"Apa kabarmu, Di?" tanya Arya sambil memandangku lembut. Pandangan yang baru berani ia berikan setelah tidak berada dekat dengan keluargaku.
"Sekarang Za baik-baik saja, berbeda dengan sejam yang lalu," jawabku.
"Maksudnya? Sejam yang lalu kamu tidak dalam keadaan baik?" tanya Arya tidak mengerti.
"Iya. Hingga sejam yang lalu, Za mengalami sakit yang luar dari biasa. Sakit itu bernama rindu," jawabku sambil tertunduk, malu rasanya mengakui perasaan sendiri.
"Maafkan diriku, Di. Tanpa kusadari aku telah membuatmu tersiksa selama ini. Maafkan aku," Arya minta maaf dan kulihat matanya berkaca-kaca.
"Iya. Za hidup tapi serasa mati. Setalah diberi kehidupan namun dibiarkan sendiri merasa mati," aku tersenyum pahit dan tidak dapat menahan gejolak hati yang kecewa.
"Ku kira, Di Za sudah bahagia dengan Rahmat. Aku pun tersiksa harus merelakan," kata Arya dan aku tidak mengerti maksudnya.
"Apa hubungannya dengan bang Rahmat?" tanyaku heran.
"Di Za sangat dekat dengannya, jadi ku kira kalian adalah sepasang kekasih. Aku tidak ingin mengganggu kebahagiaanmu," Arya mencoba menjelaskan. Namun penjelasannya malah membuatku semakin bingung.
"Bagaimana Babang bisa menyimpulkan begitu? Za dengan bang Rahmat memang berteman akrab, tapi kami bukan kekasih. Bahkan Bang Rahmat akan segera menjadi ipar sepupu Za," aku masih belum mengerti duduk persoalannya.
"Iya. Hanya karena miskomunikasi. Seseorang memberi tahu kalau kalian sangat dekat. Trus, aku melihatnya saat Rahmat menyeka air matamu di taman sehabis kamu dioperasi. Jadi ku kira, itu cukup untuk menarik kesimpulan bahwa kalian memang sepasang kekasih," ujar Arya. Kini aku mengerti apa yang sedang dibicarakannya. Ia salah menilai apa yang dilihat tanpa langsung bertanya apa yang sebenarnya terjadi. Cara pengambilan keputusan yang sangat buruk.
"Jadi benar yang di kamar itu adalah Babang? Za sudah merasa. Hanya keterbatasan tubuh membuat Za tidak langsung mencari saat itu. Lantas karena kesimpulan tanpa konfirmasi itu, Babang memutuskan hubungan dengan Za?" tanyaku sedih.
"Aku tidak memutuskan hubungan denganmu. Aku terus terhubung denganmu tanpa kamu tau. Ketika seminar di kampusmu, tempat yang pertama kudatangi adalah rumahmu, hanya untuk memastikan bahwa dirimu sehat dan bahagia," ujar Arya lirih dan ia tidak sanggup melihat wajahku sebab air mata ini kembali turun.
"Kamu tega sekali, Babang," ujarku pelan.
"Maafkan aku, Di. Mungkin memang begitu garisan kita. Sehari menjelang keberangkatanku kesini, aku baru membaca emailmu. Email itu sudah lama tidak ku buka sebab aku mempunyai email lain yang aktif. Saat itu aku baru menyadari apa yang telah terjadi. Sekali lagi, maafkanlah diriku," Arya memohon dengan pandangan yang membuatku tak tega untuk melampiaskan rasa kesal dan marah yang terpendam, selama ini selalu mengiringi rasa rinduku.
Aku tertunduk dan menyeka air mataku. Benar katanya, mungkin memang garisan Tuhan seperti ini untuk kami. Aku harus bersyukur masih dipertemukan dengannya. Tiba-tiba aku teringat kata Adel, 'bagaimana kalau ia telah menikah?'
"Bertahun sudah berlalu, sampai Za tidak mau menghitung berapa bilangan tahunnya. Apakah selama itu Babang masih mengingat Za?" aku mencoba bertanya dengan cara berputar, tidak langsung pada inti.
"Tak ingin dikatakan lebay, aku mau menjawab bahwa tidak pernah sedetik pun aku melupakanmu. Bahkan dalam tidur pun aku masih mengingatmu dan terkadang kamu hadir dalam mimpiku," jawab Arya membuatku menduga, tapi aku belum berani menyimpulkan.
"Tidakkah ada perempuan lain yang Babang temui dan sanggup menggeser Za dari hati?" tanyaku memastikan analisisku.
"Tidak ada dan tidak akan pernah ada sebab aku tidak memberi kesempatan pada hatiku untuk berpaling" jawabnya mantap dan aku sudah menarik kesimpulan sendiri. Aku begitu terharu. Keyakinanku akan cintanya sebesar keyakinanku bahwa Allah telah menjodohkan kami.
"Hmmm…'" aku tidak tau harus berkata-kata apa lagi.
"Jika sekarang kutanyakan lagi, Oriza bin Nuriswan. Bersediakah kamu menjadi istriku, mendampingiku hingga maut memisahkan? Apa jawabmu?" tanya Arya sungguh-sungguh.
Aku memandang dengan takjub. Untuk hal yang satu itu, ia selalu serius dan tidak mau menunda sedikit pun.
"Hmmm…" aku mencari jawaban yang tepat.
"Ayolah, jawab aja. Apa pun jawabanmu Di, aku selalu legowo menerimanya," Arya mendesakku agar segera menjawab pertanyaan itu.
"Saat ini Za sudah siap untuk menjadi istrimu. Tapi, bukan berarti harus nikah sekarang kan?" tanyaku cemas sebab ada kemungkinan ia berpikiran konyol seperti itu.
"Why not? Tidak ada halangan bagi kita lagi kan? Tidak harus menunggu sampai kita pulang ke tanah air. Ijab Qabul bisa dilafaskan dimana saja sesuai dengan syarat dan ketentuan yang berlaku dalam syariat," jawab Arya tanpa berpikir panjang lagi. Jawaban seperti ini yang ku cemaskan. Menikah tanpa persiapan.
"Sebenarnya tidak ada halangan lagi, tapi kita masih memiliki orang tua. Sudah tentu ada prosedur kalau mau menikahi anak gadis orang," kataku lagi dan sebenarnya aku sudah bingung meladeni ketergesaan Arya untuk hal ini. Lebih baik aku melemparnya ke orang tua saja.
"Jika Di Za sudah setuju, bawalah aku bertemu dengan orang tuamu sekarang juga," pintanya.
"Mesti sekarang juga?" tanyaku bingung.
"Iya. Bertahun kita menunda, kenapa sekarang mau ditunda lagi?" tanya Arya sambil tersenyum.
Aku mengajak Arya ke kamar kami. Keluargaku sedang sarapan di sana. Arya dan aku disuguhi kebab dan secangkir teh. Aku yang tiba-tiba merasa lapar, langsung melahap kebab tersebut dan menghabiskan teh dalam mug dengan beberapa kali tegukan. Arya tergelak melihatku bertingkah seperti itu. Aku memandangnya heran.
"Ada yang lucu Bang?" tanyaku.
"Iya Di. Kamu seperti sudah berhari-hari tidak makan dan minum," jawabnya ringan. Aku tertawa dan melirik kebab yang belum disentuhnya.
"Kamu masih mau kebabnya? Nih, ambil bagianku," Arya menyorongkan kebab padaku. Tanpa malu-malu aku mengambil dan memakannya hingga tidak bersisa. Ia juga menyorongkan cangkir teh susunya. Aku menggeleng sebab tidak menyukai susu.
Arya meminum teh susu itu seteguk dan langsung membuka pembicaraan dengan bapak, "Bapak, maaf sebelumnya, bukan bermaksud lancang, tapi Arya harus mengatakannya sekarang juga."
"Apa yang mau kamu katakan?" tanya bapak.
"Tadi Arya sudah bicara dengan Di Za. Di Za menyerahkan keputusan pada bapak dan ibu. Arya ingin menikahi Di Za dalam waktu dekat. Jika bisa sekarang juga. Bagaimana menurut bapak dan ibu?" tanya Arya lancar dan tanpa ragu sedikit pun.
Bapak dan ibu saling berpandangan dan kemudian mereka tertawa bersama. Mereka teringat kejadian saat dulu keluarga Arya melamarku. Semua serba dadakan.
"Boleh bapak tau tadi jawaban Za apa?" tanya bapak lagi.
"Tadi Di Za mengatakan setuju menikah dengan Arya, tapi ragu dengan waktu yang Arya tawarkan. Dalam hal ini Arya diharuskan meminta pertimbangan orang tua. Sekarang sudah tentu minta pertimbangan bapak dan ibu dulu. Nanti pulang ke maktab Arya akan minta pertimbangan orang tua Arya," Arya menerangkan maksudnya.
Bapak dan ibu meminta waktu sebentar untuk berunding. Mereka berempat dengan kedua saudaraku berkumpul di tempat tidur pojokan dan berdiskusi dengan suara pelan hingga aku dan Arya tidak dapat mendengar dengan jelas. Kami duduk diam menunggu, sesekali Arya melayangkan pandangan padaku dan ia seperti tidak puas-puas memandang wajahku. Aku merasa jengah dan tertunduk malu.
Setelah selesai berunding, bapak dan ibu kembali menemui kami. Ibu tersenyum padaku. Wajahku memanas dan memerah tiba-tiba, entah mengapa aku merasa demikian malu. Perasaan malu yang baru kali ini kau rasakan.
"Begini aja Arya, bawalah orang tuamu sehabis subuh besok ke sini. Hari ini sudah tentu kamu membicarakan dulu dengan orang tua. Bagaimana? Arya tidak keberatan dengan waktu itu?" tanya ibu lembut.
Arya berpikir beberapa saat dan ia menyetujuinya. Sehari bukan waktu yang lama untuk niatnya. Ia memang harus membicarakan dulu niat tersebut dengan orang tua. Orang tuanya bahkan belum tau apa yang baru saja terjadi. Ia harus mengabarkan kepada orang tua segera agar mereka tidak khawatir dengan dirinya yang sejak malam tidak pulang ke maktab karena berniat iktikaf di masjid. Arya pamit dan berjanji akan membawa kedua orang tuanya menemui orang tuaku besok sehabis sholat subuh.
Aku mengantarkan Arya ke bawah, menunggunya menaiki bis ke Masjidil Haram. Setelah ia tidak terlihat lagi, aku kembali ke kamar. Bapak dan ibu sudah menungguku. Aku merasa akan diintrogasi dan rasanya tidak nyaman sekali. Kedua saudaraku pun duduk dengan tenang di samping bapak.
"Oriza, apa kamu sudah yakin dengan keputusan itu?" tanya bapak lugas tanpa basa-basi. Kelihatannya ia serius sekali.
Aku tidak berani langsung menjawab. Aku mencari kata yang tepat untuk menjawab pertanyaan itu. Mereka menunggu jawabanku.
"Bapak pasti tau, bertahun Za mencarinya. Itu bukan hanya karena ingin berterima kasih saja. Ini soal hati. Waktu yang diberikan Allah cukup bagi Za untuk berpikir dan memastikan hati sendiri. Jika pertanyaannya apakah Za sudah siap untuk menjadi istri babang Arya, maka jawabannya adalah siap lahir bathin. Apa yang belum siap adalah keinginan babang untuk menikah sekarang juga. Hanya hal itu yang Za ragukan," jawabku tegas tanpa ragu. Aku berharap mereka memahami pemikiran dan keinginanku.
"Bagaimana dengan Rahmat?" tanya ibu yang memandangku heran.
"Bang Rahmat?" mataku membulat dan aku benar-benar ingin ketawa keras, tapi ku tahan sebab mereka semua sedang serius.
"Za memang akrab dengan Rahmat, tapi kami tidak ada hubungan yang serius selain pertemanan biasa," jawabku.
"Sikapnya yang begitu baik dan selalu mendukungmu, apa itu bukan sikap yang menganggapmu lebih dari temannya?" tanya ibu lagi.
"Mungkin dulu sekali dia memang suka ama Za lebih dari teman. Tapi dengan berjalannya waktu, ia mengerti pendirian dan pilihan Za. Trus dia juga akan melamar uni Sinta dalam waktu dekat, katanya," jawabku lengkap untuk menuntaskan keingin-tahuan mereka tentang hubunganku dengan Rahmat yang sebenarnya.
Mereka saling berpandangan. Berarti mereka selama ini salah mengira akan hubunganku dengan Rahmat. Iya, siapapun bisa saja salah mengira sebab Rahmat sangat baik padaku dan kami selalu bersama-sama. Kesamaan kami sangat banyak, hobby, makanan, warna, hingga hal yang paling kecil pun kami cenderung memiliki selera dan pilihan yang sama. Hal itulah yang menyebabkan kami sering bersama.
"Ibu kira selama ini kalian saling suka," kata ibu tercenung.
"Benar, kami saling suka berteman. Tidak lebih," jawabku menegaskannya lagi.
"Kalau begitu, sudah tidak ada masalah lagi. Usiamu pun sudah pas untuk menikah. Kami setuju saja, jika kamu memang sudah siap lahir bathin," kata bapak sambil menepuk-nepuk punggungku, "Kita tunggu besok, bagaimana pendapat dari keluarga Arya."
Selanjutnya kami membahas soal pernikahan di tanah suci ini. Hal tersebut dapat saja dilakukan sebab syarat pernikahan selain mempelai, ada wali dan saksi. Legalitas secara hukum dapat diperoleh setelah kami kembali ke tanah air dengan mengurus di Kantor Urusan Agama. Aku lebih banyak mendengar keluargaku berdiskusi, tidak terlalu banyak menanggapi selain menjawab apa yang ditanyakan.
Arya dan orang tuanya datang dengan membawa sekeranjang jeruk oren yang sangat menggiurkan. Selain warna yang begitu cerah, kulit jeruk itu pun berkilat. Aku tergoda untuk memakannya, tapi aku harus menahan keinginan itu, takut dinilai kurang pantas. Arya menyerahkan sebuah jeruk oren yang diikat dengan pita. Aku menerima dan memegang terus selama perbincangan terjadi. Ibu menyuguhkan beberapa makanan yang tadi dibeli di luar dan teh hangat.
Bapak dan ibuku terlebih dahulu mengucapkan terima kasih atas bantuan yang telah keluarga mereka berikan demi keselamatanku ketika itu. Bapak mempersilahkan mereka menyampaikan maksud kedatangan mereka. Kami mendengar dengan seksama keinginan orang tua Arya. Intinya, orang tua Arya mendukung keinginan anaknya selagi itu masih wajar, termasuk keinginan untuk menikahiku segera. Bagi mereka itu keinginan yang wajar sebab mereka menyaksikan bagaimana anak mereka begitu mencintaiku.
Orang tua Arya telah menghubungi beberapa orang yang dapat membantu pelaksanaan pernikahan di negeri ini. Mereka akan mempersiapkan segala sesuatu yang berhubungan dengan acara pernikahan, dan keluargaku diminta untuk mempersiapkan diriku saja.
Sebelum pembicaraan berlanjut, kedua orang tua Arya memintaku memakan jeruk yang sejak tadi ku genggam. Aku melihat bapak dan ibu, meminta persetujuan mereka. Setelah ibu mengangguk, aku mulai mengupas jeruk itu. Ternyata kulitnya tebal dan mungkin lebih baik dipotong seperti Sunkist. Aku terus mengupas walau agak susah. Aku mengambil satu ulas, memasukkan ke mulut. Rasanya sangat asam hingga kunyahku terhenti sesaat. Aku lanjutkan memakannya dengan pelan. Lama-lama lidahku terbiasa dengan rasa asam itu. Aku makan seulas demi seulas hingga habis. Orang tua Arya tersenyum padaku.
"Kami yakin, Arya tidak salah pilih. Terima kasih sudah menghabiskan jeruknya," ibu Arya berkata sambil memandangku. Aku tersenyum, tidak mengerti mengapa ia tiba-tiba berbicara demikian dan apa hubungannya dengan jeruk yang kumakan.
"Terima kasih sama-sama, Bu," balasku atas ucapan terima kasih yang tidak ku mengerti.
HP bapak Arya berbunyi. Ia meminta izin untuk mengangkat HP dan beranjak dari tempat duduk agar tidak mengganggu yang lain. Percakapan di HP tidak lama dan bapak Arya kembali ke tempat duduk. Ia tersenyum seperti sehabis mendengar berita gembira.
"Semua persiapan pernikahan sudah siap 90%. Tiga hari lagi akad nikah dapat dilangsungkan di mesjid Quba. Selanjutnya kedua mempelai dapat menginap di Hilton selama seminggu," demikian kabar yang disampaikan oleh bapak Arya sehubungan dengan panggilan telepon tadi.
"Alhamdulilah, terima kasih pak Suryo. Kami akan mempersiapkan anak gadis kami menjelang waktunya," sambut bapak dengan mengucapkan syukur.
"Teknis keberangkatan, kita akan naik dua mobil yang terpisah, namun berangkat berbarengan dari maktab ini. Sehabis subuh kita sudah bersiap," bapak Arya melanjutkan dengan menerangkan rencana detail acara yang akan diadakan hari tersebut. Kami mendengar dengan seksama. Selama perbincangan itu berlangsung, aku hanya bisa tertunduk dengan perasaan yang tidak menentu, ada bahagia, malu, terharu dan bingung. Setelah pembicaraan dirasakan cukup, keluarga Arya pamit untuk kembali ke maktab mereka.
Aku memandang jeruk yang diberikan keluarga Arya. Jeruk sekeranjang besar dengan rasa asam seperti tadi siapa yang bisa menghabiskannya. Mas Didi mengambil jeruk itu dan membelahnya menjadi dua bagian. Ia mulai makan jeruk itu. Aku melihat reaksinya. Biasa saja bahkan ia menghabiskan tiga buah jeruk.
"Apa tidak masam jeruknya, Mas?" tanyaku.
"Masam? Nggak. Ini sangat manis. Cobalah!" katanya sambil mengupaskan kulit jeruk itu untukku.
Aku memakan jeruk itu dan memandang heran padanya. Benar. Jeruk itu sangat manis. Sangat berbeda dengan jeruk yang ku makan tadi.
Ibu mendekatiku dan bertanya, "Ada apa, Yang?"
"Jeruk yang Za makan tadi sangat masam, Bu. Kok ini manis sekali?' tanyaku.
"Masa' iya?" tanya ibu. Ibu berpikir sejenak. Lalu ia tersenyum. "Bisa jadi itu test untukmu Za. Orang tua Arya ingin melihat apakah kamu pantas menjadi menantunya."
"Maksudnya?" tanyaku tidak mengerti.
"Kamu sanggup menghabiskan jeruk yang rasanya sangat asam pemberian mereka, itu memperlihatkan tingkat penghargaan kamu yang sangat tinggi terhadap keluarga mereka dan juga bisa jadi itu berarti kamu dinilai punya kesanggupan menghadapi persoalan hidup setelah berumah tangga," ibu menjelaskan padaku. Aku belum sepenuhnya mengerti, namun berusaha mencerna sendiri tanpa bertanya lagi.
Ibu dan bapak mengajakku keluar untuk membeli beberapa perlengkapan yang dibutuhkan. Aku dibelikan pakaian pengantin ala Arab dengan model syar'i. Aku tidak banyak meminta, cukup keperluan seadanya dan itu pun ku mohon ibu yang memilihkannya. Ibu juga membeli beberapa pernak-pernik yang mungkin nanti akan kami butuhkan pada acara tersebut. Perlengkapan rias pun tidak lupa ibu beli. Meskipun dikeseharian aku tidak pernah berias namun saat ini ibu merasa aku harus didandani agar kelihatan lebih cantik.
Aku teringat teman-temanku di tanah air. Aku segera mengabarkan rencana pernikahanku di grup WA yang isinya hanya kami berempat, Adel, Ferry, Rahmat dan diriku. Mereka benar-benar kaget sekaligus takjub dengan kisahku yang berakhir bahagia. Mereka mengucapkan selamat dan mendoakanku semoga semua berjalan lancar dan aku bahagia selalu, langgeng hingga akhir hayat.
'Akhirnya, ku menemukannya, guys. Aku sangat bahagia. Kalian tau rasanya? Tidak bisa kulukiskan dengan kata-kata,' tulisku.
'Setelah pencarian bertahun lamanya, merajut kisah, cinta sendiri. Kwkwkw…kok jadi seperti syair lagu?' tulis Adel. Ia yang paling heboh dengan pernikahanku yang mendadak ini.
'Nanti resepsinya jangan lupa undang kami ya, Nek,' tulis Adel lagi.
'Insyaallah. Soalnya belum ada pembicaraan kapan waktunya. Tapi sudah tentu Za tidak akan melupakan kalian semua,' jawabku sebelum mengakhiri chat.
Ketika harinya tiba, aku begitu gelisah. Selesai sholat subuh, ibu mendandaniku semampunya. Kedua saudaraku pun sudah bersiap dengan pakaian yang rapi, begitu juga bapak. Berkali-kali ku melihat bapak mondar-mandir. Ternyata bapak juga gelisah seperti diriku. Aku mencoba bersikap tenang agar bapak tidak makin gelisah melihat kami gelisah. Mobil jemputan datang. Kami berangkat keluar dari tanah haram menuju mesjid Quba.
Benar, semua sudah dipersiapkan dengan matang oleh keluarga Arya. Ada penyambutan kecil di luar mesjid. Selanjutnya kami masuk ke dalam mesjid dan sudah ditunggu oleh imam yang bertanggung jawab pada pelaksanaan pernikahan ini. Wajahku ditutupi cadar tipis. Walau aku tidak suka memakainya, namun aku berusaha untuk tidak terlalu menghiraukan gangguan cadar itu di hidungku. Tidak banyak yang hadir, hanya keluargaku, keluarga Arya, jamaah seregu dengan kami dan beberapa orang dari pihak mesjid serta undangan dari keluarga Arya. Aku duduk terpisah dari Arya. Aku duduk di kelompok keluargaku dan beberapa tamu, sepertinya memang begitu tata cara pernikahan disini. Aku tidak peduli soal teknis acara, aku hanya menurut saja.
Bapakku menyalami Arya dan menahan tangan itu digenggamannya. Ia akan memulai ijab qabul. Semua diam dan menatap dengan seksama. Semua menunggu, hatiku makin berdebar kencang.
"Arya Prasetyo bin Suryo Pranowo, saya nikahkan kamu dengan anak saya yang bernama Oriza Fradiba binti Nuriswan dengan mas kawin seperangkat peralatan sholat dan perhiasan emas 24 karat seberat 250 gram, dibayar tunai," bapak mengucapkan ijab dengan lancar.
Arya menarik nafas lalu menjawab, "Saya terima nikah dan kawinnya anak bapak bernama Oriza Fradiba binti Nuriswan dengan mas kawin tersebut, dibayar tunai"
Semua lancar dan saksi-saksi mengatakan bahwa ijab qabul tersebut sudah sah. Dan mulai detik itu aku sah menjadi istri Arya Prasetyo. Aku disandingkan duduk di samping Arya dan cadarku dibuka oleh Arya. Aku menyalami dan mencium punggung tangannya dengan air mata yang tidak dapat ku tahan. Arya mencium keningku dan kemudian kami kembali pada posisi masing-masing menghadap bapak dan seorang imam pemandu acara. Imam tersebut membacakan doa untuk kami. Aku dan Arya sungkeman pada orang tua. Semua yang hadir mengucapkan selamat pada kami dan setelah itu acara selesai. Sangat sederhana namun sangat berkesan di hatiku. Aku bisa menikah di negeri ini sungguh membuatku merasa tersanjung.
Ibu menyerahkan koper pakaian padaku sebelum aku memasuki mobil yang akan ku tumpangi menuju hotel. Aku sama sekali tidak terpikir jika aku memerlukan pakaian ganti nantinya. Aku berterima kasih pada ibu yang selalu tau apa kebutuhanku. Aku tidak tau bagaimana nanti jika ibu tidak ada di dekatku apakah aku bisa mengingat dan menyediakan segala kebutuhanku dan Arya seperti ibu selalu menyediakan buat kami.
Arya membukakan pintu kamar untukku. Aku melenggang masuk tanpa membawa apa pun. Koper dan beberapa barang diantarkan room boy ke kamar dan Arya mengurus barang-barang itu. Aku melihat jendela besar dengan cahaya yang sangat terang. Aku melihat keluar dari balik tirai tipis. Dari kamar ini aku dapat melihat Masjidil Haram begitu dekat sebab hotel ini hanya berjarak kurang lebih 50 m dari mesjid. Aku melihat orang-orang menyemut di sekitar mesjid. Mereka sibuk mondar-mandir dengan berbagai keperluan, tidak hanya sekedar sholat saja.
"Di," Arya memanggilku. Aku mengalihkan pandangan kepadanya.
"Iya bang," jawabku masih berdiri terpaku. Tiba-tiba suasana menjadi kaku.
"Kamu ingin makan sesuatu? Biar kupesankan," Arya menawariku makan.
"Za tidak lapar, tapi kalau memang sudah waktunya makan, Babang pesankan aja makanan yang bisa Za makan. Jangan yang memakai minyak samin ya, Bang. Za kurang suka aromanya," jawabku mengembalikan pilihan menu pada dirinya.
Arya menelepon dan memesan nasi kebuli serta jus untuk kami berdua. Ia juga meminta salad buah dengan mayo yang banyak. Setelah selesai memesan makanan, Arya mendekatiku. Ia ikut melihat ke luar jendela. Ia berdiri tepat di belakangku. Dadaku berdebar kencang. Muka ku terasa memanas. Aku berusaha berdiri dan terlihat tenang. Padahal sungguh rasanya tidak karuan.
"Apa yang kamu lihat, Di?" bisik Arya di telingaku. Ia memelukku dari belakang. Rasanya aku akan pingsan. Debaran jantung tidak beraturan dan nafasku agak tersendat-sendat. Aku berusaha melepaskan diri dari pelukannya. Arya merasa reaksi penolakan dan ia melepaskan pelukan serta berdiri tegak di sampingku.
"Maaf, Babang. Jika diizinkan, Za akan ganti baju dulu. Baju ini terlalu ribet dan gelisah memakainya," kataku berkilah ingin menjauh sesaat dari dirinya.
"Silahkan, Di. Kamu bebas di kamar ini. Aku juga akan menganti pakaian ini," kata Arya sambil beranjak menuju koper. Ia mengambil baju ganti yang diinginkannya dan menyusun pakaian lain ke dalam lemari yang tersedia.
Koperku diangkatkan Arya ke atas tempat tidur agar aku lebih mudah membukanya. Aku memilih pakaian yang ingin ku kenakan. Aku kaget melihat pakaian di dalam koper bukan pakaianku yang biasa. Ada beberapa pakaian tidur yang transparan dan beberapa stel pakaian Syar'i. Aku tidak menemukan pakaian rumah yang ku inginkan. Dari pada mengenakan pakaian tidur yang tipis itu, aku lebih memilih memakai pakaian syar'i walau agak ribet dengan jilbab panjangnya. Aku mengganti pakaian di dalam kamar mandi. Aku berpakaian lengkap dengan jilbab panjang yang tersedia. Aku keluar dari kamar mandi dan ku dapati Arya juga sudah mengganti pakaian dengan baju Koko.
Pesanan kami sudah terhidang di atas meja. Arya mengajakku makan dan setelah itu kami bersiap untuk menunaikan zuhur di mesjid. Aku menyuap nasi dengan pelan. Rasa masakan ini sungguh susah diterima lidahku. Bahkan kerongkonganku berusaha menolaknya ke luar. Entah bumbu, aroma atau situasinya yang menyebabkan selera makanku hilang drastis. Aku hanya sanggup makan sebanyak beberapa suap saja. Setelah itu aku langsung menyedot habis jus mangga yang ada di depanku.
"Kamu tidak menyukai menu ini?" tanya Arya. Ia masih menyuap nasi ke mulutnya. Tampaknya menu ini tidak ada masalah dengan lidahnya.
"Biasanya tidak ada masalah dengan masakan apapun. Tapi kali ini memang agak susah ditelan, Babang. Maafkan Za," aku meminta maaf tidak bisa menghabiskan hidangan di depanku.
"Tidak apa. Makanya tadi ku pesan salad buah. Mudah-mudahan Di Za bisa memakannya," kata Arya sambil menyorongkan salad buah yang dimaksud ke depanku. Aku mencoba memakannya. Pelan tapi pasti salad itu berpindah ke perutku.
Azan memanggil kami. Arya mengajakku ke mesjid. Ia menggenggam jemari tangan kananku dengan erat dan ia memintaku tidak melepaskan tangan saat dikeramaian. Aku mengikuti langkah Arya dan mengikuti keinginannya. Dua waktu sholat kami lalui dengan berdiam di mesjid sambil membaca kitab suci bergantian dan saling menyimak. Sore hari kami pulang sebentar ke hotel untuk mandi dan makan menjelang magrib.
Selesai sholat isya, kami kembali ke kamar. Aku bingung mau mengganti pakaian untuk tidur, sebab pakaian yang ada tidak pernah aku mengenakannya. Pakaian yang transparan membuat ku risih saja. Mungkin lebih baik aku memakai pakaian ini saja walau sama sekali tidak nyaman. Aku melihat pakaian Arya telah berganti dengan piyama.
"Bang, hmmmm…," ragu aku mengungkapkan keinginanku.
"Ada apa, Di?" tanya Arya lembut. Alamak, mati aku!
"Apa piyama Babang masih ada lagi?" tanyaku.
"Ada. Kenapa?" tanya Arya sambil mengeluarkan piyama dari dalam lemari dan memperlihatkannya padaku.
"Apa Za boleh meminjamnya?" tanyaku malu-malu.
"Pakaian tidurmu tidak terbawa?" tanya Arya lagi.
Muka ku memerah, namun aku tetap menjawab, "Ada Bang, tapi transparan. Za tidak pernah memakai yang seperti itu."
Arya tertawa lepas dan ia meletakkan piyama di atas tempat tidur. Aku meraih piyama itu dan segera ke kamar mandi untuk mengganti pakaian. Piyama itu begitu besar. Aku terpaksa melipat bagian kaki dan tangannya. Aku keluar dari kamar mandi dengan malu-malu. Arya menatapku dan kembali tertawa.
"Kamu seperti orang-orangan sawah, Di," katanya disela tawa yang pecah.
"Biarin. Dari pada seperti putri duyung tanpa baju," jawabku manyun.
Arya menatapku dengan seksama. Ia memandangku dari ubun-ubun hingga ujung jari kakiku. Aku merasa rikuh sekali. Jika dia bukan Arya, aku pasti sudah memaki orang yang berani kurang ajar seperti itu padaku dengan melihat seperti menelanjangiku.
"Ada yang aneh, Bang?" tanyaku.
Arya menggeleng dan menjawab, "Aku baru pertama kali melihatmu tanpa jilbab. Ternyata rambutmu panjang sekali ya. Selama ini ku kira rambutmu pendek sebab jilbabmu biasa saja, tidak terlihat ada rambut yang diikat atau digulung."
"Oh, itu karena Za menjalin lalu menyembunyikannya di balik baju. Makanya tidak kelihatan. Apakah Babang tidak suka dengan rambut panjang ini?" tanyaku.
"Suka sekali. Maukah Di Za membuka jalinan itu agar aku bisa melihat rambut itu lepas terurai di punggungmu?" pinta Arya. Aku segera memenuhi permintaannya. Aku melepaskan jalinan rambut, duduk di kursi depan cermin dan mengambil sisir untuk merapikannya. Rambutku sangat lurus, seperti rambutnya.
Aku teringat sesuatu, "Dulu Za pernah terjatuh menabrak Babang ketika tidak mengenakan jilbab, apa Babang benar-benar tidak pernah melihat rambut panjang Za?"
Arya berpikir sejenak, lalu ia berkata, "Waktu itu Di Za menyuruhku tutup mata, jadi ku patuh. Bagaimana aku bisa melihat rambutmu?"
Aku tersenyum dan kembali menatap cermin sambil meneruskan menyisir rambut.
Arya mendekatiku dan ia menyentuh rambutku, "Rambutmu lurus dan halus sekali. Izinkan aku menyentuhnya."
Aku membiarkan ia menyentuh rambutku. Ia mulai membelai dari ubun-ubun hingga ke batas punggungku. Sungguh aneh rasanya. Bulu kudukku merinding dan lama-lama seluruh bulu roma ku berdiri. Aku ingin menepis tangan Arya, namun segan melakukannya.
"Di..," panggil Arya lirih.
"Iya Bang," jawabku bergetar.
"Terima kasih atas segalanya. Terima kasih telah mau menjadi pendamping hidupku. Selama ini ku sendiri berjalan tanpa pasangan, sekarang ada Di Za bersamaku. Sungguh bersamamu kusempurna," ujar Arya lirih.
Arya memeluk dari belakang dan mencium ubun-ubunku. Tubuhku bereaksi. Aku gemetar hebat. Arya menarikku bangun dari tempat duduk dan menuntunku ke tempat tidur. Aku menurut saja, tanpa penolakan sama sekali.
Arya memelukku dan berbisik pelan di telingaku, "Izinkan aku menyentuhmu."
Selanjutnya aku hanya mendengar bisik lirihnya menyebut, "Bismillah." Aku pasrah dalam penyerahan diri yang paling ikhlas.
***
Seminggu berlalu dan aku kembali bersama keluargaku. Arya mengantar dan membawakan koper pakaianku. Ibu menyambutku dengan pelukan hangat seolah ia begitu merindukanku dan tidak ingin melepaskan pelukannya dengan cepat. Setelah berbasa-basi beberapa saat, Arya pamit untuk kembali ke maktabnya. Sebelum pergi ia minta izin untuk bergabung dengan regu kami dalam pelaksanaan ritual inti. Bapak menyetujui dan berjanji akan membicarakan dengan ketua rombongan dan ketua regu kami.
"Bagaimana kabarmu, Za?" tanya ibu.
"Kan ibu bisa lihat sendiri kalau Za sehat wal'afiat, tidak kurang satu apa pun," jawabku tersenyum. "Oya bu, siapa yang membelikan pakaian-pakaian di koper Za itu?"
"Kenapa? Itu ibu Arya yang berikan," kata ibu balik bertanya.
"Oh, pantesan. Pakaiannya tidak seperti yang biasa Za pakai. Jadinya kalau malam Za pakai piyama Babang aja. Za tidak bisa memakai baju tidur transparan itu. Buat masuk angin aja," kataku agak mengomel. Ibu tertawa dan menjawil daguku.
"Harusnya kamu memakai pakaian itu," ujar ibu sambil tersenyum.
"Mungkin besok-besok," jawabku.
Kami harus bersiap-siap melaksanakan ritual inti yang dimulai dengan pergerakan ke padang Arafah, lalu bermalam di Musdalifah dan selanjutnya mondok beberapa hari di Mina. Selama ritual tersebut Arya bergabung dengan regu kami. Ia selalu mendampingiku. Tanganku selalu dalam genggamannya. Ia tidak ingin kami sampai terpisah di lautan manusia yang memadati semua tempat-tempat tersebut.
Aku benar-benar merasa hidup ini lengkap dengan kehadiran dirinya. Inilah ibadah terindah yang pernah aku jalani dalam hidup. Aku begitu terkesan hingga tidak akan pernah mampu melupakan setiap momen yang tercipta dari kebersamaan kami.