Kedua sahabat itu terdiam. Seketika, pikiran mereka melayang, membayangkan wajah tampan Laksmana yang begitu mempesona. Baik Mira maupun Santi, sangat berharap bisa mendapatkan hati pemuda itu.
Apakah akan terjadi persaingan antar kedua sahabat itu untuk memperebutkan hati Laksmana? Hanya Tuhan, Mira, dan Santi yang tahu. Sedangkan Tika ... tempe aja.
"Ayo ... ayo ... yang sudah selesai sarapan langsung kumpul di sisi Barat lapangan! Kita akan mengadakan upacara penutupan!"
Suara dari toa membuyarkan angan Mira dan Santi. Mereka bergegas meletakkan piring kotor pada tempatnya, lalu menuju sisi Barat lapangan, bergabung dengan peserta perkemahan yang lain.
"Lho, udah penutupan aja. Bukannya baru sehari kemahnya?"
Mira bertanya-tanya. Sebab, info dari Bu Ayang, kemah akan diadakan dalam waktu satu pekan. Dia kecewa. Daftar rencana mengerjai Chaca telah dia buat untuk satu Minggu ke depan. Akan tetapi, kegiatan justru selesai hanya dalam waktu satu hari.
Meski penasaran dengan info Kepala Sekolah yang tidak sinkron dengan pelaksanaan, Mira tetap mengikuti arahan, berkumpul bersama dengan yang lain untuk mengikuti upacara penutupan kegiatan perkemahan.
Sementara itu, di kamar mandi umum ....
Chaca panik saat mengetahui pakaiannya tidak berada di tempat semula. Sedangkan di luar kamar mandi, teman Chaca terus menggedor pintu sebab sudah tidak tahan lagi menahan rasa mulas.
"Cha ... buruan! Entar aku keburu cepirit ini!" teriaknya, membuat Chaca semakin geram.
"Iya, gue juga pingin keluar ini. Tapi, baju gue ilang!" sahut Chaca, dengan suara yang tak kalah nyaring.
Teman Chaca celingukan, mencari-cari baju yang hilang. Akan tetapi, baju Chaca tak tampak di mana pun.
"Aku bawa handuk, nih. Mau pake nggak?" Gadis yang sudah tak tahan menahan sakit perut itu menawarkan handuknya kepada Chaca.
Terpaksa, gadis itu menerima tawaran dari temannya. Dari pada dituduh melakukan pornoaksi kalau nekad keluar tanpa busana, 'kan?
Chaca keluar dari kamar mandi dengan memakai handuk. Matanya menelisik ke arah tenda. Setelah memastikan tak ada seorang pun di sana, gadis itu berlari dengan cepat, masuk ke tenda dan memakai baju yang dia bawa, lalu bergegas menuju ke tempat para peserta kemah berkumpul.
Kehadiran Chaca yang terlambat, menjadi pusat perhatian. Mira tersenyum puas melihat rivalnya itu salah tingkah. Tepat di bagian kedua dada Chaca, terdapat noda tinta biru, membentuk bulatan-bulatan.
"Pasti kerjaan elu, ya, Mir?" tanya Sinta, yakin.
Mira menempelkan jari telunjuknya pada bibir, meminta Santi untuk diam.
Chaca menatap tajam ke arah Mira. Dia sangat yakin, kalau gadis itu yang telah mengambil pakaiannya dari kamar mandi.
"Awas, lu, Mir!" ancamnya.
Selama upacara penutupan perkemahan berlangsung, Mira dan Chaca saling menghujamkan tatapan tajam. Hingga tiba waktunya mereka pulang, mereka pun saling mengancam.
"Awas, lu, Mir!" gertak Chaca sembari melotot.
"Nggak takut!" tukas Mira sambil membusungkan dada.
Mira, Santi, dan Tika berjalan beriringan menuju rumah masing-masing. Saat melewati pos ronda, ketiganya kompak menengok ke rumah megah bercat biru muda yang terletak di belakang pos ronda.
Pintu rumah itu tertutup rapat. Tampak sepi, seolah-olah tak berpenghuni. Harapan Mira dan Santi untuk bisa melihat Laksmana pupus. Jangankan orangnya, tanda-tanda kehadirannya pun tak ada.
Ketiga gadis itu pun melanjutkan perjalanan. Mereka berpisah di persimpangan.
Kasto sedang menyeruput kopi hitam di teras rumah saat Mira sampai. Gadis itu terkejut karena seharusnya bapaknya itu masih melaut.
'Kok, Bapak udah pulang, ya? Kata Emak pulangnya masih dua bulan lagi,' tanya Mira, dalam hati.
Mira mencoba untuk tidak peduli. Dia melangkah memasuki rumah tanpa menghiraukan kehadiran sang bapak.
"Masih siang udah pulang ngider. Nggak laku, ya?" sindir Kasto sembari mengunyah pisang goreng.
Tangan Mira mengepal. Dia sudah gatal ingin meninju bapaknya itu agar berhenti bicara seenaknya.
Mira membalik badan. Tepat di saat dia hendak membuka suara, Murni datang.
"Udah pulang, Mir? Sana ganti baju, terus makan." Murni meremas bahu Mira pelan.
Gadis itu menatap wajah sang ibu, yang ditanggapi dengan gelengan pelan, meminta Mira agar tak terbawa emosi.
Mira masuk dengan hati dipenuhi amarah. Sungguh, andai saja ibunya tidak berada di rumah, sudah pasti sudah dia beri pelajaran lelaki tukang mabuk itu, tak peduli jika setelah itu dia mendapat julukan anak durhaka.
Memasuki kamar, Mira langsung melempar tas ranselnya ke sembarang arah. Lantas, dihempaskan tubuhnya yang masih terbalut seragam pramuka ke atas kasur.
"Hilang, deh, ketenangan gue di rumah. Lagian, ngapain, sih, Bapak cepet pulang? Kenapa nggak tenggelam aja di laut!" gerutu Mira. Dia benar-benar emosi.
Setelah merebah beberapa saat, Mira bergegas mengganti seragam pramuka pinjamannya itu. Tanpa mempedulikan ibunya yang menyuruhnya makan, Mira melangkah tergesa keluar rumah.
"Miiir ... makan dulu!" seru sang ibu.
"Nggak usah, Mak. Aku mau ke rumah Tika dulu, ada perlu!" sahut Mira.
Murni menggelengkan kepalanya. Dia paham betul, anak semata wayangnya itu tidak akan pernah betah di rumah jika ada Kasto. Perangai lelaki itu yang kasar, kata-katanya yang selalu menyakitkan, dan kebiasaannya pulang malam dalam keadaan mabuk, membuat Mira ingin segera minggat jika saja tidak ada sang ibu yang dia sayangi.
Sebab Murni, lah, Mira bertahan noeski tak bisa sering berada di rumah jika bapaknya ada.
Sepanjang jalan menuju rumah Tika, Mira menggerutu. Hingga sampai di persimpangan, gadis itu memutuskan untuk singgah, dan duduk di pos ronda. Sejenak dia berpikir, jika saja dia pergi dari rumah, apa ibunya akan baik-baik saja?
"Akh! Bapak nyebelin!" teriak Mira sembari mengacak rambutnya sendiri.
Mira termenung, bingung. Dia tak tahu harus bagaimana agar bisa bersikap masa bodoh di rumah, menghadapi bapaknya. Di saat gadis itu melamun, Laksmana tiba-tiba saja hadir tanpa Mira sadari.
Pemuda itu tak segera menyapa Mira. Dia hanya diam, hingga suara Tante Mae yang nyaring membuat Mira dan Laksmana kompak berpaling.
"Ngapain di situ, hah? Ayo pulang!" seru Tante Mae sambil berkacak pinggang.
Kening Mira berkerut, sementara Laksmana menatap ibunya dengan mengiba. Akan tetapi, Tante Mae justru mendekati mereka.
"Laksmana, kamu ngapain di sini? Lekas pulang!" titah Tante Mae sambil melirik tajam ke arah Laksmana.
Mira mencebik, lantas memalingkan wajahnya ke arah lain.
'Ih, galak amat, si, jadi orang!' Mira membatin.
"Please, Bun, cuma mau ngobrol aja, kok. Lagian, kita, 'kan, di luar, bukan di kamar," bujuk Laksmana agar sang ibu memberinya izin.
Tante Mae akhirnya mengalah. Dibiarkannya sang anak mengobrol berdua dengan Mira di pos ronda. Namun, bukan berarti wanita itu telah memaafkan si gadis urakan. Akan tetapi, Tante Mae hanya tidak ingin Laksmana terus murung di rumah.
Wanita itu tahu, setiap kali bersama Mira, Laksmana selalu bisa tersenyum ceria.