Nyonya Smith baru saja selesai membereskan meja, saat Brandon–salah seorang mahasiswanya mendekat. Menyerahkan kertas hasil ujiannya.
"Terima kasih, Brandon. Akhirnya kau mengumpulkan juga," ucap Nyonya Smith tanpa melihat wajah mahasiswanya–namun mengetahui namanya dari yang tertera di atas kertas. Selalu saja Brandon adalah mahasiswa terakhir yang mengumpulkan tugas, membuat Nyonya Smith terpaksa melebihkan waktu untuk menunggunya. "Bisakah lain kali, kau menjadi yang pertama mengumpulkan tugas?"
"Bukankah aku sudah menjadi yang pertama, Nyonya Smith?" ucap Brandon, tetap berdiri di seberang meja dosennya. Membuat Nyonya Smith mendongak dan mendapati seraut wajah yang lebih muda sedang tersenyum smirk menatapnya.
Seketika Nyonya Smith menyadari sebuah kesalahan di masa lalunya. Masa di mana dia merasa begitu kesepian saat suaminya baru saja meninggal. Dan Andre sama sekali tak bisa disentuhnya. Masa-masa di mana pikirannya menjadi begitu gila karena haus sentuhan lelaki. Dan Brandon memang lelaki pertama yang memuaskan hasratnya di masa dia menjanda.
"Jaga ucapanmu, Brandon." Nyonya Smith memasukkan kertas Brandon ke dalam map, dan bergegas memasukkan ke dalam tas besarnya. Namun Brandon memegang tangannya, membuat Nyonya Smith mau tak mau menatap ke arah mahasiswanya. Sepasang mata biru dengan bulu mata lentik. Seingatnya, Brandon bercerita bahwa dia mengikuti audisi menjadi seorang aktor–dan dia layak mendapatkan hasil yang terbaik.
"Aku merindukanmu, Nyonya Smith."
Nyonya Smith tertegun. Penolakan Andre membuatnya merindukan siapa saja yang bersedia disentuhnya. Tapi tidak sekarang. Tidak saat dia sedang berusaha menjaga hati Andre agar benar-benar mencintainya. Tidak hanya hitam di atas putih, atau cincin pernikahan yang mengikatnya untuk tidak menjadi gila seperti sebelumnya.
"Kau anak yang baik, Brandon. Masa depanmu panjang. Jangan terlibat dengan wanita tua seperti aku." Nyonya Smith melepaskan tangan Brandon perlahan, namun lelaki itu justru bergerak mendekatinya, hingga tak ada jarak di antara keduanya. "Bukankah kau punya kekasih, seorang artis kalau tidak salah."
"Tapi aku hanya rindu padamu, Nyonya Smith."
"Brandon, jangan membuat masalah," bisik Nyonya Smith sembari melirik ke arah pintu. Beberapa mahasiswa tampak masih berseliweran di luar ruangan. Nyonya Smith mendorong dada Brandon menjauh. "Kau bisa melakukannya dengan pacarmu. Kau …"
Brandon menempelkan telunjuk ke bibir Nyonya Smith. "Aku tidak pernah membuat masalah, Nyonya Smith, kecuali bila aku sedang rindu seperti ini. Aku hanya mau kamu …"
Brandon mendekatkan wajahnya ke wajah dosennya. Nyonya Smith menahan napas. Dia harus memperbaiki kesalahannya malam itu, saat Brandon meminta tambahan waktu untuk menyelesaikan tugas. Dan Nyonya Smith memberikan waktu seluasnya bagi mahasiswa itu untuk menguasai tubuhnya. Lebih tepatnya, dia yang menguasai Brandon dan mahasiswa itu ternyata begitu beringas. Khilaf–itu yang menjadi alasannya bila Brandon kembali mendekat dan mengingatkannya tentang kejadian malam itu dan meminta untuk mengulang lagi–seperti saat ini. Sepertinya dia sedang punya masalah dengan pacarnya, sehingga menjadikan Nyonya Smith sebagai pelarian.
Namun sentuhan Brandon membuat Nyonya Smith benar-benar mabuk oleh pemuda lajang di depannya. Bibir Brandon semakin dekat dan nyaris menyentuh bibir merah merekahnya ketika sebuah deheman terdengar begitu keras.
Nyonya Smith memundurkan badan dan menoleh ke arah pintu yang terhalang oleh Brandon. Dua orang lelaki berdiri di pintu dan mengacungkan sebuah lencana polisi. Ada urusan apa lagi polisi mendatanginya?
"Aku tidak pernah melupakan malam itu, Nyonya Smith. Meski hanya di dalam toilet," bisik Brandon.
"Cukup sekali, Brandon. Kau masih memegang janji itu, kan?"
Brandon menggeleng. Suara langkah sepatu dua orang lelaki memasuki ruangan dan Brandon belum juga beranjak.
"Maafkan aku, aku tidak bisa memegang janji. Lebih tepatnya, Tuan Rudolfo tidak bisa memegang janji."
Nyonya Smith mengernyit. "Rudolfo?"
"Elena Smith?"
Nyonya Smith meninggalkan Brandon dan menuju ke kedua orang polisi yang sudah menunggunya, beberapa langkah di belakang Brandon.
"Bisa minta waktunya sebentar? Apa kami mengganggu?" Detektif Scope melirik pemuda jangkung yang membelakanginya. Dia yakin, pemuda itu dan Nyonya Smith sepertinya hendak melakukan sesuatu yang tidak pantas–dan dia menghentikan dengan deheman cukup keras.
"Mahasiswaku sudah selesai," ucap Nyonya Smith. "Brandon, kumpulkan tugasmu nanti malam."
Brandon tersenyum smirk, lalu membalik badan. "Baik Nyonya Smith, aku janji sebelum tengah malam sudah selesai. Dan langsung kuantar ke rumah anda. Terima kasih. Saya permisi dulu."
Nyonya Smith menghela napas panjang. Dia harus mencari cara agar Brandon tidak lagi mengganggunya. Kesalahan satu malam yang gila itu, sepertinya berkaitan dengan Rudolfo. Seorang petugas kebersihan di gedung ini. Apakah lelaki tua itu menyaksikan perbuatan mereka di toilet malam itu? Bukankah matanya sudah rabun?
"Ada yang bisa saya bantu?"
"Kami ingin mendapatkan beberapa keterangan. Tentang Andre Smith."
Nyonya Smith mengerut kening. "Ada masalah apa dengan Andre Smith. Bukankah dia bekerja sama dengan Kepolisian."
"Ini berkaitan dengan kasus Linda Hall alias Linda Hilton. Salah seorang pasien Andre Smith."
Nyonya Smith tertegun. Wanita itu. Dia ingat sekilas kasusnya, dan memicu kegalauan ketika Erin mengatakan bahwa Linda Hall adalah pasien Andre Smith atas rekomendasi suaminya–Ronnie Watt.
"Tidak ada urusan pekerjaan Andre denganku."
"Anda membiayai operasional kantornya." Detektif Scope mengeluarkan buku kecil untuk mencatat. Kurt yang ada di sebelahnya tampak memindai ruangan. Nyonya Smith merasa perlu untuk memperlakukan dua orang polisi di depannya dengan baik dan wajar. Sepertinya dua orang ini tadi sempat melihat apa yang nyaris dilakukan Brandon padanya.
"Lebih tepatnya, dari warisan mendiang suami saya. Dari sebagian keuntungan dari perusahaan untuk mendirikan kantor Andre Smith."
"Anda tinggal berdua?" tanya Detektif Scope dengan tatapan menyelidik.
"Rumah itu milik mendiang suami saya. Andre punya hak untuk tinggal. Apa itu melanggar hukum?"
Detektif Scope menggeleng. "Tidak, hanya saja, tinggal berdua dengan adik ipar–pastinya anda banyak mengetahui pekerjaan Andre Smith dan dengan siapa saja dia bergaul."
Nyonya Smith menghela napas, lalu duduk di tepi meja. "Begini Detektif Scope. Saranku, lebih baik anda menemui Andre langsung. Aku dan dia hanya sempat bertemu pagi hari saat sarapan. Bahkan aku mempekerjakan pengasuh untuk mengurus anak-anakku, dan rumahku. Aku tidak sempat mengurus Andre Smith dan teman-temannya. Aku punya nomor asistennya bila memang kau memerlukannya."
Detektif Scope menggeleng. Nyonya Smith terlihat tidak peduli dengan adik iparnya. Tentu saja, rumor yang beredar dia hanya mengincar warisan suaminya. Kantor tempat Andre membuka praktek terapi–bisa jadi hanya pengalih agar dia tidak mendapatkan warisan lebih banyak dari dirinya. Soal warisan, bukan urusan Detektif Scope. Dia hanya ingin kasus Linda Hall cepat selesai, karena masih banyak kasus yang menunggu giliran.
"Baiklah, kalau memang anda tidak tahu. Saya hanya ingin memastikan bahwa Andre Smith sudah punya kekasih, sehingga apa yang dilakukannya pada pasiennya tidak perlu kami tindak lanjuti sebagai sebuah pelanggaran. Karena buktinya tidak cukup kuat."
Nyonya Smith mengernyit kening. "Memangnya apa yang dilakukan Andre pada pasiennya?"
Detektif Scope mengendik bahu. "Kurasa, ada indikasi dia memanipulasi pasiennya. Menurutmu, seorang dokter menciumi pasiennya apa termasuk kategori terapi?"
Nyonya Smith tertegun. Seketika jantungnya berdebar kencang, darahnya serasa naik hingga ke ubun-ubun. Namun dia hanya bisa mencengkeram pinggir meja untuk meredamnya.
"Linda Hall?" tanyanya terdengar parau di telinganya sendiri.
Detektif Scope mengangguk. "Bisa jadi pasien lain juga. Jika anda punya keterangan atau bukti tambahan, tolong hubungi saya. Kami permisi dulu."
Nyonya Smith mengangguk pelan. Dia tak bisa lagi bersikap ramah, rahangnya mengeras dan dia bersusah payah menahan napas.
Kurt berjalan bersisian dengan Detektif Scope, meninggalkan ruang kelas Nyonya Smith. "Aku ingat wanita itu, salah satu dosenku dulu. Dia dosen murahan."
"Maksudmu?" tanya Detektif Scope, berusaha untuk tidak menoleh lagi ke arah Nyonya Smith. Dia menggantungkan bahunya ke bahu Kurt. Seingatnya, Kurt memang pernah kuliah di sini, tapi putus di tengah jalan. Lalu masuk ke Akademi Polisi.
"Dia mau memberi nilai bagus untuk mahasiswa yang mau …"
"Mau?" desak Detektif Scope. "Mau apa? Maksudmu …"
Kurt mengangguk. "Dan dia memberiku E untuk mata kuliahnya."
Detektif Scope melirik Kurt. Dari segi penampilan, Kurt memang jauh dari mahasiswa yang sempat mereka lihat hampir mencium Nyonya Smith. Kurt lebih layak berada di kepolisian, menakut-nakuti penjahat.