Dari dalam kamar, Mira mendengarkan pertengkaran kedua orang tuanya dalam diam. Tangannya mengepal setiap kali terdengar bunyi barang jatuh dan menghantam lantai, lalu pecah. Makian yang terlontar dari mulut Kasto membuat telinga Mira merah.
Tak tahan mendengar kebisingan yang bapaknya buat, Mira membekap wajahnya dengan bantal. Namun, tetap saja tak mampu meredam kegaduhan. Bahkan, pekikan sang ibu yang disusul isak tangis, terdengar begitu jelas, menghujam gendang telinganya, dan menusuk-nusuk relung hatinya.
Mira melempar bantal dengan kasar. Dengan amarah yang memuncak, dia keluar kamar melalui jendela, sementara pintu kamarnya dia kunci dari dalam.
Gadis itu berlari sembari menahan air mata yang terus mendesak keluar. Hingga sampai di pertigaan, Mira berhenti. Dia menoleh ke arah pos ronda, lalu melangkah dengan cepat ke sana dan duduk menyandar pada tiang penyangga yang terbuat dari kayu. Dibenamkan wajahnya pada lengan yang memeluk kedua lututnya dengan erat.
Bahunya sedikit berguncang. Air matanya menetes satu satu. Pada akhirnya, sang ketua geng tak kuat lagi untuk terus menyembunyikan sisi lemahnya. Dia lelah harus selalu berpura-pura kuat di hadapan semua orang.
'Tapi, di sini, 'kan, nggak ada orang. Biarin, deh, gue nangis sebentar,' gumamnya, dalam hati.
Sentuhan lembut di pundak, membuat Mira langsung berhenti menangis. Gadis itu mendongak setelah menghapus air mata menggunakan lengan baju. Saat tahu siapa orang yang telah mengganggu saat-saat melow-nya, cepat-cepat Mira memalingkan wajah. Dia tak mau jika orang itu sampai melihat matanya yang basah.
"Kamu ngapain di sini? Bentar lagi Maghrib, lho." Laksmana duduk di samping Mira yang terus menghindar dari tatapannya.
"Biasa, Mas. Lagi ngadem. Di rumah panas!" sahut Mira, berbohong.
Laksmana masih bisa melihat sisa air mata di pipi gadis itu. Dia penasaran, apa yang bisa membuat gadis yang selalu melawan jika ada yang menyenggolnya itu menangis demikian? Di mata Laksmana, Mira terlalu jauh dari kata feminim. Pemuda tampan itu bahkan pernah memergoki Mira sedang berduel dengan teman laki-lakinya di lapangan, dan mereka masih sama-sama memakai seragam sekolah.
'Kalau nangis, Mira jadi keliatan feminim, he he. Kira-kira, apa yang bisa bikin dia tiba-tiba jadi keliatan feminim gitu, ya?' Laksmana bertanya-tanya dalam hati.
Tangan Laksmana terulur, menyeka sisa air mata di pipi Mira dengan handuk kecil yang biasa dia pakai saat jogging. Laksmana memang baru saja berlari keliling Kampung Rawa-Rawa saat melihat Mira duduk sendirian di pos ronda.
"Ini air mata apa keringet, ya?" goda Laksmana.
Mira merasa malu. Ditundukkan kepalanya dalam-dalam. Bisa dia pastikan, pipinya pasti sudah serupa kepiting rebus karena mendapat perhatian demikian dari Laksmana.
Laksmana tersenyum melihat tingkah Mira. Andai saja tak ingat malu, tentu sudah dia rengkuh tubuh gadis itu dan membenamkannya dalam pelukan. Atau, disandarkan kepala Mira di dadanya, agar gadis itu bisa merasa baikan.
'Astaghfirullah! Jangan mikir yang enggak-enggak, Laksmana!' Pemuda itu menggeleng dan beristighfar dalam hati, menyadari bahwa apa yang dia pikirkan itu salah.
"Kalau kamu mau cerita, saya siap jadi pendengar setia." Kembali Laksmana berkata karena melihat Mira menunduk dan diam seribu bahasa.
Pemuda itu tahu, Mira pasti butuh seseorang untuk berbagi beban pikiran. Dan, dia dengan senang hati menawarkan diri untuk menjadi tempat menampung segala keluh kesah gadis itu.
"Cerita apa, Mas? 'Si Kancil dan Buaya'?" Mira menjawab dengan candaan. Dia tetap mencoba menyembunyikan permasalahannya.
Laksmana menggeleng. Seulas senyum tulus dia suguhkan untuk Mira. Sungguh, dia tak menyangka, Mira akan tetap bersikap konyol meski tertangkap basah sedang bersedih.
Mira dan Laksmana saling pandang sesaat ketika terdengar suara orang yang sedang melantunkan selawat dari pengeras suara mushalla. Tandanya, tak lama lagi waktu Maghrib tiba. Laksmana mengajak Mira untuk ke rumahnya guna melaksanakan salat Maghrib berjamaah. Namun, Mira menolaknya dengan halus. Gadis itu tak mau membuat Tante Mae marah lagi seperti tempo hari.
"Aku pulang dulu, ya, Mas. Makasih. Aku salat di rumah aja," ucap Mira. Buru-buru gadis itu meninggalkan pos ronda dan ... Laksmana.
"Mir!" seru Laksmana, memanggil gadis itu.
Mira menghentikan langkahnya, kemudian menengok ke arah Laksmana.
"Kalau kamu udah mau cerita, aku siap jadi pendengar." Laksmana kembali menawarkan diri.
Mira menanggapi perkataan pemuda itu dengan anggukan kepala, lalu melambaikan tangan sebelum meneruskan langkahnya kembali ke rumah yang dia rasa bagai neraka.
Baik Laksmana maupun Mira, merasakan sesuatu yang aneh di dalam hatinya. Mereka sama-sama ingin segera bertemu lagi, secepatnya. Padahal baru saja berpisah. Namun, keduanya sudah merasa saling merindukan.
Ah ... cinta ....
***
Mira memasuki kamarnya melalui jendela. Dia baru saja hendak merebahkan tubuhnya ketika terdengar suara pintu kamarnya digedor beberapa kali, disusul suara sang ibu yang memanggil namanya.
"Mira ... makan dulu!"
Dengan malas, Mira membukakan pintu. Dilihatnya pipi kanan sang ibu yang membiru.
"Ibu kenapa? Dipukuli Bapak lagi?" tanya Mira dengan dada naik turun karena menahan emosi.
Murni, ibu Mira itu diam. Dia kemudian mengalihkan pembicaraan.
"Ayo cepet makan. Ini udah kemalaman, namanya makan kemalaman, deh, bukan makan malam. Emak masak makanan kesukaanmu, lho." Mira mencebik. Bisa-bisanya ibunya itu malah bercanda.
Sebelum keluar kamar dan menuju meja makan, Mira mengedarkan pandangan ke seluruh penjuru rumah. Setelah yakin bahwa tak ada sosok Karso di sudut mana pun, Mira bergegas ke meja makan. Perutnya yang memang belum diisi sejak siang, sudah sangat keroncongan.
Disantapnya sepiring nasi goreng dengan lahap. Mira sangat bersemangat setiap kali ibunya memasak makanan kesukaannya itu. Nasi goreng teri Medan super pedas buatan ibu Mira memang tiada tandingan. Komposisi rasa yang pas tercipta dari bahan-bahan dengan takaran yang juga pas, membuat makanan itu selalu menjadi favorit bagi Mira. Bahkan, gadis itu lupa dengan amarahnya yang sedari siang meletup-letup.
Murni memandangi anak gadis satu-satunya itu dengan senyum yang merekah. Kepedihan yang dia rasakan akibat sang suami, seketika menguap saat melihat Mira begitu menikmati masakannya. Saking lahapnya, beberapa butir nasi sampai menempel di pipi gadis yang berkulit sawo matang itu.
"Pelan-pelan aja makannya, Nak. Nggak ada yang bakal minta, kok," goda Murni.
Mira melirik sekilas wajah ibunya, lalu kembali melahap nasi goreng yang sedap itu hingga tak tersisa.
"Bapak mana, Mak?" tanya Mira sebelum meneguk segelas air dingin yang telah ibunya siapkan.
Senyum Murni langsung menghilang. Kepalanya menunduk segera. Matanya yang seketika mengembun, segera menatap meja makan. Jemarinya saling bertautan.
"Mak ... mana orang itu?" Mira mengulang pertanyaannya.
Sang ibu lalu mendongak. Dengan suara yang lirih, wanita itu berkata sembari menahan rasa nyeri di dadanya, "Bapak berangkat lagi. Katanya melaut. Semua tabungan emak dibawa. Itu yang buat bayar sekolah kamu, Mir. Maafin emak, ya, Mir."
Mira mendengkus. Dihembuskannya napas dengan kasar. Bapaknya sangat kelewatan. Sudah bikin pipi ibunya biru, lalu pergi dengan membawa uang sekolahnya.
Emosi Mira sudah tak dapat diredam. Dalam hati Mira berjanji, akan melakukan sesuatu agar bapaknya tak lagi semena-mena, juga mencari cara untuk segera membayar uang sekolahnya yang sudah menunggak tiga bulan.