Chereads / Mira & Geng / Chapter 8 - Pesona Laksmana

Chapter 8 - Pesona Laksmana

Mira dan kedua anggota gengnya sedang nongkrong di pos ronda. Tak ada yang mereka kerjakan. Ketiganya hanya duduk diam, dengan pikiran masing-masing. Sesekali, mereka bertiga saling pandang, kemudian menghela napas, lalu kembali menatap awan hitam yang sedari pagi menggantung di langit, tapi tak kunjung menumpahkan airnya.

Sangat tidak jelas memang tingkah anak-anak Geng Mirasantika itu, hingga seseorang yang melintas di depan pos ronda membuat ketiga gadis yang sedang gabut akut, menjadi kembali bersemangat.

"Hai, Mas Laksamana ...," sapa Mira, Santi, dan Tika. Mereka kompak bak paduan suara di acara panggung Agustus-an.

Laksmana melempar senyum yang membuat hati para gadis menjadi kebat-kebit. Baik Mira, Santi, maupun Tika, menatap dirinya dengan tak berkedip hingga sosok pemuda itu menghilang di balik tikungan.

"Dia ganteng banget, ya," ucap ketiga gadis itu, bersamaan.

Santi dan Mira saling melempar tatapan tajam. Keduanya memiliki perasaan yang sama terhadap Laksmana. Sedangkan Tika, tidak mempunyai perasaan yang khusus untuk pemuda itu, hanya sebatas kagum dengan ketampanan, dan kebaikannya saja.

"Jadi, elu juga suka sama dia, San?" tanya Mira, menyelidik.

Santi gelagapan saat ditanya begitu. Pasalnya, dia pernah bilang, bahwa Laksmana itu pemuda yang biasa saja. Dan, dia takkan mungkin menyukainya. Namun nyatanya, Santi tak dapat membohongi diri sendiri, dan mengakui jika pemuda itu memang sangat mempesona.

Hampir tak ada cela yang tampak pada diri Laksmana. Menurut para gadis, hanya satu kekurangan yang dimiliki oleh pemuda itu, dia belum memiliki seseorang yang spesial di sisinya.

"Elu juga ... jangan-jangan suka sama dia, ya?!" Mira menoleh ke arah Tika, membuat gadis yang super baperan itu terlonjak.

"Eh ... enggak, kok. Saya nggak suka sama Mas Laksmana. Suwer, deh. Percaya sama saya, Mir," sahut Tika, meyakinkan sang ketua.

Mira mencebik. Namun, setelah bisa mengendalikan diri, gadis itu berkata dengan suara yang lebih lembut.

"Sorry. Gue lagi bete banget," ucapnya, lantas mengalihkan pandangannya ke arah langit yang bertambah gelap.

"Lagian, gue nggak seharusnya kesel sama elu, San. Dia emang ganteng dan baik. Wajar saja kalau elu juga suka. Bahkan mungkin, semua gadis di desa ini suka sama dia. Gue nggak punya hak buat ngelarang," lanjutnya.

Mira menunduk. Semangatnya kembali hilang, bersamaan dengan menghilangnya sosok Laksmana di balik tikungan.

Santi dan Tika tahu betul apa yang menjadi penyebab Mira merasa kesal.

"Sabar, ya, Mir. Yang penting, kan, sekarang bapak elu udah pergi kerja. Elu sama emak elu bisa tenang selama nggak ada bapak di rumah." Santi menepuk bahu Mira untuk menguatkan. Sementara Tika meraih tangan Mira untuk digenggam.

Mira menatap kedua sahabatnya itu, bergantian. Gadis itu merasa sangat beruntung memiliki Santi dan Tika yang selalu ada saat dia sedang rapuh.

"Thanks, ya, gaes. Kalian memang sahabat terbaik gue," ucap Mira, tulus.

Senyum Mira mengembang, diiringi air mata haru yang tak dapat dia tahan lebih lama lagi. Tepat di saat itu, hujan mengguyur dengan derasnya, seolah-olah turut merasa haru.

Hingga menjelang waktu Maghrib, hujan belum juga reda. Mira, Santi, dan Tika duduk sambil memeluk lutut. Tubuh mereka mulai menggigil.

"Nekad?" tanya Mira kepada kedua sahabatnya.

Santi dan Tika saling pandang, kemudian keduanya mengangkat bahu.

"Saya nggak bisa, Mir. Takut masuk angin," sahut Tika sembari menahan hawa dingin yang kian menusuk hingga ke tulang.

"Gue nunggu di sini sampai pagi nggak masalah. Nggak ada yang bakal khawatir juga, kok." Santi berkata dengan tak acuh. Dari nada bicaranya, terdengar putus asa.

Mira terdiam. Jika dia tak pulang malam ini pun, ibunya akan mengira kalau dia menginap di rumah Tika, atau Santi.

Setelah mempertimbangkan, Mira akhirnya memutuskan untuk tetap menunggu di pos ronda hingga hujan reda.

Hujan yang disertai angin yang lumayan kencang, membuat Geng Mirasantika itu saling mendekat agar bisa lebih hangat, meski percuma saja, mereka tetap saja menggigil.

Sepuluh menit lagi azan Maghrib berkumandang. Mira dan gengnya tak tahu, harus sampai kapan menunggu di pos ronda. Sementara bibir mereka telah menjadi biru. Gigi mereka bergemeretak. Tubuh mereka pun kian menggigil. Dengan suara pelan, mereka memohon kepada Tuhan agar hujan segera reda, meski mereka tak yakin Tuhan akan mengabulkan pinta mereka.

"Seenggaknya udah coba," kata Santi, pasrah.

Sebenarnya, Mira ingin nekad pulang. Akan tetapi, dia tak bisa meninggalkan Tika yang gampang sakit jika terkena hujan, terlebih di saat menjelang malam. Dan Santi, pasti tak mau meninggalkan Tika sendirian. Di mana tanggung jawabnya sebagai ketua geng jika dia nekad pulang duluan. Digenggamnya tangan Tika dan Santi dengan erat, dan bertekad akan menemani kedua sahabatnya itu sampai hujan reda.

"Makasih, ya, Tik, San," ucap Mira, tulus.

"Assalamualaikum." Ucapan salam seseorang membuat mereka terlonjak. Keterkejutan mereka bertambah saat tahu, siapa yang mengucap salam.

Bukan menjawab salam Laksmana, ketiga gadis itu hanya menatap wajah pemuda itu dengan mulut menganga.

"Assalamualaikum!" Laksmana mengulangi ucapan salam dengan suara yang lebih kencang.

Ketiga gadis itu terhenyak, kemudian menjawab salam pemuda itu dengan tergagap.

"Bentar lagi Maghrib, lho. Kalian nggak mau pulang?" tanya Laksmana, heran.

Mira, Santi, dan Tika serempak menggelengkan kepala.

"Mau saya antar pulang, atau mampir dulu ke rumah saya sambil nunggu hujan reda?" Laksmana menawarkan bantuan.

Ketiga gadis itu saling pandang untuk beberapa saat. Lalu memutuskan untuk ke rumah Laksmana sampai hujan reda.

Kapan lagi, kaaan, bisa masuk ke rumah megah dan berdekatan dengan Laksamana?

Laksmana memberikan sebuah payung untuk dipakai Santi dan Tika, sedangkan Mira bersama dengan pemuda itu.

Santi merasa cemburu melihat Mira berjalan bersisian dengan Laksmana. Berdua, di bawah payung yang sama, di tengah guyuran air hujan. Sungguh romantis. Namun, meski demikian, Santi tak marah terhadap Mira.

Sesampainya di rumah megah bercat biru cerah, Laksamana mempersilakan ketiga gadis itu masuk, dan mengajak mereka ke mushalla keluarga.

Di mushalla keluarga, Tante Mae tengah duduk bersimpuh sembari memutar biji tasbih. Dia mengenakan mukena putih dengan bordiran benang emas bermotif bunga mawar. Mulutnya komat-kamit, berzikir, menunggu waktu Maghrib tiba.

"Sambil nunggu hujan reda, kita salat berjamaah, yuk," ajak Laksmana pada ketiga gadis itu sembari melempar senyum.

Mira, Santi, dan Tika saling pandang. Dalam pikiran mereka bertiga, muncul pertanyaan yang sama.

"Salat?"

"Mukenanya udah saya siapin di sana, ya. Kalian bisa wudhu dulu di samping sana," ucap pemuda itu sambil menunjuk ke arah tempat salat, lalu beralih ke tempat wudhu.

Usai mengambil wudhu, ketiga gadis itu memakai mukena yang telah disiapkan oleh Laksmana, kemudian berdiri, membentuk shaf.

Laksmana mengimami salat Maghrib dengan suara yang merdu saat membaca ayat demi ayat Al Qur'an. Hati Mira bergetar demi mendengarnya.

Mira dan Santi yang tak pernah melaksanakan salat sebelumya, hanya mengikuti gerakan imam saja, tak tahu apa yang harus dibaca di setiap gerakan.

Selesai salat, Laksmana memimpin zikir dan doa. Ketiga gadis tersebut menunduk dan meng-aamiin-kan doa yang dipanjatkan oleh pemuda itu.

Tante Mae tersenyum ke arah tiga gadis itu. Saat mengetahui siapa mereka, senyum di bibir wanita itu langsung menghilang. Wajahnya pun berubah jadi garang.

"Kamu?!"