Chaca tersenyum puas. Rencananya berjalan sesuai dengan yang dia inginkan. Gadis itu tak sabar untuk melihat Mira dihukum karena perbuatan iseng yang tidak Mira lakukan.
Para pembimbing melakukan pemeriksaan untuk mencari dalang dari keributan yang terjadi di tengah malam. Chaca bersama dua pendamping dari regu lain mendatangi tenda demi tenda, memeriksa setiap peserta kemah.
Mira masih bergeming di depan api unggun saat Chaca dan kedua temannya yang melakukan pemeriksaan menghampiri dirinya.
"Wah, ada ribut-ribut, elu santai aja, Mir!" sinis Chaca.
Mira mendongak dan menatap rivalnya. Dia tak mengerti apa maksud perkataan Chaca.
"Apa jangan-jangan elu pelakunya?" lanjut Chaca, langsung menuduh.
Mira bangkit. Dia tak mengerti apa maksud gadis itu sebenarnya, dan menuduh sembarangan.
"Pelaku apa? Maksud lu apa?" tanya Mira, tak paham. Kening gadis itu berkerut.
"Halah! Jangan pura-pura nggak tahu, Mir. Elu, 'kan, yang iseng naro ular mainan di dalam tenda?" hardik Chaca.
Mira semakin tak mengerti dengan perkataan Chaca. Ditatapnya secara bergantian, semua orang yang melihatnya dengan pandangan yang sulit untuk diartikan. Entah menuduh, curiga, kesal, atau iba terhadap dirinya.
"Coba cek kantung bajunya! Dia itu selalu bawa mainan begitu buat jahilin orang. Kaya anak kecil aja, hih!" kata Chaca, sinis.
Seseorang mendekati Mira, lalu merogoh saku-saku seragam pramuka Mira. Di saku rok gadis itu, ditemukan satu ular mainan. Semua orang memandangi Mira yang tetap tak mengerti dengan apa yang terjadi.
"Sudah gue duga, elu pelakunya," cibir Chaca. Dia tersenyum puas.
Melihat senyum di wajah rivalnya, Mira baru menyadari, bahwa dia telah dikerjai.
Mira pasrah, menerima hukuman untuk perbuatan yang tak pernah dia lakukan. Namun dalam hati, gadis itu bersumpah akan membalas ketua geng rivalnya itu dengan lebih buruk dari yang dia terima.
Santi dan Tika menatap iba pada ketua geng mereka yang berdiri di depan api unggun dengan tangan menyilang, menjewer telinganya sendiri. Hukuman itu tak terlalu berat. Namun, ditatap sinis dan ditertawakan oleh seluruh peserta kemah, membuat Mira merasa sangat marah.
"Awas aja, lu, Cha!"
Satu jam lamanya Mira harus menjalani hukuman. Setelah semua kembali ke tenda masing-masing untuk beristirahat, Mira memilih tetap duduk di depan api unggun.
Santi dan Tika mendekati sang ketua geng yang wajahnya tampak merah padam. Perbuatan Chaca membuat emosinya naik. Tangannya mengepal. Dalam hati, gadis itu bersumpah akan segera membalas rivalnya itu dengan hal yang takkan bisa dilupakan.
"Sabar, ya, Mir. Kita akan balas si anak manja itu!" Santi merangkul pundak Mira, disusul oleh Tika.
"Pasti! Tunggu aja tanggal mainnya!" ujar Mira, penuh penekanan.
***
Mira ketiduran sambil duduk. Wajahnya dibenamkan pada dua lengan yang bertumpu di lutut. Dia terjaga saat para peserta kemah hendak pergi ke kamar mandi umum yang berada tak jauh dari lapangan untuk mengantre.
"Mir, ayo kita antre mandi!" ajak Tika.
"Ntar gue nyusul," sahut Mira.
Mira mengerjap, lalu mengucek matanya yang masih terasa berat. Gadis itu kemudian melangkah perlahan, menuju ke kamar mandi umum. Tepat di saat Mira masuk ke barisan antrean yang panjang, dia menyadari, bahwa Chaca yang berdiri tepat di depannya.
Mira buru-buru menutup wajahnya dengan handuk saat Chaca menoleh ke belakang. Kebetulan, Mira berada di antrean paling akhir.
"It's time to revenge!" gumam Mira dalam hati sembari menyeringai.
Antrean bergerak sangat lambat. Mira mulai gelisah. Hingga, setelah beberapa lama, antrean di depan Chaca mendapat giliran masuk ke kamar mandi. Mira tak sabar untuk segera melancarkan aksi. Aksi balas dendam yang telah dia pikirkan sejak semalam.
Tak lama kemudian, Chaca mendapat gilirannya tanpa menunggu lama. Mungkin, orang yang antre sebelum Chaca itu tidak mandi, hanya basuh muka dan kaki. Mira bergidik, merasa geli membayangkan seorang gadis yang bangun tidur hanya mencuci muka saja.
"Ish, bodo amatan, lah. Ngapain gue mikirin dia!" gerutunya.
Hanya terdapat satu kamar mandi umum di dekat lapangan. Oleh karenanya, para peserta kemah telah mengantri sejak sebelum subuh. Mira memilih datang belakangan, agar tak merasa diburu-buru oleh pengguna yang lain.
Kamar mandi umum itu tak memiliki atap. Namun, dindingnya cukup tinggi, agar tak mudah untuk diintip dari luar, kecuali menggunakan tangga.
Chaca menyampirkan pakaiannya pada bagian atas pintu kamar mandi. Mira menoleh ke segala arah, memeriksa keadaan. Setelah dirasa cukup aman, gadis itu menarik pakaian di pintu dengan sangat hati-hati.
Chaca yang sedang asik mengguyur tubuhnya dengan air dingin yang segar, tak menyadari kalau pakaiannya perlahan merosot dari bagian atas pintu, hingga akhirnya menghilang.
Setelah pakaian rivalnya itu sukses dia sembunyikan di balik handuk, teman Chaca tiba-tiba datang, mengantre di belakang Mira. Dia berdiri dengan gelisah.
"Lu kebelet, ya?" tanya Mira, melihat wajahnya yang pucat. Yang ditanya mengangguk cepat.
"Yaudah, lu duluan yang masuk," ujar Mira, menawarkan.
Gadis yang kebelet itu pun menerima tawaran Mira dengan senang hati. Tak lupa, dia mengucapkan terima kasih kepada Mira.
"Gue duluan, ya. Lupa bawa sabun muka," lanjut Mira, beralasan.
Mira melangkah dengan riang, membawa pakaian Chaca. Gadis itu pun berpikir dengan cepat untuk menyembunyikan pakaian di tas milik teman Chaca sendiri, yang tergeletak begitu saja di depan tenda yang sepi. Semua peserta kemah telah berkumpul di area dapur umum untuk sarapan bersama.
Setelah membasuh wajahnya dengan air mineral, Mira memutuskan untuk bergabung bersama peserta yang lain. Gadis itu mengambil tempat duduk persis di samping kedua sahabatnya, Santi dan Tika, yang sedang menikmati sarapan.
"Lu Nggak kenapa-napa, Mir?" tanya Santi, melihat Mira senyum-senyum sendiri.
"Gue lagi seneng. Puas!" sahut Mira. Senyumnya kian lebar.
Kedua sahabatnya saling pandang sembari mengerutkan kening. Mereka tak mengerti, apa yang terjadi dengan Mira. Setahu mereka, biasanya, Mira akan bersikap demikian jika bertemu dengan Laksmana.
Santi dan Tika celingukan. Mencari-cari sosok pemuda yang membuat Mira begitu bahagia setiap kali bertemu. Akan tetapi, nihil. Tak ada tanda-tanda keberadaan pemuda itu di sekitar lokasi perkemahan.
Lagi-lagi Santi dan Tika saling pandang. Kemudian, keduanya mengedikkan bahu, lalu menggelengkan kepala.
"Gue habis ngerjain si anak manja itu. Puas gue," bisik Mira, melihat wajah kedua sahabatnya yang kebingungan karena sikapnya.
"Ooo ...." Santi dan Tika kompak menanggapi perkataan Mira. Mereka bertiga lantas tertawa bersamaan, hingga menarik atensi para peserta kemah yang lain.
"Kenapa pada liatin. Nggak boleh kita ketawa?!" tukas Mira, membuat para peserta kemah segera berpaling ke piring masing-masing.
"Dasar kepo!" lanjut Mira, ketus.
"Kirain elu habis ketemu sama Mas Laksmana, Mir. Biasanya, 'kan, elu senyum-senyum gitu kalau habis ketemu doi," kata Tika sembari mengunyah makanannya.
Mira terdiam. Tiba-tiba saja dia merasa rindu, teringat pada pemuda tampan itu. Pun, demikian dengan Santi. Dia juga merasakan hal yang sama dengan sang ketua geng.
Apakah akan terjadi persaingan antar kedua sahabat itu untuk memperebutkan hati Laksmana? Hanya Tuhan, Mira, dan Santi yang tahu.
Tika ... tempe aja.