Download Chereads APP
Chereads App StoreGoogle Play
Chereads

Bersamamu Kusempurna

🇮🇩Oriza252
27
Completed
--
NOT RATINGS
29.2k
Views
Synopsis
Oriza yang masih duduk di kelas X SMA kaget ketika tiba-tiba keluarga Arya melamarnya untuk dijadikan seorang istri. Ia menolak dengan kata-kata yang bijak untuk waktu yang tidak tepat sebab ia masih begitu muda dan belum siap menjadi seorang istri, “...Nikah gantung itu adalah hal yang menempatkan diri Za sebagai istri yang durhaka sebab tidak melaksanakan tugas dasar sebagai istri. Mohon jangan tempatkan Za pada posisi itu. Bertunangan dengan waktu yang panjang sangat riskan sebab segala hal dapat berubah sewaktu-waktu, setiap hari, setiap bulan, ini kan lagi bertahun-tahun. Hari ini mungkin bang Arya merasa Za sesuai dengan keinginan hatinya. Tapi besok atau lusa tidak ada jaminan itu akan bertahan. Allah pembolak-balik hati manusia, sehingga pertunangan malah akan menjadi duri yang dapat melukai banyak orang....” Arya dan keluarganya dapat mengerti dengan pendirian Oriza sehingga hubungan mereka tetap baik setelah itu. Oriza masih terus berhubungan dengan Arya melalui HP sebab mereka dipisahan oleh jarak. Oriza mengikuti ekstrakulikuler di bidang musik. Ia bergabung dengan grup band sekolah dan mengikuti kompetisi lokal dan nasional. Kesibukan tersebut mempengaruhi kondisi kesehatannya. Oriza membutuhan sebuah ginjal untuk mempertahanan hidup. Ketika kondisi Oriza kritis, Arya memberikan sebuah ginjal pada gadis yang sangat dicintainya, namun setelah itu Arya menghilang hampir tidak terlacak. Arya telah salah sangka terhadap Oriza yang berteman dekat dengan Rahmat. Oriza terus mencari hingga bertahun-tahun berlalu dengan kesedihan dalam harapan. Doa yang tidak pernah putus kepada sang Pencipta agar ia dipertemuan dengan Arya akhirnya dijawab Allah. Mereka dipertemukan kembali di tanah suci dan semua kisah itu terkuak. Oriza menerima semua dengan ikhlas dalam penyerahan diri yang begitu indah.
VIEW MORE

Chapter 1 - Lamaran yang Aneh

Biarlah rasa itu tersimpan dalam hati dan waktu akan menentukan apakah kelak kita memang berjodoh.

HP ku bergetar. Aku melirik layar sekilas.

"Assalamu'alaikum," suara dari seberang sana.

"Wa'alaikumsalam," jawabku singkat.

"Di, apa kabar?" pertanyaan basa basi dan berlanjut dengan jawaban basa basi pula. Aku benar-benar sedang malas menanggapi dan lebih memilih menjadi pendengar yang baik. Sesekali aku menimpali ceritanya.

"Di, minggu depan aku ke rumahmu, ya. Bersama orang tuaku," suaranya nyaris berbisik.

"Haa? Kenapa bawa orang tua, Bang?" tanyaku heran.

"Mau melamarmu," jawaban yang membuatku terdiam dan bingung. Hanya sesaat, kemudian aku tertawa kecil, berusaha menahan agar tidak lepas dari sela bibirku. Pasti dia bercanda.

"Aku serius lho, Di," suaranya terdengar sedikit tersendat.

"Iyoooolah, Bang," jawabku sambil berusaha keras menahan tawa yang hampir meledak. Sama sekali aku tidak percaya bahwa ia serius dengan kata-katanya. Percakapan kami selesai. Selanjutnya aku tidak memikirkan perkataan itu lagi.

Seminggu berlalu. Aku hampir lupa dengan banyolan mantan guru gitarku itu. Tiba-tiba ia mengirim pesan, singkat, 'Ba'da Isya kami ke rumahmu.'

Deg! Kegelisahan merayap dalam hatiku. Seriuskah? Bagaimana ini? Aku sama sekali tidak menduga dan belum siap. Parahnya lagi, aku belum menceritakan hal itu pada orang tua. Bagaimana aku bisa mengatakannya pada ibu? Ah, barangkali itu hanya candaan saja. Aku masih belum percaya.

Aku mencoba untuk tidak peduli dan menyibukkan diri dengan teman-teman Hago. Hingga sampai waktunya, mereka datang. Deg ples, jantungku terasa berhenti beberapa detik. Suara ibu memanggil namaku, membuat aku terlonjak. Dengan berat aku menyeret kaki yang tiba-tiba lunglai melemah dan susah dibawa melangkah.

Aku menuju ruang tamu dengan wajah pias. Ruang tamu begitu benderang, semua lampu dihidupkan. Aku dapat melihat dengan jelas wajah kedua orang tuanya. Aku menyalami mereka dan kemudian duduk di samping ibu. Aku menundukkan kepala menahan hati yang benar-benar galau. Irama jantungku menjadi tidak teratur, denyutnya terasa hingga ke kepala. Sangat susah menyembunyikan kegelisahan ini, tapi aku harus mampu menahan diri.

Setelah sesi perkenalan antara kedua orang tua kami, bapaknya mulai mengutarakan maksud kedatangan mereka, "Kami datang untuk menyampaikan niat anak kami, Arya. Anak kami sangat ingin menjadikan anak gadis bapak dan ibu sebagai istrinya." Benar-benar to the point penyampaiannya.

Kerongkonganku terasa kering. Aku berusaha menelan ludah dengan susah payah agar membasahi kerongkongan. Aku melirik bapak dan ibu bergantian. Kebingungan terlihat nyata di wajah mereka.

Ibuku dengan arif menanggapi, "Maaf pak, ini sangat tidak kami duga sebab belum ada konfirmasi sebelumnya. Gadis kecil kami rasanya belum cukup dewasa untuk itu. Ia masih sekolah."

Ibu melirik dan mengangkat alis sebagai tanda agar aku mengikutinya. Aku mengangguk pelan.

"Silahkan bapak dan ibu ngobrol dulu dengan Mas. Kami ke belakang sebentar," kata ibu dan ia segera beranjak dari tempat duduk. Aku menyusul ibu ke dapur.

"Ada apa ini, Yang? Kenapa tidak cerita dengan ibu dan bapak? Kami benar-benar kaget," tanya ibu sambil menyeduh teh dan menuangkan ke dalam cangkir-cangkir keramik.

"Za juga tidak tau, Bu. Seminggu lalu Babang memang menelepon. Tapi Za kira itu bercanda. Za pikir, mana ada orang yang mau menikahi anak yang masih sekolah jaman sekarang ini," jawabku pelan, takut membuat ibu semakin gelisah. Kegelisahan yang kutangkap sejak tadi di ruang tamu.

Ibu memegang bahuku dan menatap mataku lekat-lekat. Aku menatapnya dengan perasaan bersalah. Ibu tersenyum dan mengeleng-geleng kecil seperti masih belum mempercayai apa yang baru saja terjadi.

Aku kembali ke ruang tamu sambil membawa nampan berisi cangkir teh dan sepiring cemilan. Pembicaraan berlanjut. Perutku menjadi mules. Aku permisi ke kamar sebentar. Tujuanku hanya satu, menemukan HP dan curhat dengan teman-teman Hago.

Aku berteriak minta tolong dengan deretan huruf-huruf yang kuketik tergesa-gesa. Teman Hagoku langsung menanggapi. Perhatian mereka membuatku memiliki kekuatan tambahan. Tidak lama, aku harus kembali ke ruang tamu untuk menghadapi masalahku sendiri. Masalah yang datang tidak terduga.

"Maksudnya, tidak harus campur sekarang. Arya bisa menunggu sampai anak gadis Ibu dan Bapak siap. Mungkin setelah tamat sekolah, tiga atau sepuluh tahun lagi. Yang anak kami inginkan hanya satu yaitu suatu ikatan. Bisa jadi dalam bentuk pertunangan atau lebih baik lagi jika bisa nikah gantung," ujar ayahnya, jelas sampaian maksud mereka. Ia memandangku seolah menunggu persetujuan. Aku ingin langsung menolak, namun nilai kesopanan mencegahku untuk menjawab.

Bapakku menarik nafas panjang memikirkan kalimat yang tepat untuk menjawab permintaan tersebut. Kebingungan masih terlihat begitu nyata di wajahnya. Bapak masih belum bisa menemukan kata-kata yang tepat.

"Bagaimana dengan anak gadis kita?" bapaknya langsung bertanya padaku. Mati aku!

"Maaf Pak, apa pendapat Za penting untuk didengar?" tanyaku dengan suara serak. Setiap kata susah payah keluar dari mulutku.

"Iya, Sayang. Ayo utarakan pemikiranmu. Pemikiran yang selalu membuat Arya kagum. Iya kan Arya?" suara ibunya yang lembut dan pelan membuatku memiliki sedikit keberanian.

Arya hanya tersenyum samar ketika mendengar ibunya melontarkan pertanyaan itu. Pertanyaan yang tidak perlu ia jawab. Aku mengumpulkan keberanian. Aku melirik ibu minta persetujuan. Ku lihat ibu mengangguk pertanda memberi izin padaku untuk menjawab.

"Maaf sebelumnya Pak, Bu, kalau Za salah berpendapat. Za masih kecil dan sama sekali belum siap menjadi seorang istri. Nikah gantung itu adalah hal yang menempatkan diri Za sebagai istri yang durhaka sebab tidak melaksanakan tugas dasar sebagai istri. Mohon jangan tempatkan Za pada posisi itu. Bertunangan dengan waktu yang panjang sangat riskan sebab segala hal dapat berubah sewaktu-waktu, setiap hari, setiap bulan, ini kan lagi bertahun-tahun. Hari ini mungkin bang Arya merasa Za sesuai dengan keinginan hatinya. Tapi besok atau lusa tidak ada jaminan itu akan bertahan. Allah pembolak-balik hati manusia, sehingga pertunangan malah akan menjadi duri yang dapat melukai banyak orang. Begitu pendapat Za, Pak, Bu. Maaf kalau pendapat Za kurang berkenan di hati," aku menjawab dengan lancar. Keberanian yang entah dari mana datangnya membuatku mampu mengungkapkan pemikiran dangan tegas dan lugas.

Kulihat orang tuanya saling berpandangan dan kemudian tersenyum lebar. Ayahnya langsung menanggapi, "Jawaban yang cerdas, sederhana tapi mengena. Kami bisa mengerti dan merasa beruntung bisa bertemu langsung dengan anak gadis yang membuat putra kami menetapkan pilihan hati. Ternyata apa yang diceritakan pada kami tidak berlebihan."

Bapaknya mengalihkan pandangan pada Arya yang tertunduk sejak tadi. Selama percakapan berlangsung Arya hampir tidak ada mengangkat kepala.

"Arya…," panggil bapaknya.

"Dalem, Pak," jawab Arya dengan lirih. Jawaban yang amat santun menurut budaya mereka.

"Kamu sudah mendengar jawabannya langsung, kan? Apa kamu dapat memahami dan menerimanya?" kata bapak Arya sambil memandang anaknya.

"Injeh, Pak," jawaban sangat pelan yang nyaris tidak terdengar.

"Kamu harus bersabar. Jika memang jodoh, kelak kamu akan terikat dalam jalinan yang kuat dengannya. Niatmu sudah kami sampaikan dan jawabannya sudah kamu dengar," bapak Arya berkata dengan intonasi yang lunak dan wajahnya datar saja, sama sekali tidak memperlihatkan emosi.

"Bapak, Ibu, kami dapat memahami keputusan anak gadisnya. Apapun itu, kami berharap mudah-mudahan silaturahmi kita tetap terjalin dengan baik. Arya masih harus menyelesaikan kuliah. Besok kami berdua akan kembali ke Jakarta dan Arya menyusul kemudian. Mungkin masih ada yang akan dibicarakan Arya dengan nak gadis, mohon diizinkan. Maaf sekali lagi kalau kedatangan kami mengagetkan Bapak, Ibu. Jika Bapak, Ibu ke Jakarta silahkan mampir ke rumah kami," begitu kata penutup dari bapaknya.

Aku hanya terdiam dan takjub dengan apa yang baru saja kualami. Aku melihat kekecewaan di wajah bang Arya. Sebelum berpisah kusempatkan mengatakan, "Kita tetap berteman seperti biasa Babang. Biarlah rasa itu tersimpan dalam hati dan waktu akan menentukan apakah kelak kita memang berjodoh."

Sepulang tamu spesial itu, bapak dan ibu memanggilku untuk membicarakan apa yang baru saja terjadi. Aku berusaha menjelaskan bahwa hal ini terjadi karena miskomunikasi. Siapa yang menduga lamaran datang begitu mendadak dari orang yang selama ini kuanggap teman. Kami memang sudah lama saling mengenal. Beberapa bulan ini kami agak intens berhubungan via chat di HP. Tidak ada yang istimewa dalam hubungan itu. Dia sama seperti teman lainnya.

Setelah serangkaian introgasi kujawab, akhirnya bapak menyuruhku tidur sebab hari sudah mulai larut. Bapak dan ibu masih bertahan di ruang tamu mendiskusikan peristiwa aneh hari ini. Aku meninggalkan mereka berdua dan melangkah gontai ke kamar. Aku ingin curhat dengan teman Hago. Aku merasa lega setelah curhat. Lewat tengah malam aku akhirnya tertidur.

Pagi Sabtu, Arya menelponku. Ia mengajak keluar dan ingin bicara. Aku sangat ingin menolak, tapi rasa kasihan menyebabkan aku menerima tawaran tersebut.

Sore, aku bersiap. Saudara laki-lakiku, mas Didi dan bang Bibi bersedia menemani. Kedua saudaraku itu tidak mungkin membiarkanku keluar dengan orang yang bukan kerabat. Aku berharap Arya tidak keberatan dengan kawalan dari kedua saudaraku. Arya hanya tersenyum dan sama sekali tidak keberatan karena mereka memang sudah saling mengenal sebelumnya.

"Mau nonton, Di?" tanya Arya.

"Gak!" jawabku singkat.

"Gimana kalau nge-mall aja?" tawarnya lagi.

"Za tidak suka kelayapan di mall tanpa tujuan, Babang," aku menggeleng pelan.

Arya kembali tersenyum sambil membukakan pintu mobil untukku, "Kita makan di mall aja, sambil ngobrol santai," ajaknya. Aku tidak menolak dan saudaraku setuju.

Selama perjalanan menuju mall kami nyaris tidak bicara. Untuk mencairkan suasana yang beku, Arya menyetel lagu. Ah, dia paling tau selera musikku. Instrumen gitar dengan lagu-lagu klasik. Aku hanyut dalam alunan nada yang mendayu-dayu. Jiwaku serasa dibawa mengembara jauh ke suatu tempat yang sangat kusuka sehingga aku merasa betah di sana.

Mall, tempat yang ramai namun cukup tenang, tidak berisik seperti pasar tradisional. Aku mengikuti langkahnya menuju sebuah restoran siap saji. Pikiranku entah kemana, mungkin belum kembali dari pengembaraan ketika mendengar lagu-lagu yang diputar di atas mobil tadi.

Aku duduk di hadapannya. Kami hanya berdua di meja itu. Aku clingak-clinguk mencari saudaraku. Ternyata mereka duduk di meja lain yang tidak jauh dari meja tempat kami duduk. Aku memandang Arya dan mencoba tersenyum. Sebenarnya, dalam hatiku, aku ingin mengomelinya. Rasa akan terucap kata, 'entah apa yang merasukimu!'. Beberapa saat kemudian aku tertawa sendiri menyadari kata-kata yang terlintas di benakku tadi adalah potongan syair lagu yang sedang viral belakangan ini.

"Apa yang lucu, Di?" Arya bertanya, ia menatapku tidak mengerti.

"Maaf, Babang. Sesuatu yang lucu barusan terlintas dipikiran Za," jawabku disela sisa tawa.

"Apa itu? Katakanlah!" pintanya. Tawaku makin tidak bisa ditahan dan akhirnya tawa itu lepas. Ia masih memandangku dengan heran.

"Maaf, tunggu sebentar," kataku sambil menarik napas panjang, lalu melanjutkan dengan nada sebaris kalimat yang terlintas dalam pikiranku tadi, "entah apa yang merasukimu….,"

Kemudian, tawanya pun pecah. Kami sama-sama tertawa lepas. Aku melirik ke meja sebelah. Kedua saudaraku memandang heran, tidak mengerti apa yang kami tertawakan. Aku hanya mengedipkan sebelah mata dan mereka memakluminya.

Kami memesan makanan. Sebenarnya aku sedang tidak ingin makan, namun Arya memaksaku memilih menu. Aku menggeleng dan ia berinisiatif memilihkan untukku. Selama menunggu makanan kami hanya diam, tidak tau harus memulai obrolan dari mana. Banyak yang ingin kutanyakan, terutama tentang kenekadannya melamar yang menurutku sangat konyol dan terlalu tergesa-gesa.

"Jawab pertanyaan tadi, Bang," aku memutuskan untuk memulainya.

"Pertanyaan yang mana?" Arya menjawab dengan pertanyaan. Tatapan matanya serasa menghujam hingga ke jantungku.

Aku menarik nafas panjang, kemudian berbisik lirih, "Entah apa yang merasukimu…"

Wajahnya berubah serius.

"Di, aku tidak pernah tidak serius padamu. Aku menyukaimu sejak pertama kali kita bertemu," Arya mulai menjelaskan.

"Ketika Za kelas lima SD?" tanyaku heran, "Za masih kecil dan tidak memahami yang seperti itu. Bahkan saking kecilnya, taring Za aja belum tumbuh. Kok bisa?"

"Ketika itu kamu seperti parkit kecil yang lincah. Ocehan-ocehanmu terdengar seperti kicauan cucakrowo yang tidak bisa berhenti, selalu terngiang-ngiang di telingaku. Ditambah lagi, suara kicauan itu unik, berubah-ubah setiap waktu. Aku tidak pernah merasa bosan jika berada di dekatmu," jelas Arya sambil memandangku, tepat di mataku. Tiba-tiba kepala ini terasa pusing, mungkin karena tatapan matanya serasa menghujam hingga ke jantung.

"Tapi, Babang tidak pernah menyatakan cinta pada Za," berat rasa lidah ini mengucapkannya.

"Di, setiap akan berpisah, setiap akhir percakapan kita, aku selalu menyatakannya. Mungkin Di Za yang tidak pernah memperhatikan," jawab Arya dan aku segera menyela.

"Kenapa Za tidak pernah mendengarnya?" keningku berkerut, berusaha mengingat-ingat. Aku yakin, memang tidak pernah mendengarnya, satu kali pun.

"Di, coba diingat-ingat lagi. Setiap akan berpisah, aku selalu mengucapkan 'I love you' dengan gerakan bibir, tanpa suara. Setiap mengakhiri percakapan di telepon aku juga menyatakan berbarengan dengan ditutupnya sambungan telepon itu," jelas Arya.

Pantas saja aku tidak pernah mendengarnya. Pernyataan cinta yang aneh menurutku, "Hmmm, Za tidak pernah memperhatikanya."

"Walau akhirnya dipisahkan oleh jarak sebab aku memutuskan menguji diri dan cintaku dengan cara menjauh darimu. Alhasil, pikiranku tidak pernah lepas dari dirimu, walau beberapa tahun aku sama sekali tidak mengontakmu. Akhirnya bulan lalu hatiku yakin dan mantap untuk melamarmu. Maaf dalam hal ini aku tidak dapat menahan gejolak hati," Arya berhenti sejenak dan meneguk minuman di depannya. Aku menunggu.

"Awalnya bapak dan ibu keberatan dengan permintaanku. Itu disebabkan belum ada pembicaraan dengan orang tuamu sebelumnya. Aku tidak sabar dan tidak ingin mengikuti kelaziman yang berlaku. Aku benar-benar memohon. Aku begitu takut jika terlambat maka peluang untuk menjadikanmu ratu dalam hidup ini pupus," Arya kembali menghentikan penjelasannya. Ia memandangku, menunggu respon.

"Apa Babang tidak mempertimbangkan usia kita? Za masih belum cukup umur. Babang juga masih kuliah," aku segera mengajukan pertanyaan.

"Aisyah Radiallahuanhu ditawarkan abinya kepada Nabi besar kita, Muhammad SAW ketika beliau berumur enam tahun. Saat berusia dua belas tahun, beliau mendampingi Nabi kita. Itu pertimbanganku, Di," jawaban Arya yang menyebabkanku harus berpikir dulu sebelum menanggapi.

"Babang, Za bukan bunda Aisyah dan Babang bukan nabi Muhammad. Itu tidak bisa disamakan dengan kondisi kita saat ini," aku berusaha membantah pemikirannya.

"Apa bedanya?" tanya Arya.

"Babang, Abi dari bunda Aisyah mempersiapkan anak gadisnya untuk menjadi istri seorang pemimpin umat selama enam tahun. Perkembangan fisik dan mentalnya selaras sehingga pada waktunya bunda Aisyah siap menjadi seorang istri. Nah, Za… jangankan siap, terpikir pun belum. Apalagi semuanya begitu mendadak. Itu sangat berbeda Babang. Lagi pula, ketika itu nabi Muhammad telah berpengalaman menjadi seorang suami. Lhaa.. Babang? Apa sudah ada pengalaman menjadi suami?" kurasa cukup keteranganku.

Jawaban itu menyebabkan Arya terdiam. Mungkin ia memikirkan perkataanku. Lama kami saling diam. Aku hanya mengacak-acak makanan, sama sekali belum memakannya. Selera makanku makin memburuk akhir-akhir ini, diperparah dengan kejadian kemarin malam. Pandanganku mulai bergelombang. Benda-benda seperti bergerak. Ada apa ini? Aku memejamkan mata untuk menghilangkan rasa tidak nyaman di kepala.

"Di, kenapa makanannya hanya diacak-acak? Ayo makan," kata Arya menghentikan gerakan tangannya dan memperhatikan aku.

"Hmmm….," aku bergumam lirih, tidak mampu mengucapkan kata lain. Semua rasa berputar, makin lama putarannya semakin cepat.

"Di!" Arya berteriak tertahan dan bangkit dari tempat duduk.

Beberapa saat aku merasa tubuh ini melayang-layang. Seseorang membopongku. Aku berusaha menolak, namun dalam samar aku melihat mas Didi yang membopongku. Tidak ada penolakan lagi. Aku pasrah dalam pelukan masku.

Entah berapa lama, sayup-sayup aku mendengar suara azan. Aku berusaha membuka mata, tidak mau sampai telat sholat. Aku mencoba bangun tapi tangan kananku terikat di tepi ranjang. Aku bingung, kenapa tanganku diikat?

Aku mengedarkan pandangan ke sekeliling ruangan. Aku berada di sebuah kamar dan aku segera mengerti dari aroma yang tercium. Aku berada di sebuah rumah sakit.

"Di, kamu sudah sadar?" tanya Arya dan ia mendekatiku.

"Sadar? Za tidak pingsan. Za hanya mengantuk tadi. Ini kenapa?" aku bertanya dengan suara serak. Kerongkonganku terasa kering.

"Hb mu rendah sekali, Di. Jadi kamu harus ditransfusi. Besok akan dilakukan pemeriksaan lengkap, biar ketahuan kamu sakit apa. Ternyata sejak minggu lalu kondisimu sudah sudah kurang baik, begitu penjelasan dokter. Minggu lalu kamu juga diperiksa di rumah sakit ini, kan?" tanya Arya. Aku tidak ingin menjawab pertanyaannya.

"Ibu…, Bapak…," erangku lirih. Aku tidak melihat keberadaan mereka.

"Masmu sedang menjemput mereka. Mungkin sebentar lagi mereka sampai," jawab Arya menenangkanku.

"Kenapa tangan kananku diikat?" aku kembali bertanya.

"Tadi kamu meronta-ronta ketika jarum infus akan dimasukkan ke tanganmu. Lihat, telunjukmu sampai tergores," jawab Arya sambil menunjuk jariku.

"Za mau sholat, Bang. Tolong lepaskan ikatan ini agar Za bisa ke kamar mandi," pintaku.

Arya segera membukakan ikatan itu. Ia membantuku turun dari tempat tidur. Aku menolaknya membantu lebih jauh. Aku dapat berjalan sendiri ke kamar mandi. Arya mengerti dan ia mengikutiku dari belakang, takut aku akan terjatuh.

Selesai sholat duduk di ranjang, tubuhku kembali merasa segar. Aku merasa baik-baik saja, apalagi setelah melihat keluargaku berkumpul. Aku merengek minta pulang. Aroma khas rumah sakit membuatku merasa tidak nyaman. Permintaanku tidak dikabulkan. Aku masih harus beristirahat di rumah sakit paling tidak malam ini. Besok akan dilakukan pemeriksaan lanjutan. Aku terpaksa pasrah.

Arya pamit pada orang tuaku, sekalian pamit untuk pulang ke Munchen. Ketika pamit denganku, ia mengatakan, "Terbanglah bebas seperti kupu-kupu sesuai keinginanmu. Jika nanti sudah waktunya kamu hinggap disalah satu daun, aku berharap daun itu adalah aku."

Aku tidak tau harus menjawab apa, hanya mengangguk dan meminta maaf atas segala yang terjadi dan meminta maaf karena tidak dapat mengantarnya besok ke bandara.

Akhirnya semua pergi meninggalkanku agar aku dapat beristirahat. Ditinggal sendiri membuat aku bosan. Dalam keadaan seperti ini, HP adalah temanku. Aku segera bergabung dengan teman-teman Hago. Berdialog dan bernyanyi membuatku terhibur.

Waktu tak terasa berlalu dengan keasyikanku. Mas Didi yang ditugaskan menemani sudah menyuruh tidur dan menjauhkan HP dari tanganku. Aku yang masih kekanak-kanakan dengan sedikit kenakalan masih berdialog dengan teman Hago di bawah selimut hingga aku tertidur dalam heningnya malam di sebuah rumah sakit.

Suara azan subuh dari HP membuyarkan mimpiku. Kelopak mata terasa berat diangkat, namun kupaksakan membukanya. Aku turun dari tempat tidur dengan pelan, takut membangunkan mas Didi yang masih pulas. Tanganku sudah terbebas dari selang infus sehingga lebih leluasa berjalan ke kamar mandi.

Aku menyikat gigi dan berwudhu, segar sekali rasanya. Sholat selalu membuatku tenang sebab dapat mengadu dan merajuk pada Sang Pencipta. Banyak yang ingin kuadukan hari ini.

Rumah sakit masih sunyi, belum terlihat aktifitas orang-orang. Aku melongokkan kepala keluar dari pintu. Lorong rumah sakit sepi. Kesunyian membuatku mengurungkan niat buat melihat-lihat. Aku membangunkan mas Didi yang masih pulas di sofa.

"Kamu sudah sholat?" tanya mas Didi. Aku mengangguk.

"Istirahat aja di ranjang," perintah mas Didi.

"Bosan! Za nanti boleh pulang gak, Mas?" tanyaku.

"Tunggu dulu. Nanti diperiksa dulu. Kalau kata dokter boleh pulang, baru kamu akan dibawa pulang. Sabar dulu ya, Dek," jawab mas Didi. Aku cemberut dangan bibir yang dimanyunkan.

"O, ya. Siap sholat Mas pulang dulu, sebab pagi ini ada ujian. Nanti bang Bibi akan kesini bersama ibu," lanjut mas Didi dan kemudian ia beranjak dari tempat duduknya.

Ketika mas Didi pamit, aku hanya manyun, keberatan ditinggal sendiri. Aku kembali naik ke atas ranjang, melamun. Ingatanku kembali ke masa perkenalan dengan Arya.