Mira, Santi, dan Tika terpaksa menuruti apa pun perintah dari Chaca. Akan tetapi, tak ada yang tahu, bahwa Mira pun telah merencanakan sesuatu untuk membalas setiap perlakuan dari ketua geng rivalnya itu.
'Lu boleh merasa senang kali ini, Cha. Tapi, lu tunggu aja pembalasan dari gue untuk setiap perlakuan lu!' ancam Mira, dalam hati.
Mira telah mempersiapkan diri sejak sebelum acara perkemahan diadakan. Dia juga telah bersiap untuk menghadapi apa pun yang akan Chaca lakukan terhadap dirinya dan kedua sahabatnya.
Regu satu sedang berkumpul membentuk lingkaran. Mira menghampiri para penggalang yang berjumlah enam siswi kelas satu SMP Rawa-Rawa, ditambah seorang ketua regu, siswi kelas tiga.
"Hai, semua. Boleh gabung?" tanya Mira, basa-basi.
Ketua regu satu mempersilakan Mira untuk bergabung. Mereka sedang berembug untuk kegiatan yang akan dilaksanakan pada malam harinya.
"Dua orang cari kayu untuk membuat api unggun. Dua orang ambil air di sumur sebelah sana, dekat perkampungan warga. Jangan lupa minta izin dulu sama warga setempat. Dua yang lain bisa siapkan makan malam. Ada yang mau ditambahin, Kak?" tanya ketua regu satu kepada Mira setelah memberi instruksi pada para anggotanya.
Mira gelagapan. Mana tahu dia soal kegiatan itu.
"Oh. Nggak ada. Aku ikut aja. Silakan lanjut!" sahut Mira, salah tingkah.
Sang ketua regu mengangguk sembari tersenyum. Dia telah diberitahu oleh Chaca, bahwa Mira tak tahu apa-apa soal kegiatan pramuka. Bahkan, ketua geng rival Mira itu telah berpesan pada ketua regu satu untuk mengerjai Mira. Namun, Chaca meminta pada orang yang salah.
"Oya, kenalin, saya Rara," sang ketua regu yang mengenakan hijab cokelat lebih lebar dibanding temannya yang lain mengulurkan tangan kepada Mira. Gadis itu pun menyambutnya, dan menyebutkan nama.
Azan Maghrib berkumandang saat dua anggota regu satu yang bertugas mencari kayu telah kembali ke tenda. Demikian juga dengan dua lainnya yang membawa air. Para penggalang regu satu menghentikan kegiatannya untuk melaksanakan salat Maghrib berjamaah.
Mira lagi-lagi salah tingkah. Dia tak membawa persiapan apa pun, karena memang tak tahu apa yang harus dipersiapkan. Gadis itu kini menyesal karena selalu bolos saat kegiatan pramuka.
"Ayo kita salat dulu, Kak," ajak Rara.
Mira lagi-lagi gelagapan. Seketika, gadis itu teringat pada Laksmana, orang pertama yang mengajaknya salat.
"Kak?" Rara mengibaskan tangan di depan wajah Mira karena gadis itu tak menanggapi ajakannya.
"Eh, i-iya, Dek. Nanti aku nyusul. Aku mau cari temen aku dulu, yaa," jawab Mira sekenanya.
Dengan langkah tergesa, Mira mencari Tika dan Santi. Mereka berdua sedang duduk di tepi lapangan saat sang ketua geng menghampiri. Gadis itu lalu turut duduk bersama kedua sahabatnya yang terlihat lelah.
"Lu berdua nggak salat?" tanya Mira tanpa menoleh. Suaranya begitu pelan, seolah-olah tak ingin ada yang mendengar.
"Gue nggak bawa mukena," lanjut Mira, dengan suara yang lebih lirih.
Santi dan Tika menghela napas sebelum menanggapi pertanyaan dari Mira.
"Sama, Mir. Gue nggak bawa juga." Santi menjawab sembari menatap langit yang semakin gelap.
"Saya lagi nggak salat. Lagi dapet," sahut Tika.
Mereka bertiga pun memutuskan untuk tetap duduk di tepi lapangan, menunggu yang lain selesai menunaikan salat.
Beberapa saat kemudian, terlihat para peserta perkemahan mulai berdatangan. Mereka lantas mulai memasak makan malam sederhana yang mudah dibuat dan cepat. Mi instan adalah pilihan menu mereka.
Mira, Santi, dan Tika kembali ke regu masing-masing. Chaca tersenyum puas melihat Santi dan Tika kelelahan sebab dikerjai ketua regu dua dan tiga. Namun, dia tak senang saat melihat Mira yang belum juga menderita.
Dihampirinya Rara, ketua regu satu, di samping tenda. Gadis itu menoleh ke kiri dan kanan. Setelah memastikan keadaan aman, Chaca pun mulai angkat bicara.
"Kenapa gue belum liat Mira susah? Apa instruksi gue kurang jelas, hah?!" tanya Chaca. Suaranya pelan, tapi penuh penekanan.
Rara tak acuh. Dia tak suka mengerjai orang lain.
"Maaf, Kak. Nggak ada alasan bagi saya buat ngerjain Kak Mira. Permisi, saya mau makan dulu. Lapar," ujar Rara, lantas berlalu meninggalkan Chaca yang wajahnya memerah.
Chaca tampak sangat kesal. Dia meninggalkan tenda regu satu sembari menggerutu. Sumpah serapah ingin dia lontarkan. Akan tetapi suaranya tertahan.
"Awas aja, lu, ya. Berani bener nggak nurutin perintah gue," sungut Chaca.
"Dan elu, Mir. Gue sendiri yang akan bikin lu susah di acara perkemahan ini," lanjutnya sambil menatap Mira di kejauhan, lalu menyeringai.
***
Malam semakin larut. Asap dari api unggun membumbung tinggi. Apinya yang besar meliuk-liuk, mengikuti angin yang berembus pelan. Para pramuka duduk melingkar, mengelilingi api unggun yang memberikan rasa hangat.
Pembina pramuka berdiri di tengah-tengah. Setelah memberikan beberapa wejangan untuk para pramuka selama kegiatan perkemahan, lelaki itu lalu mempersilakan para pembina lain untuk mengadakan games.
Kegiatan di depan api unggun berlangsung hingga pukul dua belas. Setelahnya, para peserta perkemahan menuju ke tenda masing-masing untuk beristirahat. Peserta pramuka laki-laki bergiliran untuk berjaga.
Di dalam tenda, Mira gelisah. Dia tak dapat memejamkan mata. Gadis itu pun memutuskan untuk keluar dari tenda, dan duduk di depan api unggun. Di belakangnya, Chaca menikamnya dengan tatapan yang tajam.
Chaca menuju tenda regu satu dengan hati-hati. Langkahnya sangat pelan, agar tak ada seorang pun yang memergokinya tengah mengendap-endap.
Di tangannya, ada ular mainan yang terbuat dari karet. Salah satunya dia lempar ke dalam tenda regu satu, kemudian gadis itu berjalan perlahan mendekati Mira yang sedang duduk termenung di depan api unggun.
Chaca telah berdiri tepat di belakang Mira, yang tak menyadari kehadiran rivalnya itu. Satu ular mainan diselipkan dengan hati-hati di kantong rok pramuka Mira, lantas Chaca bergegas menjauh dari tenda regu satu sambil tersenyum sinis.
Beberapa waktu kemudian, terdengar jeritan dari dalam tenda regu satu. Jeritan yang kemudian bersahut-sahutan, membuat malam yang sepi berubah menjadi riuh.
Dua pembina dan beberapa peserta kemah laki-laki dan perempuan berlari menghampiri tenda regu satu. Mereka menatap cemas, dan ingin tahu penyebab kegaduhan.
Mira menengok sekilas ke arah keributan. Dia tak beranjak dari duduknya, hanya memutar tubuh, yang kini menghadap ke arah tenda, tanpa berminat menghampiri.
"Ada apa ini?" tanya salah seorang pembina.
Chaca yang datang belakangan langsung merangsek masuk ke tenda. Di sana, seorang penggalang duduk memeluk lutut sambil menangis. Tubuhnya gemetaran. Wajah dan pakaiannya basah oleh keringat. Beberapa temannya memeluk erat, mencoba menenangkan.
Chaca melirik ke sudut tenda. Dilihatnya ular mainan yang sengaja dia masukkan ke sana. Perlahan, didekati ular mainan itu, kemudian, berpura-pura mengamati.
"Owh, cuma mainan, kok," ujarnya, dengan akting yang meyakinkan.
Semua yang berada di depan tenda menghela napas lega setelah Chaca mengatakan bahwa kegaduhan itu hanya disebabkan oleh mainan.
Namun, penggalang yang gemetaran itu terlanjur ketakutan. Meski hanya mainan, dia tetap syok dan tak henti menangis. Hal itu membuat pembina geram dan segera mengusut, mencari siapa yang berulah.
Chaca tersenyum puas sebab rencananya berhasil. Dia tak sabar untuk melihat Mira dihukum karena perbuatan iseng yang tidak dia lakukan.