Chereads / Mira & Geng / Chapter 25 - Rindu

Chapter 25 - Rindu

Santi tak percaya dengan apa yang dia lihat. Mira membaca buku? Yang lebih membuat gadis itu heran adalah judul buku yang ketua gengnya baca.

"Halo, Mir," sapa Tika setelah duduk di samping sang ketua geng.

Mira sangat senang dengan kedatangan kedua sahabatnya ke rumahnya. Gadis itu sangat merindukan mereka. Jarak yang terbentang selama dua Minggu belakangan, membuat Mira merana.

Dipeluknya dengan erat Tika dan Santi secara bersamaan. Seolah-olah Mira tak mau melepas mereka lagi. Gadis yang super baperan tak kuasa menahan air mata yang meluncur deras di kedua pipinya. Sementara Santi, gadis yang paling cool di antara mereka itu, matanya berkaca-kaca.

"Gue kangeeen!" rajuk Mira.

"Sama, Mir. Saya juga kangen," timpal Tika sembari menangis sesenggukan.

Santi hanya bisa mempererat pelukannya, sebagai tanda bahwa dia pun memiliki perasaan yang sama, tanpa harus diucapkan dengan kata-kata.

Setelah puas melepas rindu, ketiga gadis pembuat onar itu saling mencurahkan isi hati.

"Eh, Mir. Elu baca buku ini, nggak salah?" tanya Santi begitu teringat akan buku yang sedang Mira baca.

"Iya, San. Kenapa?" Mira balik bertanya.

"Ya, nggak apa-apa, sih. Heran aja gue sama buku yang lu baca. Novel religi, he he," ungkap Santi sambil menggaruk kepalanya yang tidak gatal.

Mira terkekeh. Dia sendiri pun heran, mengapa tiba-tiba saja ingin membaca buku itu. Mungkin, karena waktu itu Laksmana bilang, kalau Tante Mae suka membaca novel itu. Mira penasaran, selera bacaan ibu Laksmana seperti apa.

"Mir, nongkrong, yuk!" ajak Santi.

"Iya, Mir. Ntar saya traktir makan cilok, deh, sepuasnya," timpal Tika, antusias.

Mira berpikir sejenak, lalu mengangguk. Mira merasa mereka bertiga sudah terlalu lama menjaga jarak. Jadi, tidak ada salahnya jika sesekali berkumpul bersama kedua sahabat kesayangannya.

Lapangan di ujung Kampung Rawa-Rawa menjadi tempat tujuan mereka bertiga. Di sana, ada tukang cilok langganan Mira. Ketiga anggota Geng Mirasantika itu duduk di tepi lapangan, menikmati cilok yang enaknya tiada banding sambil menonton anak-anak kampung yang sedang bermain sepak bola.

Seorang gadis lewat di dekat lapangan. Dia lalu menghampiri Mira setelah memastikan bahwa dia tidak salah orang.

"Mira ...," sapa gadis itu setelah jarak mereka hanya tinggal lima langkah.

Mira menoleh, lalu tersenyum lebar.

"Eh, Ara," balas Mira sambil bangkit dari duduknya.

Mira memperkenalkan Ara dengan Santi dan Tika. Mereka tampak senang kecuali Santi yang terus memasang wajah masam.

"Kamu, kok, di sini?" tanya Mira, penasaran.

Gadis yang dipanggil Ara kemudian menjawab, "Saya habis ngantar kue ke rumah tante saya, Mir."

"Oh, iya. Kenalin, nih, temen baru gue." Mira kemudian memperkenalkan Ara dengan Santi dan Tika.

Melihat Mira yang tampak begitu akrab dengan Ara, Santi merasa kurang senang. Terlebih, melihat penampilan teman baru Mira, Santi merasa kurang nyaman.

Dipandanginya Ara dari ujung kepala sampai ujung kaki, semua bagian tubuhnya tertutup, hanya menyisakan wajah dan telapak tangannya saja.

'Mira berteman sama dia? Sama orang alim? Nggak salah?' Kepala Santi dipenuhi banyak pertanyaan.

Santi merasa, Mira memang sudah benar-benar berubah. Dan, gadis itu baru menyadari, pakaian Mira pun berbeda. Meski tidak mengenakan hijab, namun sang ketua geng memakai baju yang tidak biasanya, yaitu celana kulot panjang, dan kaus berlengan panjang.

Perhatian Santi lalu beralih pada teman baru Mira. Wajah Ara sangat cantik, juga bersih. Tutur katanya pun lembut. Ara terlihat sangat anggun, berbanding terbalik dengan dirinya dan juga Tika yang pakaiannya terbuka, menampakkan pahanya yang mulus.

"San! Bengong aja. Ara manggil, tuh." Santi terlonjak saat Mira menepuk pundaknya.

"Eh, i-iya, kenapa?" ujar Santi, gelagapan.

Ara tersenyum, lalu menggeleng pelan. Tingkah Santi terlihat sangat lucu.

"Aku pamit dulu, ya. Semoga kita bisa ketemu lagi buat ngobrol-ngobrol," ujar Ara, lantas pergi.

Ara melambaikan tangan sebelum menjauh, yang dibalas dengan hal yang sama oleh Mira dan geng. Setelah teman baru Mira sudah tidak terlihat lagi, Santi langsung mengungkapkan apa yang sedari tadi mengganjal di hatinya.

"Mir, elu berteman sama anak alim itu? Nggak salah?" cecar Santi. Ditatapnya wajah sang ketua geng penuh selidik.

Mira hanya tertawa menanggapi pertanyaan Santi yang menurutnya konyol.

"Apa salahnya berteman dengan Ara? Dia baik, kok. Kamu juga pasti bakal suka, deh, sama Ara, kalau sudah kenal," terang Mira.

Santi mengerutkan dahi. Dia masih tak percaya jika Mira berteman dengan gadis alim itu.

"Apa kata dunia, Mir ... Geng Mirasantika berteman sama anak alim? Hih! Nggak banget, Mir!" gerutu Santi.

"Kayaknya otak lu udah geser, deh, sejak deket sama Mas Laksmana. Sikap lu jadi aneh. Terus sekarang, berteman sama anak alim. Lu jauhin, dia, deh. Lagian, emaknya Mas Laksmana juga nggak suka elu deket-deket sama anaknya, Mir. Sadar diri, lu, Mir! Elu siapa, dia siapa," protes Santi, panjang lebar.

Untuk sesaat, Mira termenung setelah mendengar penuturan Santi. Dia juga sadar sepenuhnya, jika Tante Mae membencinya sejak pertama bertemu. Ketika wanita itu baru pindah ke Kampung Rawa-Rawa, Mira sudah membuatnya marah. Bahkan setelahnya, ibu dari Laksmana itu sering menjadi korban kejahilannya.

"Lu bener, San. Gue harusnya nggak deket-deket sama Mas Laksmana. Gue emang nggak sadar diri," desis Mira.

"Mana pantas gue sama dia, ya, San ... dia orang kaya, sedangkan gue gembel. Kami, tuh, bagaikan langit dan bumi. Astaga! Sadar, Mir ... Elu nggak pantes buat dia!" Mira menampar pipinya sendiri berulangkali.

Dia kini menyadari dan percaya, bahwa apa yang dikatakan oleh Santi semuanya benar. Bagaimana mungkin Tante Mae mau menerimanya. Laksmana dari keluarga baik-baik, agamis, dan kaya. Sementara Mira, berasal dari keluarga yang berantakan dari sisi mana pun.

Mira sendiri merasa heran, mengapa Laksmana mau berteman dengannya, dengan anak seorang pemabuk yang perangainya kasar. Semua warga kampung, bahkan keluarga besar dari sang ibu pun membenci bapaknya yang bajingan itu.

Tubuh Mira mendadak menjadi lemas. Di tepi lapangan ujung Kampung Rawa-Rawa, Mira lunglai, duduk bersimpuh sambil menundukkan kepalanya.

"Elu bener, San. Gue harus sadar diri. Mulai sekarang, gue akan jauhi Laksmana. Dan, kayaknya tempat gue yang cocok, ya, sama kalian, Geng Mirasantika," pungkasnya.

Tika dan Santi memeluk sang ketua geng dengan erat. Mereka saling menguatkan satu sama lain.

"Kita akan selalu bersama, Mir. Saya akan selalu ada kalau kamu butuh," bisik Tika sembari menangis.

Mira menangis, hanya di dalam hati. Tatapannya kosong, hatinya merasa hampa seketika, seperti ada yang tercerabut dari dalam sana. Dia tak tahu, apakah sanggup menjauhi Laksmana, pemuda yang telah bertahta di hatinya sejak pertemuan pertama.