!
Bunyi bel waktu pulang nyaring terdengar. Semua siswa berhamburan keluar kelas. Demikian juga dengan Mira yang berjalan dengan tergesa-gesa, ingin segera pulang, lalu nongkrong di pos ronda. Tak dihiraukan teriakan Tika dan Santi yang memanggil-manggil namanya.
"Widih! Kita dicuekin, Tik," keluh Santi, sementara Tika hanya menanggapi dengan gelengan kepala.
Kedua gadis itu berlari, menyusul Mira yang semakin mempercepat langkahnya.
"Miiir ... tungguin, dong! Ngapain buru-buru, sih?" Santi masih berusaha mengimbangi langkah Mira.
Mira menoleh sesaat, lalu kembali memperhatikan jalan. Langkahnya diperlambat demi kedua sahabatnya yang sedari tadi mengejarnya.
"Lu kenapa, sih? Buru-buru amat keliatannya?" cecar Santi, begitu berhasil mensejajarkan langkahnya dengan sang ketua geng.
"Gue nggak kenapa-napa, kok. Emang kenapa, San?" tanya Mira, heran.
"Kita nongkrong di warung Mak Ijah, yuk!" ajak Santi kemudian.
Mira berpikir sejenak, lalu menggeleng.
"Nggak, ah, San. Gue mau kelarin catetan dulu. Kata Bu Ayang, kan, besok suruh dikumpulin. Emangnya elu udah selesai?" tolak Mira.
Santi mendengkus. Mood-nya berubah jelek saat Mira mengingatkannya tentang tugas dari sang kepala sekolah. Dia juga kesal dengan sikap Mira yang tiba-tiba saja sangat peduli pada tugas. Padahal, biasanya Mira tak mempan dengan ancaman hukuman. Bahkan, jika harus disuruh berdiri di tengah lapangan sepulang sekolah sembari hormat pada bendera, mereka akan jalani dengan biasa saja.
"Beneran nggak mau?" tanya Santi sambil mengerutkan keningnya.
Mira mengangguk pasti, lantas bergegas menuju rumah.
"Miiir! Elu kenapa? Elu nggak lagi demam, 'kan?!" teriak Santi ketika Mira semakin menjauh.
Sang ketua geng hanya menanggapi dengan mengacungkan ibu jarinya tinggi-tinggi.
Tika dan Santi saling pandang, lalu kompak mengangkat bahu. Mereka memiliki sebuah pertanyaan yang sama, "Mira kenapa, ya?"
***
Ibu Mira sedang menangis di dapur saat Mira pulang. Gadis itu menoleh ke sana kemari, memeriksa semua ruangan, mencari sosok bapaknya yang berperangai kasar. Dia yakin, pasti lelaki tukang mabuk itu yang telah membuat ibunya menangis.
Tak menemukan sang bapak di mana pun, Mira bergegas menghampiri ibunya yang duduk dan menelungkupkan wajahnya pada meja makan, beralaskan lengan.
"Emak kenapa?" Mira menyentuh punggung sang ibu dengan lembut. Meski urakan, dia memiliki sifat lembut yang selalu tersembunyi. Hanya kepada ibunya, kelembutannya diperlihatkan, sesekali.
"Mak, Bapak ngapain lagi?" Mira kembali bertanya.
Murni mendongak, lalu menunduk. Disekanya air mata yang menyatu dengan ingus menggunakan ujung baju. Tak ada sepatah kata pun yang keluar meski Mira kembali melontarkan pertanyaan beberapa kali.
Mira mengambil tempat duduk di samping sang ibu. Tas ransel dia lepaskan dari punggung, lalu diletakkan di atas meja makan. Meski gadis itu yakin kalau ibunya menangis karena ayahnya, dia tetap ingin mendengarnya langsung dari mulut sang ibu.
"Emak kenapa, Mak? Bilang sama aku. Gara-gara Bapak, ya?"
Wanita itu menghela napas berat sebelum berkata. Sejenak ragu menelusup dalam hati. Namun, menurutnya, Mira berhak tahu apa yang terjadi.
"Maafin emak, Mir. Uang buat bayar sekolah kamu ... diambil Bapak," kata ibunya, lirih.
Tangan Mira sontak mengepal. Rahangnya mengeras. Sungguh! Dia sangat ingin mengamuk sekarang.
"Bapak tega banget, sih. Itu, kan, uang SPP yang harus dibayar sekarang! Nanti aku nggak bisa ikut ulangan, Mak!" keluh Mira.
Murni merasa dadanya semakin sesak, terhimpit beban yang seharusnya menjadi tanggung jawab sang suami, tetapi justru dipikulkan di pundaknya. Tak hanya itu, suaminya telah merampas uang sekolah Mira dengan paksa untuk membeli minuman keras.
"Nanti emak coba cari lagi, ya, Mir. Kamu sabar dulu. Emak usahain secepatnya dapat uang buat bayar SPP kamu," ucap Murni dengan suara serak.
Mira menghela napas dengan kasar. Gadis itu kesal dengan bapaknya yang sudah bersikap kelewatan. Jika tidak bisa membahagiakan keluarga, setidaknya jangan menyusahkan. Demikian yang Mira pikirkan.
Tak ingin melihat wajah sendu ibunya lebih lama, Mira bergegas masuk ke kamar. Dilemparkan tas ranselnya dengan kasar ke sembarang arah, dan dihempaskan tubuhnya yang masih terbalut seragam putih abu-abu ke atas ranjangnya. Dibenamkan wajahnya dalam bantal, lalu ditumpahkannya segala beban yang menghimpit dada melalui deraian air mata.
Sang ketua geng yang biasanya tak pernah gentar menghadapi masalah dan situasi apa pun itu tak kuasa lagi menahan bendungan yang telah lama dia tahan agar tak jebol. Mira pun menangis hingga ketiduran.
BRAK!!!
Bunyi pintu yang ditutup dengan kasar membuat Mira terbangun. Diliriknya jam berukuran kecil yang menempel pada dinding kamarnya, pukul lima sore. Mira mengucek matanya yang sembab dan terasa pegal. Ketika dia hendak membuka pintu, keributan kembali terdengar dari arah dapur, yang terletak persis di belakang kamar gadis itu.
Praaang!
"Dasar bini nggak guna! Apa kerja lu seharian, hah?! Kenapa makanan belum siap?"
Mira meremas gagang pintu kamar yang urung dia buka. Teriakan sang bapak yang membahana di seluruh penjuru rumah membuat Mira kembali mengunci pintu kamarnya, dan dia pun kembali menghampiri peraduan. Gadis itu duduk di tepi ranjang. Duduk diam, tak bergerak sedikit pun.
Dia tak tahu, kepada siapa kelesah hatinya akan diungkapkan. Gadis itu tak berani keluar kamar. Dia tahu, bapaknya pasti sedang mabuk berat, dan bisa melakukan apa saja yang bisa membahayakan dirinya dan ibunya.
Mira tak mengerti, mengapa tiba-tiba dia menjadi gadis pengecut yang takut menghadapi lelaki tukang mabuk itu. Padahal, biasanya dia takkan peduli, dan dengan tak acuh pergi dari rumah setiap kali mendapati bapaknya dalam pengaruh alkohol. Tidak! Dia bukan takut, melainkan berusaha menahan diri karena kalimat Laksmana yang selalu terngiang setiap kali amarahnya memuncak.
"Kalau kamu sedang kesal sama bapak kamu, coba selalu ingat, bahwa kamu ada di dunia ini juga karena beliau. Biar bagaimanapun, dia tetap bapak kamu ... orang tua kamu yang harus kamu hormati."
Ah ... cinta ....
Sebegitu berpengaruhnya kalimat Laksmana bagi sang ketua geng. Bagaikan mantera sakti yang telah menyihirnya, menjadi tak berdaya.