"Silakan dinikmati, Kak." Seseorang menyapa, dan menawari Mira.
Mira tersenyum kikuk, lalu mengangguk sembari mengucap terima kasih. Akan tetapi, sedikit pun tidak dia sentuh hidangan yang telah disuguhkan. Perasaan gadis itu masih tak menentu. Mira takut, di antara para jamaah pengajian, ada yang pernah menjadi korban kejahilannya.
Pikirannya terus berkecamuk. Jika sampai benar ada yang pernah menjadi korban kejahilannya di antara mereka, dan membalas perbuatan Mira di hadapan Laksmana, dia takkan bisa membayangkan.
Selama ini, Mira tak pernah peduli, bahkan meski ada yang mempermalukannya di hadapan umum. Namun, sejak mengenal Laksmana, dia tak ingin tampak buruk di hadapan pemuda pujaannya itu. Ya, walaupun Laksmana sebenarnya sudah tahu bagaimana perangai Mira yang sebenarnya dari rumor yang beredar di Kampung Rawa-Rawa.
Laksmana melihat Mira terus menunduk. Merasa tak tega, pemuda itu mendekati Mira yang duduk di antara pembatas tempat lelaki dan perempuan.
"Wah, enak ini. Saya suka banget," celetuk Laksmana sembari mengambil sepotong kue di piring yang berada di hadapan Mira.
Mira tersentak, tak menyangka Laksmana akan muncul secara tiba-tiba seperti itu. Para gadis tertawa cekikikan melihat tingkah pemuda itu.
Laksmana adalah anggota baru di pengajian itu, dan para gadis tidak ada yang tak suka terhadapnya. Sebelum Laksmana datang membawa serta Mira ke pengajian, para jamaah perempuan berlomba untuk mencuri perhatian dari Laksmana.
"Maaf, saya sudah ada calon." Begitu kata Laksmana setiap kali ada teman pengajian lelaki yang menggodanya.
Kehadiran Mira di pengajian, selain karena Laksmana ingin agar Mira berubah, juga untuk membuktikan pada teman-teman di pengajian tentang apa yang telah dia katakan, juga agar para jamaah perempuan tidak lagi berlomba-lomba mendapatkan perhatian darinya.
Meski ada rasa cemburu, tetapi para jamaah pengajian tidak pernah marah. Mereka menerima dengan lapang dada, dan menyambut baik kehadiran Mira di pengajian.
"Kalian nggak mau kenalan sama Mira?" tanya Laksmana, matanya menatap satu persatu teman-temannya.
"Kami mau, Mas. Tapi, karena Mira selalu menunduk, kami jadi segan buat ngajak kenalan," sahut salah satu di antara mereka, yang diiyakan oleh yang lainnya.
Mendengar pengakuan itu, Mira menjadi malu karena telah berburuk sangka. Dia pikir, semua orang di tempat itu mengucilkan dirinya karena tahu semua kenakalannya. Siap sangka, mereka justru welcome terhadap gadis pembuat onar itu.
Satu per satu para gadis di pengajian menyalami Mira, mengajak berkenalan. Tentu saja sang ketua geng merasa senang. Belum pernah dia mendapat perlakuan sebaik itu selama ini. Biasanya, dia dan kedua anggota Geng Mirasantika yang lain selalu dipandang sebelah mata, tak dipedulikan, bahkan dicap buruk.
Rasa haru menyeruak. Mira tak tahu harus bagaimana. Selama berkenalan dengan teman-teman barunya di pengajian itu, Mira hanya banyak menebar senyum yang ternyata sangat manis, dan diperhatikan oleh Laksmana, juga seorang pemuda di tempat itu.
Pengajian selesai pukul sepuluh. Mira dan Laksmana berjalan pulang melewati tempat yang banyak dipasangi lampu jalan. Meski harus memutar dan memakan waktu lima menit lebih lama, tapi itu lebih baik dari pada harus melalui jalan yang dekat tetapi gelap gulita.
"Makasih udah ngajak aku, Mas. Aku seneng banget bisa dapat teman baru," ungkap Mira, tulus.
Laksmana tersenyum. Pemuda itu pun turut merasa senang melihat Mira bahagia. Harapannya, gadis yang telah bertahta di hatinya tersebut bisa berubah, dan diterima oleh bundanya.
Mira memiliki jadwal baru, menghadiri pengajian bersama Laksmana setiap malam Minggu. Semua hal yang membuat Mira resah, gelisah, dan marah, akan terlupakan setiap kali gadis itu berada di tempat, di mana teman-teman baru Mira berada.
Berulangkali sang ketua geng mengajak Santi dan Tika ikut serta. Akan tetapi, mereka berdua tak pernah bersedia. Sebenarnya, hanya Santi yang menolak. Sedangkan Tika tidak berani sebab diancam oleh Santi.
Mira tidak pernah menaruh dendam terhadap Santi meskipun dengan terang-terangan mengatakan rasa bencinya terhadap perubahan sikap Mira. Sang ketua geng tetap bersikap seperti biasanya di hadapan sang sahabat. Namun, Santi sudah terlanjur kesal, hingga menganggap sikap Mira yang tetap baik terhadapnya hanya sekadar pencitraan semata.
Hati Santi telah tertutup cemburu. Dia tak rela jika Mira berpaling dari gengnya hanya demi seorang Laksmana. Terlebih, keduanya sama-sama memiliki perasaan khusus kepada pemuda tersebut.
"Hai, San, Tik. pulang bareng, yok!" Suatu hari, sepulang sekolah, Mira mengajak kedua sahabatnya untuk bersama menuju rumah.
Tanpa menoleh, Santi terus melangkah, tak mempedulikan Mira. Ditariknya lengan Tika untuk segera menjauh.
Mira hanya menggeleng, dan tersenyum menanggapi sikap sahabatnya.
"Gue nggak akan pernah berubah, San. Kalian tetap sahabat rasa saudara buat gue," ungkap Mira dengan suara pelan.
Tak berselang lama setelah Santi dan Tika menjauh, Laksmana sudah berada di samping Mira yang berdiri mematung di tepi jalan, memandangi punggung kedua sahabatnya yang terus menjauh.
"Aku salah apa sama mereka, Mas?" tanya Mira, lirih.
"Sabar aja, ya. Suatu hari nanti, mereka pasti akan nerima kamu lagi." Laksmana meyakinkan Mira.
Mira menghela napas, lalu tersenyum. Senyum getir yang dia paksakan demi melihat usaha Laksmana menghibur dirinya. Keduanya lalu berjalan beriringan dalam diam.
***
Sudah dua minggu lamanya Santi dan Tika nongkrong di tepi lapangan ujung Kampung Rawa-Rawa tanpa Mira. Itu karena Santi masih merasa kesal terhadap sang ketua geng. Namun, seiring waktu, hatinya merasakan ada yang kurang.
"Saya kangen sama Mira," ungkap Tika. Matanya mulai mengembun.
"Iya, Tik. Gue juga kangen sama dia," sahut Santi, kemudian menghela napas panjang.
Kita samper aja, yuk. Ajak nongkrong," usul Tika dengan mata berbinar.
"Ntar kalau dia nggak mau gimana?" tanya Santi setelah berpikir beberapa saat.
Wajah Tika berubah muram. Dia sependapat dengan Santi. Bagaimana kalau Mira menolak diajak nongkrong? Namun, Tika tetap optimis kalau Mira akan bersedia.
"Kita coba dulu!" pungkas Tika, penuh percaya diri.
Akhirnya, setelah menimbang-nimbang, Santi dan Mira memutuskan untuk mendatangi rumah Mira. Biar bagaimanapun, meski rasa kesal masih bercokol dalam hati Santi, tak dapat dipungkiri, ada rindu yang terselip juga. Bukankah sahabat akan selalu memaafkan?
Tika melangkah dengan wajah semringah. Gadis yang super baperan itu sudah tak sabar untuk bertemu dengan Mira.
Sesampainya di rumah Mira, kedua gadis itu langsung mengetuk pintu. Wajah Murni muncul dari balik pintu yang tidak dibuka sepenuhnya. Saat mengetahui tamu yang datang adalah teman-teman anaknya, ibu Mira kemudian membuka pintu lebih lebar, dan mempersilakan keduanya untuk masuk.
Mira sedang membaca sebuah buku di ruang tamu ketika Santi dan Tika datang. Kedua sahabatnya itu lantas duduk di kursi, yang berhadapan dengan Mira.
Santi melongo saat melihat buku yang ada di tangan Mira. Lebih terkejut lagi, saat membaca judulnya.