Sekuat tenaga aku menahan tangis. Aku tidak ingin bang Bibi sampai tau kegalauan hatiku. Entah bang Bibi sudah tau penyakitku, entah belum. Tapi pagi ini kudapati saudaraku itu lebih banyak diam. Biasanya ia selalu usil dan sering mencubitku dengan gemas. Kali ini ia hanya diam menunggu di atas motor dan tanpa banyak tanya langsung mengantarku ke sekolah.
Sekolah masih sepi. Jam masih menunjukan pukul 06.25. Aku meletakkan tas di bangku lalu menuju ruang musik. Ruang itu masih terkunci. Aku mencari pak Noman, penjaga sekali gus satpam sekolah. Pak Noman sedang membuka kunci ruang-ruang kelas.
"Pak, tolong bukakan pintu ruang musik dulu," pintaku.
"Oh, mau latihan? Sebentar ya," jawab pak Noman sambil mencari kunci ruang musik dari bundelan kunci-kunci yang dipegangnya.
Aku memasuki ruang musik dan segera menutup pintu. Aku bergegas menuju drum yang terletak di bagian belakang ruangan. Aku duduk di lantai sambil menekukkan kaki ke dada. Tangisku pecah tidak dapat ku tahan lagi. Badanku terguncang hebat, sebentar saja wajahku sudah basah dengan air mata. Ya Allah, kuatkan diriku.
Aku melirik jam yang menempel di dinding. Lima menit lagi menjelang pukul 07.00. Di luar pasti sudah ramai sebab sekolah dimulai tepat pukul 07.00. Keriuhan di luar tidak terdengar jelas di dalam ruangan ini, mungkin efek lapisan kedap suara yang dipasang di dinding ruangan. Aku menuju washtafel di sudut ruangan dan membasuh muka untuk menghapus sisa air mata yang masih melekat disana. Jilbab kurapikan kembali, begitu juga dengan pakaian seragam. Setelah semua terlihat rapi, aku keluar dari ruangan itu, kembali ke kelasku.
Ada beberapa orang teman menatapku heran. Aku hanya tersenyum dan segera berlalu dari hadapan mereka, menghindari pertanyaan yang mungkin saja akan terlontar dari rasa ingin tau. Aku tidak ingin menjelaskan apapun pada mereka, terutama tentang mataku yang memerah sehabis menangis.
"Za…," Adel berlari mengejarku dan ia langsung merangkul pundakku. Gerakan yang tiba-tiba membuatku tak siap dan aku terjungkal ke depan. Aku berusaha meraih pegangan agar tidak terjerebab ke lantai.
"Maaf, Nek. Aku tidak bermaksud menjatuhkanmu," Adel berkata dengan nada menyesal. Ia membantuku berdiri. Aku mencoba tersenyum dan meringis menahan rasa ngilu di pinggulku.
"Gak apa kak Del. Za tau itu tidak disengaja," aku merangkul bahunya agar rasa bersalahnya hilang.
Kami sama-sama tertawa mengingat kejadian barusan. Pasti gaya jatuhku jelek sekali tadi. Gaya Adel melongo juga tak lebih bagus dari gayaku. Kami memaparkan penampakan gaya yang kami lihat masing-masing dan kami sama-sama ngakak. Kalau sudah berdua, bagi kami apa pun kejadiannya, semua pasti indah.
Aku mengenal Adel ketika baru pertama kali menginjakkan kaki di sekolah ini. Pagi, ketika pendaftaran langsung, aku melangkah dengan tergesa-gesa. Ibu hanya bisa mengantarkan hingga gerbang sekolah. Aku ingin urusanku segera selesai, dan dengan berlari kecil aku menuju ruang pendaftaran untuk mengambil nomor antrian.
Satpam mengulurkan kertas antrian dan ketika aku meraihnya, ternyata ada tangan lain yang lebih cepat dari tanganku mengambil nomor tersebut. Aku melihat seorang gadis manis tersenyum penuh kemenangan seolah-olah kami tadi berlomba mengambil kertas nomor itu. Aku membalas senyumnya dan kembali melihat kepada pak satpam. Sebuah kertas nomor kembali diambil dari tumpukan dan diberikan kepada ku. Kali ini aku dapat meraihnya dan tersenyum lebar.
"Kenapa tertawa?" tanya cewek manis di depanku.
"Jangan marah ya kak. Rezeki tidak pernah tertukar," jawabku sambil memperlihatkan nomor yang baru saja ku terima.
Sesaat ia memandang tidak mengerti. Lalu ia melihat nomor yang dipegangnya. Ternyata nomor yang dipegangnya lebih besar dari nomor yang ada ditanganku. Sesaat ia melongo dan sungguh mimik mukanya begitu lucu. Kemudian dia tertawa ngakak.
"Kamu yang lucu, Dek. Suaramu ngebass seperti suara anak laki-laki baru puber," ia terus tertawa dan berlalu dari hadapanku. Mukaku memerah.
"Uh," dengusku kesal. Ia pasti kaget mendengar suaraku tadi, bukan melongo karena nomor yang kuperlihatkan. Bagi orang yang baru mengenalku, suara ini terdengar aneh di telinga mereka. Butuh waktu bagi mereka untuk terbiasa. Aku tidak lagi mempedulikan dan sama sekali tidak tersinggung dengan reaksinya.
Aku sempat melirik bedge nama yang terpasang di pakaian SMP nya. Adelia Putri namanya. Wajahnya manis dengan kulit yang kuning langsat dan bersih. Ia tidak lebih tinggi dariku, tapi tubuhnya sangat ideal. Ia pasti anak yang ceria sebab tawanya begitu lepas dan mata menyorotkan kejenakaan. Itulah kesan pertama aku melihatnya.
Aku kembali bertemu dengan Adel setelah persekolahan dimulai. Kami didudukkan di kelas yang sama, bahkan bangku kami pun bersisian. Ia duluan menyapaku. "Hai, Dek. Sekelas kita ternyata." Aku hanya tersenyum, tidak ingin membalas sapaannya, takut ia kembali kaget dengan suaraku.
"Eh, aku belum tau namamu. Kenalkan, namaku Adel," ia mengulurkan tangan padaku.
Aku menyambut tangannya dan berusaha mengatur suaraku, "Za."
"Za? Liza, Riza, Reza… yang mana namamu?" tanyanya lagi.
"Oriza," jawabku singkat.
"Itu memang suara aslimu? Kok seperti suara orang dewasa? Eh, kaya' suara emak-emak. Bukan, bukan…lebih tua dari emak," ia terus saja berbicara.
"Lebih tua? Nenek?" tanyaku.
"Iya, nenek. Wah bagus juga nek nek nek. Ku panggil nek aja kali ya?" pintanya. Aku menatap heran, berusaha menilai sikap dan perkataannya. Sepertinya ia seorang yang spontan dan tidak bermaksud merendahkan.
"Jika itu menurut kak Del bagus, Za tidak keberatan. Tapi itu panggilan khusus dari kak Del aja. Kalau orang lain yang panggil seperti itu, akan Za kejar dengan batu," jawabku atas pertanyaan konyol itu
"Bukan kamu yang akan mengejar mereka dengan batu, tapi aku yang akan mengejar mereka dengan sapu karena berusaha mengganggu nenekku," Adel berkata dengan mimik serius yang justru kelihatan lucu.
Aku tertawa dan Adel juga tertawa sambil menutupi mulutnya dengan tangan. Begitulah kami berteman dan akhirnya kami menjadi teman akrab hampir tidak terpisahkan. Di sekolah kami selalu bersama. Adel selalu membelaku bila ada yang mencoba menggoda atau menggangguku.
Sebenarnya sifat dan kesukaan kami sangat berbeda. Adel memiliki sifat yang ceria dan lebih emosional, sementara aku agak pendiam dan tidak mudah marah. Adel lebih menyukai aktifitas fisik seperti olahraga, sementara aku lebih suka duduk membaca di perpustakaan. Perbedaan tersebut tidak menyebabkan kami menjadi saling asing. Perbedaan tersebut menyebabkan kami saling melengkapi.
"Nek, ada apa? Tadi ku lihat kamu keluar dari ruang musik, ruang semedimu. Ada masalah apa, Nek?" Adel bertanya sambil memandangku. Aku menunduk. Hatiku kembali diselimuti kesedihan. Setetes air mata jatuh ke pangkuanku. Ku lihat keterkejutan di mata Adel.
"Eh, jangan nangis, Nek. Aku tidak bawa permen buat memujukmu," Adel makin mempererat rangkulannya di pundakku.
"Permen takkan bisa memujukku, kak Del. Sudah tak jaman menyogok pakai permen," aku berusaha menghilangkan rasa sedihku.
"Jadi pakai apa donk?" tanya Adel serius.
"Pakai fuluuusss…," kataku sambil tertawa.
"Ih, matreee…," Adel berteriak sambil mencubit tanganku.
"Aww. Sakit kak Del," aku menjerit tertahan.
"Eh maaf maaf maaf," Adel menarik tanganku dan meniup-niupnya.
"Ditiup ya ditiup. Nggak pakai nces juga kaleee," kataku cemberut.
Adel memandangku dan tawanya berderai seperti bunyi kristal yang pecah. Suara tawa yang indah. Aku pun tertawa dengan nada khas. Begitulah kami selalu. Tidak ada kesedihan. Tidak ada kesakitan. Yang ada hanya kebahagiaan. Tapi aku tau, kali ini Adel pasti menunggu keteranganku. Dia tidak pernah mendesak sebab dia sangat mengerti dengan karakterku. Aku pasti akan menceritakannya jika aku sudah siap untuk berbagi.
Hari ini, Adel menjadi penguntitku. Kemana aku pergi ia selalu mengikuti dengan sembunyi-sembunyi. Padahal biasanya kami memang selalu keluar bersama. Dia bisa bebas jalan bersama denganku, mengapa kali ini hanya menguntit? Gayanya menguntit membuatku tertawa. Benar-benar gaya detekif paman Conan tokoh komik yang ku suka.
Aku bersembunyi di balik rimbunan tanaman perdu. Adel kebingungan karena kehilanganku. Iya berusaha memanggilku, "Nek, pus puuuuss…,"
Ampuunn… aku dikira kucing olehnya. Asyem! Lebih baik aku mengagetkannya. Aku melompat pas di depannya sambil berteriak cukup kencang, "Miaaawww."
"Eh, miao miao miao…," Adel tertawa keras sekali, sampai-sampai beberapa orang yang berada tidak jauh dari kami memandang dengan heran.
"Lanjuut," teriakku. Adel ganjen langsung mulutnya komat kamit menyanyikan lagu miao miao miao yang baru saja dihapal lengkap dengan gaya konyolnya. Aku tertawa sampai sakit perut. Air mata pun keluar saking lama aku tertawa. Kemudian aku menariknya ke ruangan musik, dari pada jadi tontonan teman-teman lain.
Ruang musik ini jarang dipakai, apalagi guru musik sekolah ini pindah ke sekolah lain. Peralatan musik lumayan lengkap. Adel menuju keyboard. Ia menyambungkan kabel ke colokan yang ada di dinding, tidak jauh dari tempat alat itu diletakkan.
"Aku bisa memainkan benda ini. Tapi tuk lagu miao miao tadi, belum bisa. Sekarang, kamu yang nyanyi, Nek. Aku yang mainkannya. Kamu bisa lagu apa?" Adel serius dengan keinginannya.
"Aku tak begitu yakin dengan menyanyi. Kan kak Del tau suaraku yang hancur begini," jawabku berusaha menghindari permintaannya.
"Ayolah, plis plis pliiiiss," Adel memohon dengan gaya centil, kedua tangan dikepalkan mendekati dagu, mata berkedip-kedip dengan cepat. Aku tertawa melihat gaya itu. Tak tega menolak permintaannya.
"Lagu apa?" tanyaku.
"Biar semua hilang bagai mimpi-mimpi, biar semua hilang usah kau sesali," Adel menyanyikan sebaris lagu. Aku merasa tau dengan lagu itu. Aku mencoba mengingat-ingat.
"Iya. Akan Za coba. Mainkan dulu musiknya satu kali, biar Za dengarkan dulu. Nanti Za akan mencoba menyanyi pada putaran kedua musiknya," pintaku. Adel segera memainkan lagu yang dimaksud hingga selesai. Iya. Aku memang mengenal lagu itu. Dulu aku pernah menyanyikan bersama dengan Arya ketika ia melatih suaraku.
"Pakai mick nya Nek. Gak usah takut, suara kita tidak akan sampai ke luar. Ini ruang kedap suara," Adel menyerahkan mick ke tanganku. Aku mengangguk dan sudah pasti aku tau ini adalah ruang kedap suara.
"Akhirnya semua telah sirna. Getar asmara pun pudar di dalam dada. Dan diantara kita t'lah tak ada rasa saling seiya sekata….," aku mulai menyanyi dengan fokus penuh pada suara agar suaraku tidak berubah sendiri ketika menyanyikan lagu tersebut. Jika kontrol suara kurang, maka bukan hanya fals, tapi suaraku akan terdengar sangat jelek.
Adel menghentikan permainannya sebelum lagu berakhir. Aku juga menghentikan nyanyianku, lalu memandang tidak mengerti. Apa dia lupa nadanya? Adel bangkit dari duduk dan menghampiriku. Ia menatapku beberapa saat dan kemudian memelukku kuat-kuat. Aku semakin tidak mengerti.
"Suaramu bagus sekali. Nek. Aku tidak menyangka. Aku sampai terharu mendengarnya. Kamu bisa jadi penyanyi beneran. Aku sampai terharu," akhirnya ia merenggangkan pelukan dan memandang wajahku yang masih terkesima dengan reaksi yang diberikan setelah mendengar aku bernyanyi.
"Masa' sih?" aku tidak percaya.
"Beneran. Aku menyukai suaramu. Ayo kita ulang lagi. Nyanyi sampai selesai ya, Nek," pinta Adel dan ia segera kembali berdiri di belakang keyboard. Ia mulai memainkan nada demi nada. Dan aku menyanyikan lagu itu hingga selesai. Kami begitu hanyut dengan lagu tersebut dan sesekali Adel ikut bernyanyi pada bagian yang ia kuasai. Kami sama sekali tidak menyadari kalau ada yang memasuki ruangan,
"Wah, hebat!" seru seseorang dan kemudian terdengar suara tepuk tangan yang cukup keras. Serentak aku dan Adel melihat ke arah suara yang datang. Entah siapa dia. Kami belum mengenalnya. Mungkin salah seorang kakak kelas. Aku melihat Adel, bingung harus memberi respon bagaimana.
"Terima kasih," tanggapan yang tepat dari Adel. Aku ingin mengucapkan kata itu namun tidak berani mengingat suaraku yang selalu membuat teman baru kaget ketika mendengarkan untuk pertama kali. Aku hanya memberi anggukan kecil sambil menautkan kedua telapak tangan dan mengangkatnya ke dada sebagai tanda ikut berterima kasih.
"Ternyata ada juga yang memanfaatkan ruang musik ini. Selama ini ku kira hanya ruangan yang terbiar, sebab sudah setahun lebih aku sekolah di sini, ruangan ini sama sekali tidak terpakai. Kenalkan, namaku Rahmat. Kalian pasti adik kelasku. Aku di kelas XI," ia mengulurkan tangan kepada kami. Aku yang pertama menyambut uluran tangannya. Aku melihat ke arah Adel. Adel mengerti apa arti pandanganku.
"Namanya Oriza," kata Adel mewakiliku. Aku mengangguk dan kemudian tangannya berpindah ke tangan Adel.
"Namamu sendiri, siapa?" tanyanya pada Adel.
"Adelia Saputeri Anak Raja Matahari Pas Tengah Hari. Panggil aja Adel," jawab Adel menyebutkan nama konyolnya.
"Panjang sekali namamu. Bisa diulang," tanya Rahmat tersenyum lebar.
"Sure. My name is Adelia Saputeri Cantik Sekali Bak Ratu Yang Belum Sikat Gigi," jawab Adel lancar. Kami bertiga tertawa mendengar nama yang semakin aneh tersebut, "Gak usah dihapal Bang. Cukup Adel aja."
"Aku suka mendengar lagu tadi. Musiknya pas, suara yang nyanyi bagus sekali. Kalian membawakannya dengan sangat baik. Ternyata ada juga anak sekolah kita yang suka musik. Berarti aku ada teman. Boleh aku gabung?" tanya Rahmat lagi.
Aku memandang Adel dan menggeleng pelan. Aku tidak yakin akan terus bernyanyi. Aku merasa sangat tidak berkompeten untuk itu. Adel membalas pandanganku, berpikir sesaat dan ia mencoba mempertimbangkan mana yang lebih baik. Ia mengedipkan sebelah mata padaku. Alisku terangkat. Dia menggeleng pelan menandakan kurang menyetujui pendapatku untuk menolak saran itu.
"Menurutku, bagus juga. Paling tidak nanti kita bisa buat grup band sendiri di sekolah," Adel menyetujui permintaan Rahmat. Keningku langsung berkerut dan bibir ku sorong ke depan sedikit.
"Stop! Jangan terlalu panjang manyunnya, Nek," kata Adel sambil mengangkat tangan dan meletakkan jari telunjuk di bibirku, "Kamu jelek kalau manyun."
"Iissh…," aku menarik jari telunjuk itu lalu memasukkan ke dalam mulut dan menggigitnya.
"Auuw!" jerit Adel tertahan sambil menarik jarinya.
"Ini bukan es lilin, Nek. Mana tadi bekas ngupil. Ish, jorok! Kumur-kumur, gih!" Adel berkata serius sambil mengacungkan telunjuk yang sedikit basah dengan ludahku, "Mana air liurmu sampai membasahi jariku lagi."
Rahmat tertawa keras. Sangat keras, sehingga kami kaget dan memalingkan pandangan kepadanya.
"Asli, kalian pedrama hebat. Kalau kalian ikut stand up comedy, aku pastikan kalian bakalan menang," kata Rahmat di sela tawa sambil menggeleng-gelengkan kepala. Akhirnya kami bertiga tertawa bersama.
Waktu istirahat sekolah berakhir dan kami berjanji akan bertemu lagi pada istirahat makan siang di ruangan tersebut. Adel menarik tanganku dan dengan langkah tergesa ia terus menarikku. "Cepat! Nanti kita bisa terlambat masuk kelas."
Istirahat makan siang lebih panjang dari istirahat sebelumnya. Selain diberi kesempatan makan, juga waktu sholat berjemaah bagi yang muslim. Adel begitu bersemangat. Ia memintaku menghabiskan makanan dengan cepat, lalu mengajak langsung ke ruangan musik. Aku hanya menurut saja. Sama sekali tidak merasa terganggu dengan sikap Adel yang terlalu bersemangat. Mungkin karena energinya itu aku dapat melupakan kegalauan hati.
"Bang Rahmat mungkin abis sholat baru ke sini kak Del. Ngapa kita cepat sekali kesini?" tanyaku ketika Adel sudah langsung duduk di depan keyboard.
"Aku sama sekali tidak menunggu bang Rahmat. Aku takjub dengan suaramu, Nek. Aku ingin mendengarkannya lagi. Lagu apa aja yang kamu tau? Ayo kita coba bawakan," Adel mulai memainkan alat musik di depannya. Ia mencoba beberapa lagu dan jika aku mengenal lagu yang dimainkan, aku memberi tanda bahwa aku bisa menyanyikannya.
"Lagu 'Asmara' ini aku suka, Nek," katanya.
"Aku juga suka, kak Del. Aku suka iramanya, tapi kurang suka dengan syairnya. Melow banget," aku memberikan pendapat.
"Ayo kita coba," ujarnya sambil memulai lagu tersebut. Aku bersiap untuk menyanyi. Kulihat pintu ruangan terbuka sedikit. Rahmat mendekati kami.
"Ayo, Nek. Sendiri, kukemas air mata di pipi" Adel mulai menyanyikan dan memintaku mengikutinya. Aku tersenyum pada Rahmat dan ikut bernyanyi dengan Adel. Setelah suaraku stabil, Adel membiarkan aku menyanyi sendiri hingga lagu berakhir.
"Gimana Bang? Mantap?" tanya Adel.
Rahmat mengacungkan jempol, "Suaramu begitu dewasa Oriz. Aku suka mendengarkan suaramu menyanyikan lagi ini. Apa judulnya?"
Aku memandang Adel.
"Asmara, Bang," jawab Adel.
"Perasaan dari tadi, Oriza belum ada berbicara. Aku hanya mendengarkan ia menyanyi, tapi belum mendengar ia bicara. Kenapa selalu minta Adel mewakili menjawab pertanyaan?" tanya Rahmat. Ternyata ia memperhatikan keanehan sikapku yang tidak mau berbicara di depannya. Aku kembali melihat ke arah Adel.
"Dia selalu merasa kalau suaranya aneh, Bang. Dia takut nanti kamu terkejut mendengar suaranya," Adel menjelaskan dan aku mengangguk.
"Tak usah malu apa lagi takut. Tak ada yang aneh. Yang ada mungkin cuma belum terbiasa mendengarkan suaramu. Nyatanya suara nyanyian tadi bagus sekali. Aku suka suaramu, Dek," Rahmat memandangku dan seperti menunggu aku bicara.
"Aku pernah mengalami kerusakan pita suara. Suaraku dapat berubah tinggi rendah tanpa ku sadari. Bahkan kadang kesannya seperti serak," jawabku berusaha menginformasikan tentang kekurangan pada suaraku.
Rahmat diam sesaat dan kemudian ia berkata, "Iya, suaramu sudah seperti suara orang dewasa dan cenderung bernada rendah. Aku mendengarnya. Tapi aku tidak kaget kok. Jangan kuatir, berbicaralah langsung padaku, tanpa perwakilan."
Kami mendiskusikan sebuah grup musik sekolah. Rahmat bisa memegang bass. Adel menguasai keyboard dan aku menjadi vokalisnya. Kami merasa masih kekurangan satu orang personel lagi yaitu pemegang drum. Rahmat mengusulkan teman sekelasnya untuk ikut bergabung dengan kami buat melengkapi kekurangan tersebut. Aku dan Adel menyetujuinya.
Rahmat permisi untuk mencari teman yang dimaksud. Tidak lama, ia kembali bersama teman yang dimasud dan kami saling memperkenalkan diri. Namanya Ferry. Badannya agak berisi dan kulitnya kuning seperti kulit Adel. Waktu istirahat siang ini kami habiskan dengan berdiskusi seputar grup musik sekolah. kami bertekad akan membentuk grup band dan sasarannya mengikuti kompetisi band sekolah/kampus. Kami bersepakat akan latihan sekurang-kurangnya seminggu sekali di sekolah dan menjelang kompetisi latihan akan ditingkatkan.
Kami mengurus izin untuk memakai ruangan musik pada hari Sabtu. Bapak Kepala Sekolah mendukung niat kami mengaktifkan kegiatan musik dengan membuat grup band sekolah. Telah lebih dari setahun nyaris tidak ada kegiatan di ruang musik, sejak guru musik pindah ke sekolah lain. Beliau menawarkan bantuan bila diperlukan dan memberi perintah langsung pada pak Toman untuk membukakan pintu ruang musik jika kami akan menggunakan ruangan tersebut pada hari libur sekolah.
"Buat bapak bangga dengan prestasi kalian, ya. Nama grup band kalian apa?" tanya bapak Kepala Sekolah memandang kami satu persatu. Kami saling berpandangan sebab belum mendiskusikan soal nama grup.
"The Faro's!" jawab Adel spontan, "Singkatan nama kita, Pak." Kami langsung menyetujui nama tersebut, kedengarannya cukup keren.
"Berprestasilah di bidang musik, jika itu minat kalian. Tapi ingat, pelajaran sekolah jangan sampai tertinggal," pesannya.
"Siap, Pak," jawab kami serentak. Bergantian kami menyalami dan kami keluar dari kantornya. Adel sangat bersemangat dan menarik tangan kami bertiga untuk mengikutinya. Ia berlari di koridor dan melompat-lompat.
"Huss, jangan bergaya seperti pelem India!" teriak Ferry melihat Adel yang berputar-putar sendiri.
"Tum pase ha e…," Adel menirukan gaya penyanyi India. Aku langsung menariknya ke pinggir, tidak mau menjadi tontonan siswa lain yang masih belum pulang.
"Kak Del, gayamu tadi sama sekali tidak bagus. Seperti kodok yang melompat-lompat kebingungan," kataku.
"Haiyaaa! Jangan mencela. Kadang kita harus puas dengan kodok sebab sekarang sedang menduduki tahta" jawab Adel sambil berkacak pinggang. Kami mengerti maksudnya dan kami tertawa bersama. Inilah awal persahabatan kami berempat.
Rahmat memiliki perawakan yang sedang dengan kulit yang agak gelap. Pemikirannya lebih dewasa diantara kami dan ia lebih sering mengalah bila ada perbedaan pendapat. Kadang terkesan kalem dan sangat perhatian serta peka dengan lingkungan. Terkadang ia terlihat murung, entah apa sebabnya. Kami pernah menanyakan, namun ia tidak menjawab dengan lugas sehingga kami tidak tau apa yang menyebabkannya murung. Kami tidak pernah menanyakan lagi sebab kami menghargai privasi masing-masing. Kecuali jika yang bersangkutan bercerita tentang masalahnya, kami akan menanggapi dan saling mendukung.
Ferry berkesan agak cuek dan tidak suka berpikir yang ribet. Tapi, jika diantara kami ada masalah, ia yang paling dulu menawarkan diri untuk membantu. Kadang-kadang ia kocak juga. Apabila ia berdebat dengan Adel, ia kelihatan ngotot, namun akhirnya selalu mengalah. Ia akan tertawa melihat wajah Adel yang puas karena merasa menang. Apalagi reaksi Adel yang melompat-lompat kegirangan karena menang debat. Jika demikian, Ferry sering berbisik padaku, 'padahal aku sengaja mengalah.'
Adel adalah gadis yang ceria dan enerjik. Adel selalu membuat kami merasa senang dan kami bisa melupakan berbagai masalah bila dekat dengannya. Sifat kurang sabaran kadang membuatnya cepat kesal, namun tidak lama ia akan ceria kembali seolah kekesalan sebelumnya raib tanpa bekas. Terhadap diriku, Adel bersikap melindungi meskipun ia selalu memanggilku dengan sebutan 'nek'.
Aku sendiri tidak seceria Adel dan tidak sekalem Rahmat. Aku merasa diriku biasa-biasa saja namun cenderung pendiam. Sifat sabarku agak menonjol sehingga tidak mudah marah. aku lebih tenang menghadapi berbagai masalah dan dalam ketenangan aku selalu menemukan solusi. Pandanganku tentang hidup sedikit lebih simpel sehingga tidak ada target tertentu yang ingin ku capai. Hobbyku membaca sangat membantu dalam mengembangkan wawasan pemikiran sehingga aku kerap dianggap jauh lebih dewasa dari teman-temanku.
Kebersamaan membuat kami semakin dekat. Meskipun sudah merasa seperti sahabat sejati, aku tidak pernah menceritakan masalahku. Entah mengapa aku tidak bisa bebas menceritakan tentang diriku pada mereka, berbeda dengan teman Hago. Mungkin karena aku tidak ingin membebani pikiran mereka dengan persoalanku. Aku ingin mereka terus berbahagia tanpa terbebani dengan kondisi kesehatanku. Bisa jadi aku tidak ingin dikasihani dengan segala keterbatasan yang ada pada diriku.
Kami semakin dekat. Pertemuan semakin kerap, tidak hanya ketika latihan saja. Kami selalu bersama di luar kelas, waktu istirahat, pulang sekolah bahkan di luar sekolah pun kami sering berkumpul dan keluar bersama. Kegiatan kami tidak hanya bernyanyi atau main musik. Kami sering belajar bersama walau tingkatan kelas berbeda. Terkadang kami juga belanja, bermain, bahkan liburan bersama.