Chereads / Mira & Geng / Chapter 22 - Mira Ngaji?

Chapter 22 - Mira Ngaji?

Sore hari, Mira sudah mandi. Biasanya, boro-boro mandi sore. Mandi pagi saja cuma alakadarnya.

Selesai mandi dan mengenakan pakaian yang baru saja disetrika oleh sang ibu, Mira langsung menuju ke pos ronda, tempat yang biasa dia pakai untuk berkumpul bersama kedua sahabatnya, juga tempatnya bertemu dengan Laksmana.

Mira melangkah dengan riang. Langkahnya ringan, dan senyumnya terus mengembang. Bagaimana tidak? Laksmana sendiri yang meminta untuk bertemu dengan dirinya sepulang sekolah, sebelum mereka berpisah di persimpangan jalan.

Di pos ronda, Laksmana telah menunggu. Pemuda itu memang tak memiliki teman selain Mira dan geng sejak kedatangannya ke Kampung Rawa-Rawa. Meski di sekolah baru dia telah berteman dengan semua yang ada di kelas, akan tetapi belum akrab, dan lokasi rumahnya pun berjauhan.

Saat melihat Mira datang, senyum Laksmana langsung merekah. Wajahnya tampak semringah. Pemuda tampan itu sudah merencanakan sesuatu untuk mereka berdua, juga untuk kedua sahabat Mira. Namun, Santi dan Tika tak datang ke pos ronda.

"Sini, Mir! Saya mau ngomong." Laksmana menepuk-nepuk tempat di sampingnya.

Dengan penuh semangat, Mira menghampiri dan duduk di samping pemuda itu dengan jarak satu meter. Pandangannya hanya ke arah langit, atau ke bawah, menghindari tatapan mata teduh Laksmana yang selalu membuatnya mabuk kepayang.

"Mir, malam Minggu nanti kamu mau nggak—" Laksmana belum selesai mengatakan, tapi Mira sudah menyela.

"Malam Minggu mau ke mana, Mas? Nonton? Apa nongkrong di warung kopi?" tanya Mira, antusias.

"Saya belum selesai ngomong, udah main nyela aja." Laksmana menggelengkan kepala sembari tersenyum.

Mira tersipu. Kepalanya ditundukkan lebih dalam lagi.

'Habisnya semangat gue, Mas, diajakin malam mingguan, hi hi,' batin Mira, terlalu senang.

"Maaf, Mas. Silakan lanjutkan ngomongnya," ujar Mira kemudian.

Laksmana kembali mengulum senyum sebelum melanjutkan perkataannya yang telah diinterupsi oleh Mira.

"Malam Minggu nanti, kamu mau nggak ikut pengajian?" tanyanya.

"Itu pengajian remaja. Aku baru ikutan Minggu lalu. Acaranya yasinan sama dengerin ceramah ustad. Kamu pasti suka. Aku aja suka, kok. Bisa nambah teman dan ilmu kita nanti," lanjut Laksmana, menjelaskan.

Mira mengernyitkan dahi. Pengajian? Seumur-umur, si ketua geng itu belum pernah mengikuti pengajian mana pun. Dan, sekarang Laksmana mengajaknya.

Hati Mira bimbang. Dia sangat ingin ikut Laksmana ke pengajian itu. Akan tetapi, apa dia bisa? Apakah di pengajian nanti, orang-orang tidak menjauhi dirinya yang jahil?

Hatinya bertambah bimbang. Ditatapnya wajah Laksmana yang tampan. Mira sangat ragu, dirinya akan diterima di komunitas pengajian itu.

"Aku nggak tahu, Mas. Aku takut nggak diterima di sana," ucap Mira dengan suara lirih.

"Lagi pula, aku nggak punya baju buat pengajian, Mas. Bajuku pendek semua, he he," sambung Mira, malu-malu.

Lagi-lagi Laksmana mengulum senyum. Bikin Mira semakin terpesona saja.

"Mas Laksmana jangan senyum terus, dong," protes Mira.

"Lho, kenapa?" tanya Laksmana sembari mengerutkan dahi.

Mira menunduk sebelum menjawab pertanyaan Laksmana.

"Ntar aku diabetes, Mas." Mira berkata sembari menoleh ke arah lain.

Laksmana terkekeh. Kalimat gombal Mira membuat pemuda tampan itu tak tahan untuk menahan tawa. Dia diam sesaat, lalu tawanya kembali meledak, terbahak-bahak.

Wajah Mira bertambah merona. Melihat Laksmana tertawa sedemikian rupa, membuat gadis itu salah tingkah, walau tak jarang Mira menggoda pemuda itu.

"Ish, udah, dong, ketawanya! Gitu doang, kok," sungut Mira, pura-pura kesal untuk menutupi rasa malunya.

Laksmana menghela napas berulangkali agar bisa berhenti tertawa saat melihat Mira marah.

"Iya, maafin saya. Baru kali ini saya digombalin cewek," akunya.

"Masa? Aku nggak percaya. Paling Mas Laksmana yang suka gombalin cewek. Iya, 'kan?" sanggah Mira, masih dengan wajah cemberut.

Mendengar perkataan Mira, Laksmana hanya menanggapi dengan senyuman. Pemuda itu merasa, tak perlu banyak menjelaskan. Yang terpenting, apa yang dituduhkan gadis itu tidak benar.

Keduanya lalu diam beberapa saat, hingga Laksmana kembali melontarkan pertanyaan semula.

"Kamu mau, 'kan, ikut saya ngaji?"

Mira menatap wajah tampan di sampingnya tanpa kata. Akan tetapi, sepertinya, Laksmana mengerti apa yang ada di dalam pikiran si ketua geng.

"Nggak usah khawatir, nanti saya sediain bajunya. Mau, ya ... please," mohon Laksmana. Dia sangat berharap Mira bisa belajar ilmu agama bersama dengannya.

"Jangan lupa ajak Santi dan Tika, ya," pinta Laksmana.

Meski ragu, akhirnya Mira mengangguk setuju. Bertepatan dengan kumandang azan Maghrib yang terdengar dari pengeras suara musala, Mira dan Laksmana berpisah.

***

Malam Minggu yang ditunggu-tunggu Mira tiba. Sejak sore, si ketua geng sudah menjajal pakaian yang diberikan oleh Laksmana untuk mengaji, sebuah gamis warna hijau pupus lengkap dengan hijab senada yang tak terlalu lebar.

Laksmana sengaja memberi hijab berukuran lebih kecil dari yang biasa bundanya pakai untuk Mira, sebab dia tahu, Mira masih butuh penyesuaian, mengingat gadis itu sama sekali belum pernah mengenakan pakaian muslimah.

Sudah berjam-jam lamanya Mira berdiri di depan cermin besar yang menempel pada lemari pakaiannya. Meski diakui, bahwa dia tampak lebih anggun dengan memakai gamis itu, tetap saja rasanya aneh.

Mira berjalan bolak-balik di kamarnya, ingin mengetahui, apakah langkahnya akan terganggu dengan pakaian yang menutupi sekujur tubuhnya itu. Dan, beberapa kali Mira keserimpet bagian bawah gamis.

"Duh, ribet amat, yak. Gue harus pakai baju begini? Emangnya nggak boleh, ya, pakai celana aja?" keluh Mira.

Di saat Mira sedang sibuk mencoba baju barunya, sang ibu masuk ke kamar anak gadisnya yang tak terkunci itu. Dilihatnya si anak gadis yang tengah sibuk mematut diri di depan cermin. Dahi wanita itu berkerut. merasa heran.

"Kamu pakai baju siapa itu, Mir?" Sang ibu tak dapat menahan rasa penasarannya.

Tanpa menoleh, Mira menjawab pertanyaan ibunya, "Dikasih sama Mas Laksmana, Mak. Tapi aneh banget aku pakai ini. Boleh nggak, sih, kalau ngaji pakai baju biasa aja, Mak?" Mira mulai merajuk.

Kening Murni kembali berkerut mendengar jawaban dari Mira.

"Yang emak tahu, sih, kalau ngaji, ya, pakainya pakaian yang serba panjang dan tertutup gitu, Mir," jelas Murni.

"Eh, bentar! Kamu mau ngaji?" tanya sang ibu,

Mira menjawab pertanyaan sang ibu dengan anggukan kepala, yang seketika disambut dengan senyuman oleh sang ibu.

"Wah, emak seneng kalau kamu ngaji, Mir," ujar Murni.

Rasa haru yang tiba-tiba menyeruak, membuat air mata Murni menitik tanpa terasa. Dia memang tak mengenal agama. Mendengar anak gadisnya akan mulai mengaji, wanita itu benar-benar merasa senang.

"Kamu ngajinya bareng Santi sama Tika, 'kan?" tanya sang ibu sembari mengelap cairan yang menggenang di sudut matanya.

"Mas Laksmana, sih, ngajak mereka berdua, Mak. Tapi nggak tahu mau apa nggak," sahut Mira, masih sambil memandangi pantulan dirinya di cermin.