Rahmat permisi ke toilet. Ia melewati dapur. Dilihatnya Sinta sibuk menggulung-gulung sesuatu. Rahmat mendehem dan Sinta melihat ke arahnya.
"Mau ke toilet ya?" tanya Sinta. "Lurus aja. Diujung tu pintu toiletnya."
"Iya. Eh. Tapi mau bertanya dulu. Itu kamu membuat apa? Apa masih ada yang harus kami makan?" tanya Rahmat heran sebab sepertinya Sinta masih mempersiapkan masakan.
"Ini roti gulung isi sarden. Untuk sarapan pagi besok. Sekarang digulung dulu, besok pagi tinggal digoreng," jawab Sinta merasa geli dengan pertanyaan Rahmat yang seperti kapok disuruh makan lagi.
"Ooo, untuk besok pagi, ya. Ku kira untuk sekarang. Sudah tak sanggup soalnya," kata Rahmat sambil nyengir. Sinta tertawa kecil.
"Jangan kuatir, tidak diwajibkan memakannya, tapi memang begini kami menjamu tamu disini," ujar Sinta.
"Kamu sendiri yang masak?" tanya Rahmat sambil mengerutkan kening. Ia tidak melihat orang lain di dapur selain Sinta dan dirinya.
"Iya. Disini kami para gadis wajib bisa memasak. Sama seperti Za, dia juga mahir memasak. Bahkan ia lebih bagus lagi dalam hal menata meja makan. Aku belajar darinya soal menata makanan di atas piring dan meja beberapa tahun lalu. Sudah pernah mencoba masakan Za?" tanya Sinta.
"Belum pernah. Bahkan aku tidak tau kalau Oriz bisa masak," jawab Rahmat.
Sinta tersenyum lalu berkata, "Tapi mau ke toilet. Nanti kebelet gak bisa nahan lho."
"Eh, iya. Hampir lupa," Rahmat tersenyum lebar dan pamit meninggalkan Sinta. Ia segera ke toilet. Perutnya juga sudah merasa sesak. Ia mengerti mengapa tadi disarankan makan sedikit saja.
Oriza, teman yang spesial di hati Rahmat. Tampilannya yang sederhana dengan tutur kata yang selalu sopan justru membuat Rahmat makin tertarik pada gadis itu. Ia berusaha untuk lebih mendekatkan diri, namun merasa ada benteng tinggi yang menghalangi. Benteng yang tidak terlihat namun terasa. Hal itu yang terkadang membuatnya murung.
Gadis yang menarik hatinya hanya bisa dilihat namun tidak dapat disentuh. Gadis itu memiliki suara unik dan indah. Dengan suara ia mampu menggetarkan rasa dalam hatinya. Suara yang mampu membangkitkan khayalan tentang masa depan. Suara itu pula yang mampu mengiris-iris hatinya sehingga rasa sakit begitu terasa walau darah tidak terlihat mengalir. Suara yang tiap malam terngiang-ngiang di telinga dan seolah selalu membisikkan selamat malam padanya. Suara yang mengantar tidurnya dalam kegelisahan sekali gus kebahagiaan yang tidak mampu dilukiskan dengan kata-kata.
Gejolak hati tidak mudah ditahan. Rahmat berusaha menyampaikan apa yang dirasakan pada Oriza. Pernah Rahmat mengajaknya ke cafe hanya untuk menyampaikan isi hati. Namun semua hanya tertahan dikerongkongan tanpa mampu ia suarakan. Gadis itu bersikap sangat tenang seolah tidak dapat membaca hati Rahmat. Mungkin memang tidak mengerti atau juga mungkin pura-pura tidak mengerti. Sikap yang tenang dan tidak terusik dengan perubahan itu menyulitkan Rahmat untuk mengungkapkan isi hati.
Saat Oriza memperkenalkan Arya, ada rasa cemburu dalam hati Rahmat. Rahmat melihat bagaimana spesialnya perlakuan Arya pada gadis yang selalu menghiasi mimpi itu. Lagi-lagi sikap Oriza yang begitu tenang dapat menyamarkan sesuatu yang terjadi antara dirinya dan Arya. Meskipun tersamarkan, namun Rahmat tau ada sesuatu diantara mereka yang sangat spesial. Saat itu hati Rahmat terasa teriris. Rahmat berusaha keras menyembunyikan kecemburuannya. Ia ingin bertanya banyak tentang Arya pada gadis itu, namun ia tidak ingin terlihat kepo dan terlalu mencampuri urusan pribadi. Akhirnya keinginan tinggal keinginan yang harus disimpan dalam hati.
Setiap hari Rahmat ingin selalu bertemu dan ia selalu mencari kesempatan agar dapat melihat Oriza meskipun dari kejauhan. Ternyata bukan hanya suaranya saja yang membuat Rahmat terpesona. Oriza teman ngobrol yang mengasyikkan. Apa pun yang diobrolkan selalu nyambung. Ia menguasai banyak materi dan pembicaraan tidak pernah stagnan. Baru sekali ia ngobrol panjang lebar dengan Oriza, justru menambah kekagumannya pada gadis itu.
Saat Oriza mengajak liburan bareng, Rahmat sangat senang. Ia akan memiliki banyak waktu di dekat gadis yang mengusik hati beberapa bulan terakhir ini dan peluang untuk mengutarakan rasa hatinya akan semakin besar. Ia bertekad, Oriza harus tau perasaannya. Ia tidak peduli apakah Oriza dapat menerima perasaannya atau tidak. Yang penting setelah diluahkan maka hatinya akan lega terbebas dari belenggu yang menyiksa.
Seharian Rahmat dekat dengan Oriza, mulai dari awal keberangkatan berada di atas mobil hingga sore ini, ia makin mengenal kepribadian gadis itu. Satu poin plus lagi untuk perhatian dan pengertiannya kepada orang lain. Bahu kurus itu disediakan sebagai sandaran kepala teman dan saudaranya. Pasti pegal bahunya ditumpangi seperti itu, tapi ia tidak terlihat mengeluh. Disaat kepala bersandar di bahu karena pemiliknya tidur, ia selalu menjaga agar kepala itu tidak jatuh terkulai, yang artinya ia tidak tidur untuk itu. Sungguh, seorang teman yang rela berkorban untuk yang lainnya.
"Sudah selesai Bang?" Sinta menyapa Rahmat ketika melewati dapur kembali.
"Sudah. Eh, apa aku boleh menanyakan sesuatu?" tanya Rahmat.
"Tanyakan lah," jawab Sinta.
Rahmat berpikir sejenak, lalu bertanya, "Seberapa kenal kamu dengan Oriza?"
"Dia sepupuku. Aku mengenalnya sejak kecil, baik secara langsung maupun melalui cerita orang tuaku. Paling tidak aku merasa sangat mengenal dia. Bahkan dia pernah tinggal bersama kami selama setahun beberapa tahun lalu," jawaban Sinta cukup lengkap yang intinya dia memang mengenal Oriza secara pribadi.
"Menurutmu, apakah ia orang yang terbuka, bisa menerima siapa saja?" taya Rahmat kembali.
Sinta berpikir sejenak, ia berusaha mencerna arah pertanyaan Rahmat dan dengan hati-hati ia menjawab, "Za adalah anak yang baik, penuh perhatian dan sangat santun dengan orang tua. Ia ringan tangan suka menolong. Orang-orang kampung sini menyukainya karena keramahan dan cepat tanggap atas persoalan sosial. Itu yang dapat ku beritahukan Bang."
"Oke, terima kasih informasinya," kata Rahmat sebelum berbalik meninggalkan Sinta. Sinta memandangnya heran. Mengapa Rahmat bertanya tentang Oriza padanya, padahal mereka berteman. Sinta mengangkat bahu sendiri, kemudian meneruskan pekerjaan.
Rahmat kembali ke ruang tempat orang-orang berkumpul. Ia menggabungkan diri dengan temannya. Duduk di dekat orang tua kadang membuat risih. Lebih baik ia duduk dekat Oriza, kebetulan kursi di sebelahnya kosong. Oriza tersenyum melihatnya datang. Selanjutnya kami mendengar orang tua bercerita tentang nostalgia mereka zaman dahulu. Sesekali kami bertanya tanda kami menyimak cerita mereka.
Ketika malam semakin larut, kami kembali pulang ke Rumah Gadang milik orang tua Oriza. Badan terasa letih dan mata juga sudah mengantuk. Udara yang dingin membuat semua orang ingin segera berada di bawah selimut. Malam yang hening di sebuah desa. Baru kali ini Rahmat begitu nyaman dengan kehening, jauh dari hiruk-pikuk kota. Ia merasa bahagia dan sebelum benar-benar terlelap ia masih sempat membayangkan wajah gadis manis itu. Oriza, pengisi khayalannya, selalu.
Azan subuh membangunkan Rahmat. Ia membangunkan Ferry mengajak bersiap untuk ke surau. Kemarin mereka ditinggal ketika semua orang di rumah sholat di surau. Kali ini Rahmat ingin ikut. Rahmat bangun dan menyeret langkah ke kamar mandi yang berada di sebelah kamar Oriza dan Adel. Ferry menyusulnya. Pintu kamar itu terbuka sedikit dan Rahmat melirik ke dalam. Dilihatnya Oriza telah mengenakan mukena dan bersiap untuk keluar kamar. Ia segera bergegas masuk kamar mandi, tidak ingin ditinggal lagi.
Semua sudah kumpul di tengah ruangan dan bersiap berangkat bersama menuju surau. Rahmat segera menggabungkan diri. Berangkat sholat bersama-sama ke surau dengan keluarga baru kali ini Rahmat lakukan. Biasanya, disuruh sholat pun ia ogah-ogahan. Terkadang ia sholat diakhir waktu yang sering membuat ibunya ngomel-ngomel. Ia tersenyum sendiri mengingat tingkahnya yang lebih suka diomeli dari pada sholat berjemaah di masjid. Kali ini terasa berbeda.
Ketika kami sudah di dalam surau dan membentuk shaf, Ardian iqamat. Setelah itu bapak Oriza maju sebagai imam. Kami sholat dengan tenang, walau khusu' sepanjang sholat masih susah diperoleh. Jiwa ini terasa tenang pula dan kepasrahan diri menghadap Sang Pencipta benar-benar berdampak positif terhadap diri Rahmat. Ia merasa bahagia, bukan karena Oriza berada di dekatnya, tapi memang merasa bahagia begitu saja.
Pagi datang dengan cahaya yang cemerlang. Kicau burung bersahut-sahutan, suara yang langka bila berada di kota. Rahmat keluar dari kamar dan melihat di atas meja sudah ada hidangan untuk sarapan pagi. Ia melihat sinta mengetuk pintu kamar ibu dan bapak Oriza.
"Mak tuo, sarapan sudah terhidang," kata Sinta dan ia menunggu sejenak.
Terdengar jawaban dari dalam kamar, "Iya. Kami segera keluar."
Setelah mendengar jawaban Sinta berputar dan mengetuk pintu kamar saudara Oriza. Ia memberi tahu bahwa sarapan sudah tersedia. Ketika melewati Rahmat, Sinta hanya tersenyum.
"Kenapa pintu kamarku tidak diketuk?" tanya Rahmat.
"Kan orangnya sudah bangun dan tau akan dipersilahkan untuk sarapan," jawab Sinta sambil menuju pintu kamar Oriza. Rahmat tersenyum sedikit malu merasa terjebak dengan pertanyaan sendiri.
Semua berkumpul di meja makan dan sarapan bersama. Bapak menanyakan rencana kami hari ini. Oriza menerangkan apa yang ingin dilakukannya hari ini. Ia ingin membawa Adel ke sungai tidak jauh dari Rumah Gadang, ingin berendam katanya.
"Kami ikut?" tanya Ferry.
"Jangan Bang. Emang bang Ferry mau ketemu duyung jadi-jadian?" kata Oriza tersenyum menggoda. Ferry menjadi jengah dengan jawaban itu.
"Lantas kami ngapain?" tanya Ferry lagi.
"Bang Ferry dan bang Rahmat dapat melihat-lihat di sekitar sini menunggu duyung-duyung selesai berendam," Adel yang menjawab. Rahmat tertawa mengengar sebutan 'duyung' itu. Entah apa yang dibayangkan, ia tersenyum-senyum sendiri. Rahmat lebih memilih berada di kamar menunggu para duyung selesai mandi di sungai. Berbeda dengan Ferry mau ikutan saudara Oriza berburu musang yang sering mengusik ayam di peternakan.
Rahmat hanya melamun di kamar, akhirnya merasa bosan sendiri. Rahmat keluar ingin melihat-lihat di sekitar rumah. Ia keluar dari pintu belakang. Sebelum menuruni anak tangga, ia melihat Sinta berjalan tidak sempurna. Kelihatannya ada masalah dengan kaki gadis itu. Sinta tidak menyadari Rahmat sedang memperhatikannya. Dengan tertatih Sinta jalan menuju tangga dan berhenti sejenak sebelum menaikinya. Sinta berpegang pada tiang penyangga kecil.
"Kenapa kakimu, Sinta?" tanya Rahmat.
Sinta terkejut dan mencari sumber suara. Matanya menemukan posisi Rahmat berdiri yang agak terlindung oleh sebuah drum plastik di dekat pintu. Pantas ia tidak melihatnya tadi.
"Kakiku terperosok di lubang tadi. Mungkin terkilir," jawab Sinta mulai menaiki tangga.
"Tetap aja disana, jangan naik. Biar kulihat dulu kakimu," kata Rahmat. Sinta menghentikan langkahnya.
Rahmat meminta Sinta duduk dan mengulurkan kedua kakinya.
"Maaf, boleh dibuka kaos kaki yang sakit?" pinta Rahmat. Sinta membukanya. Setelah mengamati beberapa saat, Rahmat menyuruhnya mengenakan kaos kaki itu kembali.
"Benar, kakimu terkilir. Boleh aku menolongmu?" tanya Rahmat ragu-ragu. Sinta mengangguk.
Rahmat memegang kaki Sinta sambil berkata."Ini akan lumayan sakit, tapi cuma sebentar. Tolong pasrah, jangan melawan gerakanku."
Sinta menggigit bibirnya agar tidak bersuara walau nanti akan kesakitan. Rahmat menyentakkan pegangannya dengan sekali sentakan yang kuat. Dari pergelangan kaki terdengar bunyi seperti ranting dipijak. Sinta meringis menahan rasa sakit yang berangsur hilang.
"Terima kasih, Bang," ucap Sinta setelah rasa sakit mulai berkurang.
"Coba gerakkan kaki. Putar pelan pergelangannya," pinta Rahmat. Sinta mengikuti saran itu. Kakinya sudah terasa leluasa digerakkan, walau masih tersisa sedikit ngilu.
"Sekarang coba berdiri dan berjalan seperti biasa," perintah Rahmat. Sinta patuh, dan benar, kakinya sudah tidak sakit lagi serta bisa digerakkan seperti biasa.
"Sudah baik, Bang. Makasih ya. Aku Mencari mas Didi. Pada kemana, kok sepi?" tanya Sinta.
"Mereka punya kegiatan masing-masing. Didi pergi berburu musang katanya. Kenapa mencari Didi?" Rahmat balik bertanya.
"Kemarin dia janji mau mengantarku ke pasar pagi ini. Lupa dia mungkin. Biarlah aku sendiri aja yang ke pasar," jawab Sinta. Ia langsung membalikkan badan hendak meninggalkan Rahmat. Rahmat menahannya.
"Tunggu. Kamu naik motor itu ke pasar? Pasti repot kalau sendiri sebab belanja banyak tanpa ada yang menolong memegangkan lumayan merepotkan. Biar kuantar kamu ke pasar. Asal kamu tunjukkan jalannya," Rahmat menawarkan diri. Sinta berbalik memandangnya, kemudian mengangguk tanda menyetujui tawaran Rahmat. Mereka berboncengan naik motor meninggalkan Rumah Gadang.
***
Di pinggir sebuah sungai, Adel dan Oriza duduk di sebuah batu besar. Mereka mengacau air sungai dengan kaki telanjang. Airnya terasa dingin sehingga mereka masih malas merendamkan diri. Mereka bercerita sambil tertawa-tawa.
"Ayo, kita masuk ke dalam air. Sudah gak dingin lagi ni," ajak Oriza.
"Brrr…masih dingin," Adel masih keberatan masuk ke dalam air.
"Di luar air malah dingin karena ada angin. Coba kalau masuk ke dalamnya, gak sedingin di luar kak Del," kata Oriza.
"Masa' sih, Nek," tanya Adel heran.
"Memang begitu kok. Biar Za masuk duluan," kata Oriza sambil merendamkan diri ke dalam air yang tidak terlalu dalam. Ia duduk di dasar sungai, tinggi air masih di bawah lehernya. Air diciprat-cipratkan ke wajahnya. Terasa segar sekali. Sesekali ia memasukkan wajah ke dalam air.
Oriza meraup air dengan ke dua telapak tangan yang ditautkan lalu melemparkannya ke arah Adel yang masih duduk di atas batu dan memainkan air dengan ujung jari kaki. Adel terpekik kecil dan membalas dengan menyepak air di bawah kakinya ke arah Oriza. Saking kuat mengayunkan kaki, badannya pun ikut berayun jatuh masuk ke dalam air.
"Hahahaha…Akhirnya kak Del masuk juga," Oriza tertawa dan membantu Adel berdiri dengan benar. Jika berdiri, air hanya setinggi lutut. Adel manyun, lalu ia meraup air dengan kedua telapak tangan dan melemparkan ke arah Oriza. Akhirnya mereka perang air, mengelak dan berteriak-teriak, lalu tertawa terkekeh-kekeh.
"Disini airnya dangkal. Ayo kita cari yang lebih dalam biar enakan berendamnya," ajak Adel.
Oriza menggeleng sambil berkata, "Disini aja kak Del. Za tidak pandai berenang."
"Gak perlu berenang juga kali. Agak ke bawah dikit aja," Adel masih ingin mencari tempat yang lebih dalam.
"Di bawah ada lubuk kak Del. Akan berbahaya kalau kita masuk ke sana," Oriza mencoba menjelaskan.
"Lubuk itu apa?" tanya Adel.
"Bagian sungai yang dalam dengan selisih kedalaman yang menyolok dari sekitarnya. Biasanya disana ada arus yang sukar diprediksi kak Del," jawab Oriza mencoba menerangkan agar Adel mengerti untuk tidak mencari tempat yang lebih dalam lagi.
Adel tidak lagi protes. Ia ikut duduk di dasar sungai dan mencoba berenang. Ternyata Oriza benar, di dalam air justru tidak terasa dingin seperti tadi waktu ia masih duduk di atas batu. Adel tetaplah Adel dengan rasa penasaran besar. Ia berenang lebih ke bawah, makin lama makin jauh dari Oriza.
Oriza tidak menyadari kalau Adel telah cukup jauh darinya. Ketika ia sudah tidak mendengar kecipak air dan suara Adel tidak terdengar lagi, Oriza baru sadar dan segera mencari Adel dengan matanya. Di kejauhan ia melihat tangan yang menggapai-gapai ke atas. Walau samar Oriza yakin ia melihat tangan yang tiba-tiba hilang dari permukaan air. Oriza langsung merasakan bahwa sesuatu yang tidak beres terjadi pada Adel. Ia berdiri dan berteriak memanggil Adel.
Oriza langsung menepi dan berlari ke arah hilir. Matanya berusaha mencari sesuatu untuk pegangan sambil terus memanggil-manggil Adel. Oriza berteriak keras meminta tolong dengan suara perut sehingga jangkauan suaranya sangat jauh, dapat didengar oleh orang yang berada lebih dari 200 meter dari tempatnya berada. Ia berteriak memanggil-manggil Adel dan menajamkan mata memandang ke tengah sungai, mengharap akan melihat tangan yang menggapai-gapai tadi.