Chereads / Bersamamu Kusempurna / Chapter 3 - Diagnosa

Chapter 3 - Diagnosa

"Sudah mandi, Cantik?" sapa ramah suster yang mengantar sarapan pagi. Ingatanku kembali ke masa kini. Aku menggeleng, lalu turun dari tempat tidur.

"Mandi dulu ya, setelah itu sarapan dan ini obat dimakan setelah sarapan. Jam sembilan dokter akan memeriksa," kata suster sambil membereskan tempat tidur.

Ibu datang tidak lama setelah aku selesai mandi. Sarapan pagi yang disediakan adalah bubur ayam. Saat ini, bubur ayam membuat pipiku kembang. Ibu memahami masalah makanku itu. Ia mulai menyendok bubur dan menyuapkan ke mulutku. Walau pelan, akhirnya bubur itu habis.

Jam sembilan lewat sedikit dokter datang memasuki kamarku dan memeriksa catatan yang tergantung di sisi kaki ranjang. Beberapa pertanyaan diajukan sambil memeriksa mataku. Entah apa yang dilihatnya dimataku. Rekomendasi yang diberikan dokter itu adalah 'pemeriksaan lengkap'.

Ibu menerima surat pengantar yang ditandatangani oleh dokter untuk rujukan ke labor dan ruang pengecekan kesehatan lainnya. Ibu mengajukan beberapa pertanyaan kepada dokter seputar kesehatanku. Aku tidak terlalu menyimak apa yang mereka diskusikan. Ibu keluar ruangan mengikuti dokter. Ibu pamit padaku untuk mengurus keperluan pemeriksaan yang mereka sebut medical check.

Sejam kemudian aku sudah berada di ruang CT scan. Aku merasa sangat tidak nyaman, walau ruangan itu cukup besar dan bersih memberi kenyamanan pada pasien. Peralatan besar seperti tabung yang rebah berada di tengah ruangan. Aku pernah melihat alat tersebut di televisi. Melihat alat itu langsung sangat berbeda rasanya dari melihat di gambar atau di televisi. Tubuhku gemetar.

Radiographer menuntunku mendekati peralatan CT scan. Tubuhku mengejang. Perasaan takut menjalar ke seluruh tubuhku. Aku menghentikan langkah dan menarik tangannya agar ikut berhenti. Petugas itu membalikkan badan menghadap ke arahku. Ia memegang bahuku dan tersenyum penuh pengertian.

"Jangan takut, kamu hanya perlu berbaring di sana," petugas wanita itu berusaha menenangkanku dan menunjuk papan tempat berbaring yang terhubung langsung dengan peralatan CT scan. Ia kembali menarikku, "Ayo berbaring disini!"

Aku mematuhi perintahnya dan berbaring di tempat yang disediakan. Badanku masih gemetar, perasaan takut belum bisa ku atasi. Aku trauma dengan ruangan yang sempit sebab ketika masih sekolah di Taman Kanak-kanak aku pernah terkurung dalam lemari sekolah selama dua hari.

"Bu, Za takut di ruangan sempit," teriakku mulai histeris.

"Di dalam tabung ini terang, jadi tidak akan terasa sempit. Rilekskan aja pikiranmu," kata petugas itu sambil mengelus-elus pundakku. Setelah memposisikan kepalaku di tempat semestinya, papan pembaringan mulai bergerak memasuki tabung.

Nafasku sesak dan aku mengerang seperti orang kehabisan nafas," Ibuuu…., Ibu…., Za takut," reflek kakiku bertekuk.

Papan berhenti dan bergerak keluar kembali. Petugas itu meninggalkanku dan keluar dari ruangan. Ia memanggil ibu yang sedang menunggu di luar. Ia menjelaskan beberapa hal pada ibu. Ibu mengangguk dan mendekatiku, "Ibu disini, Sayang."

"Za takut, Bu," suaraku gemetaran.

"Tenang, Sayang. Anggap saja kamu sedang tidur. Ibu menunggumu disini. Coba bayangkan sungai yang airnya mengalir di kakimu. Kamu sedang duduk di atas sebuah batu di pinggir sungai. Air mengalir di sela bebatuan dengan suara gemericik," ibu memberikan sugesti. Aku mulai merasa tenang.

"Nanti cincin di tengah akan berputar. Setiap kali menyelesaikan satu putaran papan tempatmu berbaring akan sedikit berguncang. Jangan panik. Hal itu akan terjadi beberapa kali," petugas radiografi menjelaskan padaku.

"Nah, Yang, sekarang tutup matamu. Bayangkan tempat yang ibu sebut tadi. Jika terasa ada sedikit goncangan, anggap saja ada kendaraan besar yang lewat," ibu kembali memberi sugesti sambil memijit-mijit keningku.

Aku mengikuti arahan ibu. Aku mulai membayangkan tempat yang ibu gambarkan tadi. Aku masih merasakan papan bergerak, namun aku membayangkan sedang berada di atas tandu yang dipikul oleh beberapa orang. Mereka akan mengantarkanku ke tempat yang ingin kutuju. Sesekali terasa ada lonjakan kecil, itu karena orang-orang yang memikul tandu melewati jalan berlubang.

Entah berapa lama, akhirnya aku keluar dari peralatan tersebut. Ibu masih berdiri di tempat yang sama seperti tadi ketika aku mulai menutup mata. Ibu tersenyum dan membantuku duduk, lalu menuntun ke ruang ganti.

Aku mengganti pakaian khusus untuk pemeriksaan dengan pakaianku. Berbagai aksesoris yang tadi harus ditanggalkan, kembali ku kenakan. Ibu membantuku mengenakan jilbab yang sedikit ribet sebab harus mengaitkan jarum pada bagian bawah dagu. Ibu lupa membawakan jilbab sorong.

"Apa Za sudah boleh pulang, Bu?" tanyaku dengan penuh harap. Aku mengharap ibu akan mengangguk. Harapan yang hampa.

"Sabar, Yang. Masih ada satu pemeriksaan lagi. Kamu akan dibiopsi. Tidak lama kok. Cuma sebentar," bujuk ibuku. Air mata sudah menggantung dipelupuk mataku. Aku berusaha keras menahannnya agar tidak menetes.

"Biopsi?" tanyaku tidak mengerti.

"Iya. Biopsi itu tindakan mengambil sedikit jaringan dari tubuh kita. Hanya sedikit, tidak akan sakit sebab akan dibius," ibu mencoba menerangkan padaku.

"Jaringan apa yang akan diambil, Bu? Zak kok jadi parno, ya. Merasa seperti tangan Za yang akan diambil dengan tindakan operasi," aku kembali bertanya, masih kurang mengerti soal jaringan yang dibicarakan.

"Jaringan sumsum tulangmu akan diambil sedikit. Hanya sedikit. Tidak lama dan tidak sakit. Ibu akan menemanimu," nada suara ibu yang yakin mengucapkan 'tidak sakit' membuatku tenang. Aku mengangguk.

Setelah menunggu beberapa waktu, aku kembali dibawa ke sebuah ruangan dan diminta berbaring dengan posisi menelungkup. Aku sedikit terkejut ketika disuntik, dan selanjutnya bagian pinggang ke bawah mati rasa, tidak merasakan apa-apa. Sebelumnya telah diterangkan padaku bahwa jaringan sumsum yang akan diambil adalah sumsum pada bagian atas tulang pinggul.

Aku mencoba menghilangkan pikiran buruk dari benakku. Ternyata memang tidak lama seperti yang diberitahukan sebelumnya. Aku sudah boleh kembali ke kamar. Pemeriksaan ini hanya meninggalkan bekas sayatan kecil yang kemudian ditutup dengan plester. Akibat pengaruh bius yang belum hilang, kakiku berat dilangkahkan. Aku diantar menggunakan kursi roda ke kamar. Ibu mendorong kursi roda itu sambil memuji keberanianku.

Menu makan siang sudah tersedia di meja kecil samping ranjang. Selera makanku belum pulih. Nasi lembek dan sayur bening yang kurang garam membuat pipiku kembang ketika memakannya. Ibu menungguku makan hingga habis, harus habis.

"Bu, tolong tanyakan dokter. Za mau pulang aja. Za sudah sehat. Tolonglah. Za tidak mau tidur disini," aku membujuk ibu. Sungguh aku tidak betah di rumah sakit, suasana yang sunyi dan sedikit mencekam di malam hari, ditambah lagi aroma khas yang sangat tidak kusuka.

"Nanti ibu tanyakan," jawab ibu menyenangkan hatiku.

Seorang suster masuk ke kamar membawa sekantong darah. Reflek aku memandang tangan kananku. Jarum sambungan masih tertancap disana. Aku merasa ngilu.

"Adik cantik, Hb nya belum cukup ya. Jadi harus transfusi lagi," kata suster itu sambil menggantungkan kantong darah dan siap-siap menyambungkan selang ke tanganku.

"Tunggu dulu Suster. Za sholat dulu sebentar. Nanti siap sholat aja darahnya dimasukkan," aku berkata sambil menepis tangannya. Suster itu mengangguk dan mempersilahkan.

Selesai sholat selang dari kantong darah itu disambungkan dangan jarum plastik yang masih menancap di tanganku. Aku bertanya, "Ini kantong keberapa, Sus?"

"Kantong keenam," Jawabnya singkat.

Mataku terbelalak tidak percaya. Kemana darahku? Apa ada vampir ganteng yang pelan-pelan mengisap darahku setiap malam hingga darahku berkurang sebanyak itu. Tiba-tiba aku teringat dengan bang Sai yang beberapa waktu selalu nge-chat denganku hingga tengah malam. Jangan-jangan dia vampirnya yang memiliki kemampuan menghisap darah dari jarak jauh. Aku tertawa sendiri, menertawakan pemikiranku yang konyol.

Ibu memasuki ruangan. Ternyata ketika aku sholat tadi ibu keluar mencari dokter. Ibu langsung mendekatiku dan berkata, "Sehabis satu kantong ini, darahmu akan diukur lagi. Kalau sudah pada level normal atau mendekati, Za boleh pulang malam ini, tapi besok siang harus kesini lagi buat kontrol."

"Asyiiiikk…," aku berteriak kegirangan.

"Tapi kalau Hb-nya sudah normal, lho," ibu menegaskan kembali.

Aku optimis sebab merasa tubuhku sudah sehat dan kuat. Jam empat sore keputusan itu ku dapat. Aku diizinkan pulang. Aku melonjak kegirangan.

Kamarku adalah tempat yang paling kurindukan saat ini. Kamar itu sudah menjadi markas tempat ku melakukan banyak hal yang disukai. Aku bebas berbuat apa saja di kamar, termasuk jingkrak-jingkrak jika hatiku sedang senang, atau berteriak bila galauku memuncak.

"Oh, my room sweet room," kataku sesaat sudah sampai di dalamnya. Ibu menutup pintu dan menyuruhku beristirahat.

Aku melompat ke atas tempat tidur dengan posisi berbaring, "Auuu…," jeritku tertahan. Pinggulku terasa ngilu. Aku meringis dan mengelus plester pembungkus bekas sayatan ketika biopsi tadi.

Aku mengaktifkan HP dan membuka aplikasi game Hago. Ada yang berubah dengan teman Hago. Terjadi perpecahan diantara temanku. Aku sangat kecewa. Padahal banyak yang akan ku ceritakan pada mereka. Entah mengapa aku merasa sangat sedih, kehilangan seorang teman curhat.

Aku pindah ke channel lain, teman Hago yang lebih dewasa. Mereka sedang bergantian menyanyi dan aku ikut melibatkan diri meskipun aku tidak begitu yakin dengan suaraku. Yang penting bagiku, menyanyi dapat mengurangkan rasa sedih yang datang karena merasa kehilangan teman.

Salah seorang teman curhat mengundangku ke roomnya. Aku masuk ke room itu dan sudah ada teman lain disana. Kami ngobrol, menyanyi dan ngobrol kembali. Teman baru cepat mengakrabkan diri dengan kami sehingga aku tidak lagi merasa kehilangan teman curhat. Begitulah malam kulewatkan bersama teman Hago, hingga aku mengantuk dan tertidur dalam dekapan malam yang tenang.

Ke sekolah adalah kewajiban yang harus kujalani setiap hari, Senin hingga Jumat. Ada beberapa tugas sekolah yang belum sempat ku selesaikan, aku berusaha bekerja dengan cepat agar tugas-tugas sekolah tidak membebaniku di rumah. Alhamdulillah, semuanya dapat ku selesaikan sebelum tengah hari, sebelum waktu aku harus kembali ke rumah sakit.

Ibu menjemput dan meminta izin kepada wali kelas untuk membawaku ke rumah sakit. Izin dengan mudah diperoleh. Setengah jam kemudian kami sudah berada di rumah sakit dan duduk dihadapan dokter yang memeriksaku. Hasil foto CT scan dapat kami lihat dan dokter menerangkan apa hasil diagnosanya.

Poin pertama yang menjadi perhatian adalah ditemukan kelainan pada ginjalku. Sebelah ginjalku mengecil dan terlihat sudah tidak berfungsi, yang sebelah lagi juga terlihat sudah tidak sehat dengan beberapa flek yang terlihat di gambar. Kemungkinan itu memang kelainan bawaan. Aku masih dapat bertahan dengan satu ginjal, jika ginjal tersebut sehat. Namun ginjal yang ada juga terlihat bermasalah.

Aku mendengarkan keterangan dokter dengan seksama dan berusaha untuk mengerti. Perasaanku sama sekali tidak terganggu. Aku merasa seperti memperoleh keterangan tentang penyakit orang lain. Reaksiku sangat berbeda dengan ibu. Ibu kelihatan gelisah. Beberapa kali ibu bertanya tentang tindakan pengobatan atau terapi yang sebaiknya ku peroleh.

"Mulai sekarang, makan harus dijaga dan tidak boleh terlalu lelah. Hindari kegiatan fisik yang berlebihan. Lakukan kontrol rutin untuk memantau kondisi ginjal yang masih berfungsi. Nanti saya akan membuat resep yang harus dipatuhi dalam mengkonsumsinya. Segala aturan makan obat akan dituliskan pada bungkus obat, jangan sampai keliru prosedurnya," demikian dokter menerangkan.

"Bagaimana kalau kondisi ginjalnya tidak membaik, Dok?" tanya ibu.

"Jika hal itu terjadi kemungkinan harus menjalankan hemodialisis atau cuci darah. Tapi mudah-mudahan obat-obatan dan kedisiplinan pasien dapat membantu penyembuhan," jawab dokter.

"Pak Dokter, apakah kerusakan ginjal dapat membuat darah Za berkurang begitu banyak?" tanyaku ingin tau.

"Idealnya bukan begitu, tapi bisa saja terjadi. Tapi tunggu sebentar, hasil biopsi akan datang sebentar lagi," kata dokter sambil menekan intercom menanyakan hasil pemeriksaan jaringan pada stafnya di luar ruangan .

Asisten dokter mengantar berkas yang dibutuhkan. Dokter membaca berkas itu dengan serius. Keningnya berkerut dan kemudian melepaskan kaca mata yang dikenakannya.

"Apakah pembicaraan ini bisa dilakukan di depan anak ibu?" tanya dokter pada ibu. Pertanyaan yang aneh. Aku menjadi curiga.

"Kenapa tidak, Dokter? Lebih baik mengatakan langsung pada Za dari pada Za berprasangka tidak baik dan akan mempengaruhi kesehatan Za ke depan," aku langsung menjawab sebelum ibu menyingkirkanku dari ruangan itu sebab perkataan seperti itu merupakan sinyal bahwa aku sebaiknya tidak mendengar.

Dokter tersenyum padaku dan menunggu persetujuan ibu. Ibu paling mengerti sifatku. Keingin-tahuanku yang besar membuat semua arus informasi harus berada pada jalurnya. Makin disembunyikan maka aku akan makin dalam menggalinya.

"Silahkan dokter. Saya tidak keberatan anak saya ikut mendengarkan sebab ini menyangkut dirinya. Saya mengerti maksud dokter, tapi saya juga mengerti dengan karakter anak saya," jawab ibu setelah berpikir beberapa saat.

Setelah menarik nafas panjang, dokter melihat ke arah ku. Aku membalas tatapannya. Beberapa saat dokter masih diam, aku menunggu dengan sabar dan sedikit rasa penasaran.

"Dari hasil pemeriksaan jaringan, benar pertanyaan darimu anak manis. Darahmu bukan berkurang karena kelainan ginjal itu. Darahmu tidak cukup karena sumsum tulangmu tidak cukup memproduksinya. Itulah penyebabnya," dokter berusaha menerangkan dengan kata-kata yang sederhana agar mudah kumengerti.

"Mengapa bisa begitu, Dok?" tanya ibu. Kegelisahan makin terlihat nyata di wajah ibu. Aku hanya mengamati setiap perubahan raut wajah ibu. Aku sama sekali tidak terbebani dengan keterangan dokter.

"Kemungkinan anak ibu menderita anemia aplastik," jawab dokter singkat. Ibu menunggu keterangan lanjutan.

"Anemia jenis ini disebabkan karena ketidak mampuan sumsum tulang dalam memproduksi sel darah. Ada beberapa obat-obatan yang dapat merangsang sumsum untuk memproduksi sel darah, tapi tidak ada jaminan itu berhasil menyembuhkan 100%," keterangan dokter membuat ibuku terlihat tegang. Dokter mengalihkan pandangan ke arahku, "Tapi jangan pesimis. Segala penyembuhan ada di tangan Allah. Yang penting selalu cek rutin ke dokter ya, Cantik. Tolong patuh makan obat."

Ibu masih banyak mengajukan pertanyaan. Aku sudah tidak tertarik lagi menyimaknya. Aku berusaha mencerna keterangan dokter tentang penyakitku. Aku merasa baik-baik saja. Tidak ada yang sakit di tubuhku. Apakah kedua diagnosa yang diberikan itu menandakan bahwa penyakitku serius? Aku melihat mata ibu berkaca-kaca mendengar keterangan dokter. Aku lebih suka mengamati setiap perubahan raut wajah ibu dari pada mendengar detail tentang penyakitku.

Ibu diam sepanjang jalan pulang. Aku pun tidak berani banyak bertanya, melihat reaksi ibu tidak seperti biasa. Bahkan konsentrasi ibu menurun drastis. Hampir saja kami masuk ke dalam got, untung ibu masih bisa mengelak sehingga tidak terjadi kecelakaan.

Sesampai di rumah, ibu masih diam. Aku tidak ingin mengusik ibu dengan pertanyaan-pertanyaan tentang penyakitku. Aku dapat mencari informasi lebih di google seperti biasa ku lakukan.

Sendiri di kamar, pikiranku mulai mencerna keterangan dokter tadi. Aku mengingat kembali setiap perkataan dokter tentang penyakit yang kuderita. Beberapa istilah asing kutemukan keterangannya di google. Aku berusaha memahami dengan keterbatasan pengetahuan yang kumiliki.

Aku juga membaca beberapa artikel pengalaman orang-orang yang menderita kerusakan ginjal; apa yang mereka rasakan dan solusi apa yang mereka pilih untuk mengatasinya. Aku mulai memahami bahwa aku sedang tidak baik-baik saja.

Bertahan dengan satu ginjal yang sudah mulai rusak bukanlah hal yang mudah. Darah yang seharusnya selalu dibersihkan oleh ginjal, tidak dapat membersihkan sendiri untuk menyingkirkan sampah-sampah yang terserap di dalam tubuh. Sungai yang dipenuhi sampah pasti akan menimbulkan banyak masalah, inikan lagi darah yang merupakan sarana transportasi vital dalam tubuh manusia.

Aku duduk bersandar dan menekukkan kaki ke dada. Aku mulai gelisah. Pemikiranku telah mencerna keterangan dokter tentang penyakitku. Ketika mendengarkan langsung aku masih tenang-tenang saja karena aku tidah sepenuhnya mengerti apa yang diterangkan. Aku hanya berpedoman pada rasa tubuh yang sehat, tidak merasakan sakit. Ternyata ada bahaya di dalam tubuh yang sedang mengintai keselamatanku.

Aku tidak ingin membiarkan gelisah yang pelan tapi pasti melingkupi hampir seluruh hati. Teman adalah yang kubutuhkan saat ini. Aku membuka aplikasi Hago. Disana akan selalu ada teman untukku tanpa membedakan usia dan jenis kelamin.

Menyanyi dapat membuatku melupakan kegalauan hati. Menyanyi dan bercerita serta tertawa bersama membuatku lupa bahwa tubuh ini sedang bermasalah.

Dipenghujung malam, setelah aku pamit dengan teman-teman Hago, aku kembali merasa sendiri. HP ku bergetar, ada chat yang masuk.

'Assalamu'alaikum, Di. Aku sudah sampai di Munchen dengan selamat. Pengen nelpon, takut mengganggu tidurmu,' demikian pesan yang ditulis Arya. Aku segera membalasnya.

'Za belum tidur, Bang,' tulisku.

Arya menelpon. Aku segera menjawabnya, "Wa'alaikumsalam, Bang,"

"Hei, aku belum mengucapkan salam," terdengar suara tawa Arya dari seberang sana.

"Za menjawab salam Babang sebelumnya," jawabku ikut tertawa, "Bagaimana perjalanannya? Lancar?"

"Hanya satu yang tidak lancar," jawabnya tegas.

"Apa itu?" tanyaku.

"Hatiku, Di," jawaban yang membuat hatiku merasa kurang enak.

"Besok hatinya bawa ke bengkel, Bang. Servis pakai oli cinta," jawabku asal saja. Arya tertawa.

Mendadak Arya menghentikan tawa dan nada suaranya menjadi serius, "Kamu sekarang dimana, Di?"

"Di rumah, Bang," jawabku cepat, tidak ingin menimbulkan pertanyaan baru yang berakhir tentang sakitku.

"Sudah pulang dari rumah sakit? Apa hasil pemeriksaannya?" pertanyaan yang berusaha kuhindari.

Aku bimbang, harus menjawab apa. Setelah penolakanku kemarin, pasti Arya butuh waktu untuk menyembuhkan hati. Aku tidak ingin menambah bebannya dengan memikirkan kondisiku.

"Di?" ulang Arya, tidak sabar menunggu jawabanku.

"Jika ada yang serius, Za mungkin masih nginap di rumah sakit," akhirnya aku menemukan jawaban yang pas, tanpa harus berbohong.

"Oh, syukurlah. Aku mencemaskanmu. Jika ada apa-apa kabari aku ya," ku dengar Arya menarik nafas dan menghembuskan dengan keras seperti merasa ragu. "Sudah hampir jam satu malam disana. Tidur lagi, ya. Jaga kesehatanmu, Di. Selalulah sehat untukku."

Aku mengangguk, walau Arya sudah pasti tidak melihatnya. Aku merasa senang dengan perhatiannya. Setelah ia mengucapkan salam aku memasang telinga baik-baik dan sempat mendengar ia mengucapkan, "I love…" lalu terputus. Sangat samar tapi masih terdengar di telinga, yang selama ini luput dari perhatianku. Sesuatu yang terasa aneh mengalir bebas di perasaanku. Ada rasa senang dan mungkin sedikit rindu. Perasaan itu mengantarku ke alam mimpi.

Selesai mandi dan sholat subuh aku menuju dapur ingin membantu ibu menyiapkan sarapan. Entah mengapa aku ingin melakukan hal itu sekarang, padahal biasanya aku tidak keluar kamar sampai dipanggil untuk sarapan.

Aku akan memanggil ibu, ketika ku lihat ibu duduk menunduk di meja makan dengan bahu terguncang. Aku mengurungkan niat untuk memanggilnya. Aku berjalan dengan langkah pelan dan mengendap-ngendap agar kehadiranku tidak diketahui ibu. Aku heran. Ibu tidak seperti biasa. Ibu menangis. Ada apa? Apakah ada perdebatan dengan bapak? Tiba-tiba aku melihat bapak datang dan menarik ibu berdiri lalu memeluknya.

Ibu menangis senggugukan di dada bapak. Bahunya terguncang keras tanda ibu melepaskan seluru emosi. Baru kali ini aku melihat ibu menangis. Hatiku ikut hanyut dalam tangis ibu dan air mata mengalir tanpa kusadari.

"Sabar, Sayang. Semua ada solusinya," kata bapak sedikit serak. Dari persembunyianku, aku masih bisa melihat mata bapak yang berkaca-kaca. Ada apa dengan mereka?

"Gimana bisa sedih ditahan? Semalaman Mar tidak tidur. Gadis kecil kita, Mas. Dia pasti akan menderita dengan penyakitnya. Bukan hanya ginjal yang bermasalah. Darahnya juga bermasalah. Anemia Aplastik bukan anemia biasa, Mas. Sumsum tulangnya tidak mampu memproduksi darah dalam jumlah yang cukup dengan kebutuhannya. Jika obat-obatan tidak mampu merangsang sumsum untuk memaksimalkan kerjanya, maka Za akan ditransfusi secara berkala. Belum lagi jika kualitas darah semakin buruk, dia harus cuci darah. Ibu mana yang tak sedih membayangkan penderitaan anak perempuan semata wayang," ibu masih bisa berkata lancar walau terisak.

Aku menggigit bibir. Ternyata akulah penyebab ibu menangis. Aku juga yang menyebabkan bapak menahan tangis. Aku tidak ingin mereka merasa tidak enak dengan kehadiranku. Dengan hati-hati aku keluar dari persembunyian dan kembali ke kamar. Air mataku juga tidak dapat ditahan, terus mengalir dan makin deras seiring isak yang mulai menyeruak dari bibirku.

Aku kembali ke bawah shower dan menyalakannya untuk membasahi kepala. Aku tidak ingin bekas tangisku terlihat oleh ibu makanya aku harus mengguyur kepala agar dingin menghentikan aliran air mata yang tiba-tiba sulit ku tahan. Pakaianku sudah basah kuyup dan dingin mulai menusuk tulang. Tangisku sudah berhenti. Aku menggapai handuk dan mengeringkan tubuh, lalu mengganti pakaian basah dengan pakaian sekolah. Aku bersikap seolah-olah tidak ada yang terjadi. Bersikap biasa dengan penuh ceria.

"Za, ayo sarapan. Sebentar lagi harus berangkat ke sekolah," suara bapak sambil mengetuk pintu.

"Sebentar, Pak. Sedang dandan," jawabku dengan suara yang diceriakan. Berkali-kali aku menarik nafas panjang agar bisa tampil seperti biasa, seolah tidak ada masalah kesehatan yang bakal kuhadapi dan besar kemungkinan akan membuatku menderita.

Ibu tidak terlihat di ruang makan. Aku mengerti, ibu pasti menyembunyikan wajah bermata sembab. Selain menangis, tidak tidur sepanjang malam pasti membuat matanya bengkak. Aku pura-pura tidak tau dan bertanya, "Lho, ibu mana, Pak?"

"Ibu?" bapak sedikit gelagapan, "Ibu sakit perut barusan, jadi sedang duduk di toilet mungkin. Za makan aja dulu, nanti bang Bibi yang antar ke sekolah,"

Aku mengangguk dan dengan cepat menghabiskan sarapan. Beberapa butir obat sudah diletakkan dalam wadah berada di samping air minum. Tanpa banyak tanya aku menelan semua obat itu. Aku pura-pura sibuk dan tergesa-gesa mengajak bang Bibi dengan alasan ada ulangan harian di sekolah. Aku hanya berteriak pamit pada ibu yang belum juga keluar dari kamar, "Za pergi sekolah. Bu. Assalamu'alaikum."